All hands,
Pada 27-30 Oktober 2009 Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia menjadi tuan rumah Exercise Deep Sabre II. Latihan yang diikut oleh 19 negara itu merupakan latihan terhadap Proliferation Security Initiative (PSI). Sebelumnya pada 2005 di negeri latihan yang sama dengan sandi Exercise Deep Sabre.
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bersikap kontra PSI. Alasannya, selain bertentangan dengan kedaulatan negara pantai dalam soal pencegatan di laut, PSI juga bertentangan dengan hukum laut internasional. UNCLOS 1982 mengenal adanya tiga rezim lintas dan negara pantai tidak diperbolehkan melakukan pencegatan terhadap kapal yang melintas. Sikap teguh menolak PSI dipegang oleh Indonesia hingga detik ini.
Namun bertolak belakang dari itu adalah sikap Indonesia dalam illegal immigrant yang tengah berlayar menuju Australia. Indonesia tanpa ragu-ragu melanggar hukum internasional dengan menangkap kapal yang berisi para illegal immigrant asal Srilanka ketika melintas di Selat Sunda yang merupakan bagian dari ALKI I. Tindakan itu dilakukan untuk menyenangkan hati Australia yang kini menganut kebijakan Indonesia’s Solution dalam soal pengungsi menuju Australia. Inti dari kebijakan itu adalah menjadi Indonesia sebagai dumping ground bagi pengungsi yang bertujuan ke negeri yang didirikan oleh para kriminal tersebut.
Dari situ tampak bahwa kebijakan Indonesia terhadap hukum laut internasional sebenarnya berstandar ganda. Indonesia akan bersikeras mematuhi UNCLOS 1982 saat tidak setuju dengan kebijakan negara lain. Sebaliknya, Indonesia dengan mudahnya melecehkan hukum laut internasional yang selama ini dijunjung tinggi olehnya demi menyenangkan negara lain yang sebenarnya di masa lalu lebih banyak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Bertolak dari preseden ini, sangat mungkin Indonesia di masa depan akan kembali menganut standar ganda dalam penerapan UNCLOS 1982. Artinya kebijakan politik Indonesia, dalam hal ini kebijakan luar negeri menganut pragmatisme. Jikalau demikian, mengapa kita tidak pragmatis pula dalam soal PSI? Daripada bersikap hipokrit dari isu tersebut dengan alasan hukum laut internasional yang sangat nyata dilanggar oleh Indonesia dalam isu lain, lebih baik bergabung saja dengan PSI.
Pada 27-30 Oktober 2009 Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia menjadi tuan rumah Exercise Deep Sabre II. Latihan yang diikut oleh 19 negara itu merupakan latihan terhadap Proliferation Security Initiative (PSI). Sebelumnya pada 2005 di negeri latihan yang sama dengan sandi Exercise Deep Sabre.
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bersikap kontra PSI. Alasannya, selain bertentangan dengan kedaulatan negara pantai dalam soal pencegatan di laut, PSI juga bertentangan dengan hukum laut internasional. UNCLOS 1982 mengenal adanya tiga rezim lintas dan negara pantai tidak diperbolehkan melakukan pencegatan terhadap kapal yang melintas. Sikap teguh menolak PSI dipegang oleh Indonesia hingga detik ini.
Namun bertolak belakang dari itu adalah sikap Indonesia dalam illegal immigrant yang tengah berlayar menuju Australia. Indonesia tanpa ragu-ragu melanggar hukum internasional dengan menangkap kapal yang berisi para illegal immigrant asal Srilanka ketika melintas di Selat Sunda yang merupakan bagian dari ALKI I. Tindakan itu dilakukan untuk menyenangkan hati Australia yang kini menganut kebijakan Indonesia’s Solution dalam soal pengungsi menuju Australia. Inti dari kebijakan itu adalah menjadi Indonesia sebagai dumping ground bagi pengungsi yang bertujuan ke negeri yang didirikan oleh para kriminal tersebut.
Dari situ tampak bahwa kebijakan Indonesia terhadap hukum laut internasional sebenarnya berstandar ganda. Indonesia akan bersikeras mematuhi UNCLOS 1982 saat tidak setuju dengan kebijakan negara lain. Sebaliknya, Indonesia dengan mudahnya melecehkan hukum laut internasional yang selama ini dijunjung tinggi olehnya demi menyenangkan negara lain yang sebenarnya di masa lalu lebih banyak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Bertolak dari preseden ini, sangat mungkin Indonesia di masa depan akan kembali menganut standar ganda dalam penerapan UNCLOS 1982. Artinya kebijakan politik Indonesia, dalam hal ini kebijakan luar negeri menganut pragmatisme. Jikalau demikian, mengapa kita tidak pragmatis pula dalam soal PSI? Daripada bersikap hipokrit dari isu tersebut dengan alasan hukum laut internasional yang sangat nyata dilanggar oleh Indonesia dalam isu lain, lebih baik bergabung saja dengan PSI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar