All hands,
Sebagai korban dari kebijakan embargo senjata oleh negara-negara maju, Indonesia kini berupaya mengurangi ketergantungan senjatanya dari asing. Salah satu bentuknya adalah mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata militer negeri ini. Upaya tersebut mulai berjalan, namun kadangkala masih ada hambatan-hambatan teknis berupa kekurangsiapan industri pertahanan itu sendiri.
Industri pertahanan dalam negeri yang utama semuanya berstatus BUMN. Menghadapi kondisi demikian, ke depan hendaknya ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi seperti apa yang dimaksud?
Seperti diketahui, rencana pembangunan kekuatan pertahanan telah dijabarkan rinci dalam bentuk Renstra jangka menengah yang berlangsung tiap lima tahun. Dalam renstra tersebut sudah dijabarkan dengan rinci kebutuhan material apa saja yang dibutuhkan oleh militer Indonesia yang akan dibeli. Dari kebutuhan itu, bisa diidentifikasi senjata apa yang bisa dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri dan mana pula yang hanya bisa didukung oleh pabrikan asing.
Bertolak dari situ, Kementerian BUMN dapat memerintahkan industri pertahanan dalam negeri dapat mempersiapkan diri. Baik persiapan kapasitas produksi, sumber daya manusia, pendanaan, kerjasama dengan industri sejenis di luar negeri, koordinasi dengan vendor dan lain sebagainya. Dengan demikian, daya dukung dan daya kompetisi industri pertahanan dalam negeri dapat meningkat.
Sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran kontrak seperti penyerahan kapal perang yang tidak sesuai jadwal, kesulitan bahan baku, datangnya sebagian sistem senjata dalam kapal perang yang masih harus dipasok oleh industri asing yang tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Singkatnya, Kementerian BUMN dan BUMN industri pertahanan harus tahu apa kebutuhan Departemen Pertahanan dalam lima tahun sampai sepuluh tahun ke depan soal pengadaan senjata.
Sebagai korban dari kebijakan embargo senjata oleh negara-negara maju, Indonesia kini berupaya mengurangi ketergantungan senjatanya dari asing. Salah satu bentuknya adalah mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata militer negeri ini. Upaya tersebut mulai berjalan, namun kadangkala masih ada hambatan-hambatan teknis berupa kekurangsiapan industri pertahanan itu sendiri.
Industri pertahanan dalam negeri yang utama semuanya berstatus BUMN. Menghadapi kondisi demikian, ke depan hendaknya ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi seperti apa yang dimaksud?
Seperti diketahui, rencana pembangunan kekuatan pertahanan telah dijabarkan rinci dalam bentuk Renstra jangka menengah yang berlangsung tiap lima tahun. Dalam renstra tersebut sudah dijabarkan dengan rinci kebutuhan material apa saja yang dibutuhkan oleh militer Indonesia yang akan dibeli. Dari kebutuhan itu, bisa diidentifikasi senjata apa yang bisa dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri dan mana pula yang hanya bisa didukung oleh pabrikan asing.
Bertolak dari situ, Kementerian BUMN dapat memerintahkan industri pertahanan dalam negeri dapat mempersiapkan diri. Baik persiapan kapasitas produksi, sumber daya manusia, pendanaan, kerjasama dengan industri sejenis di luar negeri, koordinasi dengan vendor dan lain sebagainya. Dengan demikian, daya dukung dan daya kompetisi industri pertahanan dalam negeri dapat meningkat.
Sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran kontrak seperti penyerahan kapal perang yang tidak sesuai jadwal, kesulitan bahan baku, datangnya sebagian sistem senjata dalam kapal perang yang masih harus dipasok oleh industri asing yang tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Singkatnya, Kementerian BUMN dan BUMN industri pertahanan harus tahu apa kebutuhan Departemen Pertahanan dalam lima tahun sampai sepuluh tahun ke depan soal pengadaan senjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar