All hands,
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sekitar 2020 akibat tercipta masalah besar dalam organisasi militer Indonesia. Masalah itu terkait dengan pembinaan personel, yakni macet total pada kenaikan pangkat dan jabatan perwira, khususnya perwira menengah. Dapat dipastikan pada waktu itu lebih dari seribu Ltk (gabungan dari ketiga Angkatan) yang tidak bisa promosi menjadi Kolonel, sebab jabatan itu sudah penuh. Sebagai dampaknya, ribuan Mayor tidak dapat dipromosikan menjadi Ltk.
Mengapa situasi itu akan terjadi? Tidak lain karena kebijakan perpanjangan usia pensiun bagi perwira dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Perpanjangan yang berlaku umum tersebut, tanpa persyaratan tertentu yang ketat mengakibatkan terjadinya penumpukan personel pada jenjang kepangkatan Kolonel. Dari sini jelas bahwa kebijakan perpanjangan usia pensiun dilakukan tanpa kajian yang matang dan parlemen pun langsung saja setuju.
Lalu bagaimana solusi agar 2020 tidak terjadi macet total pada tingkat perwira menengah. Solusinya ada beberapa, seperti penambahan organisasi baru, penetapan aturan kenaikan pangkat yang jauh lebih ketat dan pemberian pensiun dini melalui golden shake hands.
Penambahan organisasi baru dapat mengurangi tingkat kemacetan, tetapi harus dibayar dengan harga yang tidak sedikit. Suka atau tidak suka, akan ada besaran anggaran pertahanan yang diserap untuk membiayai organisasi baru tersebut. Padahal di sisi lain pemerintah masih cukup berat hati untuk memenuhi kebutuhan minimal anggaran pertahanan negeri ini.
Pilihan kedua bisa saja diterapkan, dengan catatan mulai dari jenjang kepangkatan perwira terendah. Sebagai perbandingan, di negara-negara lain tidak semua perwira yang mulai berkarir dengan pangkat Letnan Dua atau setara, baik dari sumber akademi maupun sumber lainnya, akan mencapai jenjang kepangkatan Kolonel. Sebab sistem penilaian dalam kenaikan pangkat dan jabatan mereka sangat ketat.
Dari situ akan terlihat siapa perwira yang layak untuk melanjutkan karir militernya, siapa pula yang harus berpikir ulang. Kalangan yang terakhir ini seringkali memutuskan untuk menempuh pensiun dini dari militer ketika jenjang kepangkatannya baru mencapai Kapten atau Mayor dan kemudian terjun ke karir di dunia sipil. Pola seperti ini bisa ditempuh apabila para perwira telah dibekali dengan ilmu-ilmu non militer yang memadai, seperti ilmu manajemen bisnis, teknik dan lain sebagainya.
Adapun program pensiun dini bisa pula ditempuh apabila disediakan dana kompensasi yang memadai, yang di dunia swasta dikenal sebagai golden shake hands. Program ini dapat pula ditempuh oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan apabila didukung dengan ketersediaan dana kompensasi dari APBN. Tentu harus ditetapkan syarat untuk program pensiun dini, misalnya MDP 10-20 tahun dengan sejumlah persyaratan ketat bersifat teknis.
Mengapa bersifat teknis? Agar jangan sampai nanti terjadi kekosongan personel yang eligible untuk tiap jabatan yang tersedia. Khususnya pada pos-pos yang kritis, baik di kapal perang maupun pendirian darat. Untuk mengidentifikasi berapa kebutuhan minimal pos-pos kritis tersebut, dibutuhkan kajian yang mendalam.
Masalah utama yang dihadapi dalam bidang personel di militer Indonesia adalah soal pendekatan mengisi organisasi. Organisasi militer masih diperlakukan sebagai labour intensive alias padat karya. Kebijakan perpanjangan usia pensiun adalah cermin dari pendekatan tersebut. Sudah saatnya dibutuhkan kajian yang komprehensif dan benar soal berapa sebenarnya kebutuhan nyata personel militer negeri ini, agar militer bukan lagi menjadi lahan bagi para pencari kerja yang tidak sanggup bersaing di dunia sipil.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sekitar 2020 akibat tercipta masalah besar dalam organisasi militer Indonesia. Masalah itu terkait dengan pembinaan personel, yakni macet total pada kenaikan pangkat dan jabatan perwira, khususnya perwira menengah. Dapat dipastikan pada waktu itu lebih dari seribu Ltk (gabungan dari ketiga Angkatan) yang tidak bisa promosi menjadi Kolonel, sebab jabatan itu sudah penuh. Sebagai dampaknya, ribuan Mayor tidak dapat dipromosikan menjadi Ltk.
Mengapa situasi itu akan terjadi? Tidak lain karena kebijakan perpanjangan usia pensiun bagi perwira dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Perpanjangan yang berlaku umum tersebut, tanpa persyaratan tertentu yang ketat mengakibatkan terjadinya penumpukan personel pada jenjang kepangkatan Kolonel. Dari sini jelas bahwa kebijakan perpanjangan usia pensiun dilakukan tanpa kajian yang matang dan parlemen pun langsung saja setuju.
Lalu bagaimana solusi agar 2020 tidak terjadi macet total pada tingkat perwira menengah. Solusinya ada beberapa, seperti penambahan organisasi baru, penetapan aturan kenaikan pangkat yang jauh lebih ketat dan pemberian pensiun dini melalui golden shake hands.
Penambahan organisasi baru dapat mengurangi tingkat kemacetan, tetapi harus dibayar dengan harga yang tidak sedikit. Suka atau tidak suka, akan ada besaran anggaran pertahanan yang diserap untuk membiayai organisasi baru tersebut. Padahal di sisi lain pemerintah masih cukup berat hati untuk memenuhi kebutuhan minimal anggaran pertahanan negeri ini.
Pilihan kedua bisa saja diterapkan, dengan catatan mulai dari jenjang kepangkatan perwira terendah. Sebagai perbandingan, di negara-negara lain tidak semua perwira yang mulai berkarir dengan pangkat Letnan Dua atau setara, baik dari sumber akademi maupun sumber lainnya, akan mencapai jenjang kepangkatan Kolonel. Sebab sistem penilaian dalam kenaikan pangkat dan jabatan mereka sangat ketat.
Dari situ akan terlihat siapa perwira yang layak untuk melanjutkan karir militernya, siapa pula yang harus berpikir ulang. Kalangan yang terakhir ini seringkali memutuskan untuk menempuh pensiun dini dari militer ketika jenjang kepangkatannya baru mencapai Kapten atau Mayor dan kemudian terjun ke karir di dunia sipil. Pola seperti ini bisa ditempuh apabila para perwira telah dibekali dengan ilmu-ilmu non militer yang memadai, seperti ilmu manajemen bisnis, teknik dan lain sebagainya.
Adapun program pensiun dini bisa pula ditempuh apabila disediakan dana kompensasi yang memadai, yang di dunia swasta dikenal sebagai golden shake hands. Program ini dapat pula ditempuh oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan apabila didukung dengan ketersediaan dana kompensasi dari APBN. Tentu harus ditetapkan syarat untuk program pensiun dini, misalnya MDP 10-20 tahun dengan sejumlah persyaratan ketat bersifat teknis.
Mengapa bersifat teknis? Agar jangan sampai nanti terjadi kekosongan personel yang eligible untuk tiap jabatan yang tersedia. Khususnya pada pos-pos yang kritis, baik di kapal perang maupun pendirian darat. Untuk mengidentifikasi berapa kebutuhan minimal pos-pos kritis tersebut, dibutuhkan kajian yang mendalam.
Masalah utama yang dihadapi dalam bidang personel di militer Indonesia adalah soal pendekatan mengisi organisasi. Organisasi militer masih diperlakukan sebagai labour intensive alias padat karya. Kebijakan perpanjangan usia pensiun adalah cermin dari pendekatan tersebut. Sudah saatnya dibutuhkan kajian yang komprehensif dan benar soal berapa sebenarnya kebutuhan nyata personel militer negeri ini, agar militer bukan lagi menjadi lahan bagi para pencari kerja yang tidak sanggup bersaing di dunia sipil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar