All hands,
Pemikiran strategi maritim Jepang di era modern dapat dibagi dalam dua era. Era pertama terbentang dari masa awal abad ke-20 hingga Perang Dunia Kedua. Periode kedua terhitung pasca Perang Dunia Kedua sampai saat ini. Kedua era itu mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi pemikiran strategis, tetapi tidak signifikan bila ditinjau dari aspek kekuatan.
Pemikiran strategi maritim Jepang era pertama sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alfred Thayer Mahan. Pemikiran Mahan diterjemahkan dalam literatur berbahasa Jepang dan dipelajari secara mendalam di Naval Staff College. Bahkan Laksamana Gombei Yamamoto pada 1902 pernah menawarkan langsung kepada Mahan agar mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
Kuatnya pengaruh pemikiran Mahan dalam Imperial Japanese Navy (IJN) pula yang secara langsung atau tidak langsung menentukan kemenangan Armada Jepang atas Armada Rusia di Battle of Tsushima pada 1905. Para ahli strategi maritim Jepang di masa itu menerima secara bulat pemikiran Mahan tentang mutlaknya dominant seapower.
Ada satu hal penting yang harus diketahui tentang pemikiran strategi maritim Jepang di masa itu. Para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit lebih suka memfokuskan diri pada aspek taktis dan operasional daripada masalah naval warfare secara luas. Naval warfare bagi mereka lebih suka dipelajari berdasarkan pengalaman tempur daripada teori abstrak seapower.
Oleh karena itu, tidak heran bila para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit setuju dengan ungkapan Mahan bahwa, “command of the seas as the projection of naval power abroad and thus the means to national greatness”. Dari situ kemudian muncul doktrin riko o sake, umi o susumu, yang artinya avoiding the continent and advancing on the seas.
Kemana arahnya? Ke selatan alias Asia Tenggara. Doktrin tersebut, bersama kebijakan politik Jepang saat itu, yang kemudian berkontribusi terhadap pecahnya Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik.
Pemikiran strategi maritim Jepang di era modern dapat dibagi dalam dua era. Era pertama terbentang dari masa awal abad ke-20 hingga Perang Dunia Kedua. Periode kedua terhitung pasca Perang Dunia Kedua sampai saat ini. Kedua era itu mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi pemikiran strategis, tetapi tidak signifikan bila ditinjau dari aspek kekuatan.
Pemikiran strategi maritim Jepang era pertama sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alfred Thayer Mahan. Pemikiran Mahan diterjemahkan dalam literatur berbahasa Jepang dan dipelajari secara mendalam di Naval Staff College. Bahkan Laksamana Gombei Yamamoto pada 1902 pernah menawarkan langsung kepada Mahan agar mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
Kuatnya pengaruh pemikiran Mahan dalam Imperial Japanese Navy (IJN) pula yang secara langsung atau tidak langsung menentukan kemenangan Armada Jepang atas Armada Rusia di Battle of Tsushima pada 1905. Para ahli strategi maritim Jepang di masa itu menerima secara bulat pemikiran Mahan tentang mutlaknya dominant seapower.
Ada satu hal penting yang harus diketahui tentang pemikiran strategi maritim Jepang di masa itu. Para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit lebih suka memfokuskan diri pada aspek taktis dan operasional daripada masalah naval warfare secara luas. Naval warfare bagi mereka lebih suka dipelajari berdasarkan pengalaman tempur daripada teori abstrak seapower.
Oleh karena itu, tidak heran bila para ahli strategi maritim Negeri Matahari Terbit setuju dengan ungkapan Mahan bahwa, “command of the seas as the projection of naval power abroad and thus the means to national greatness”. Dari situ kemudian muncul doktrin riko o sake, umi o susumu, yang artinya avoiding the continent and advancing on the seas.
Kemana arahnya? Ke selatan alias Asia Tenggara. Doktrin tersebut, bersama kebijakan politik Jepang saat itu, yang kemudian berkontribusi terhadap pecahnya Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar