All hands,
Pemahaman terhadap hukum laut di negeri ini belum sesuai tingkat yang diharapkan. Selama ini ada kesan kuat bahwa yang harus paham terhadap hukum laut hanyalah Angkatan Laut yang lahan “bisnis”-nya memang di laut. Adapun pihak-pihak lain tidak peduli soal itu, bahkan ada pihak yang bersikeras menerapkan asas hukum darat di laut yang tentu saja bertentangan dengan hukum internasional.
Karena ketidakpahaman itu, terjadilah kasus di mana kapal non kapal perang diberi kewenangan untuk menindak pelanggaran hukum di zona ekonomi eksklusif. Hal itu menandakan bahwa pembuat peraturan itu dan penganjur pembuat peraturan tersebut tidak paham dengah hukum laut. Terjadi pula kasus yang mana otoritas sipil memerintahkan Angkatan Laut mencegat kapal sipil yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan tanpa alasan yang kuat. Padahal dalam hukum laut internasional sudah diatur bahwa kapal apapun yang melintas, termasuk menggunakan rezim alur laut kepulauan, tidak boleh dicegat kecuali dengan alasan tertentu yang harus kuat.
Kalau ada pihak yang paham hukum, kasus-kasus seperti itu bisa dipermasalahkan. Kalau soal PSI Indonesia bersikeras tidak mau terlibat mencegat kapal yang melintas di perairan Indonesia karena bertentangan dengan hukum laut internasional, sikap serupa seolah dilupakan ketika menyentuh kasus sekelompok manusia yang melintas perairan Indonesia dengan tujuan negara lain. Ada apa dengan semua ini?
Meskipun hukum adalah produk politik, tidak berarti ada alasan untuk bersikap standar ganda. Apalagi standar ganda tersebut bukan untuk kepentingan nasional Indonesia, tetapi untuk menyenangkan hati negara lain. Kalau mengambil sikap standar ganda atas nama kepentingan nasional, masih bisa dipahami. Akan tetapi sulit dipahami apabila sikap itu ditempuh demi menyenangkan hati pihak lain.
Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia akan terus berstandar ganda terhadap hukum laut internasional yang selama ini sangat dijunjung olehnya? Sungguh memalukan Indonesia bersikap demikian, padahal Indonesia selama ini konsisten mengkritisi negara lain yang menerapkan standar ganda dalam beberapa isu internasional.
Pemahaman terhadap hukum laut di negeri ini belum sesuai tingkat yang diharapkan. Selama ini ada kesan kuat bahwa yang harus paham terhadap hukum laut hanyalah Angkatan Laut yang lahan “bisnis”-nya memang di laut. Adapun pihak-pihak lain tidak peduli soal itu, bahkan ada pihak yang bersikeras menerapkan asas hukum darat di laut yang tentu saja bertentangan dengan hukum internasional.
Karena ketidakpahaman itu, terjadilah kasus di mana kapal non kapal perang diberi kewenangan untuk menindak pelanggaran hukum di zona ekonomi eksklusif. Hal itu menandakan bahwa pembuat peraturan itu dan penganjur pembuat peraturan tersebut tidak paham dengah hukum laut. Terjadi pula kasus yang mana otoritas sipil memerintahkan Angkatan Laut mencegat kapal sipil yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan tanpa alasan yang kuat. Padahal dalam hukum laut internasional sudah diatur bahwa kapal apapun yang melintas, termasuk menggunakan rezim alur laut kepulauan, tidak boleh dicegat kecuali dengan alasan tertentu yang harus kuat.
Kalau ada pihak yang paham hukum, kasus-kasus seperti itu bisa dipermasalahkan. Kalau soal PSI Indonesia bersikeras tidak mau terlibat mencegat kapal yang melintas di perairan Indonesia karena bertentangan dengan hukum laut internasional, sikap serupa seolah dilupakan ketika menyentuh kasus sekelompok manusia yang melintas perairan Indonesia dengan tujuan negara lain. Ada apa dengan semua ini?
Meskipun hukum adalah produk politik, tidak berarti ada alasan untuk bersikap standar ganda. Apalagi standar ganda tersebut bukan untuk kepentingan nasional Indonesia, tetapi untuk menyenangkan hati negara lain. Kalau mengambil sikap standar ganda atas nama kepentingan nasional, masih bisa dipahami. Akan tetapi sulit dipahami apabila sikap itu ditempuh demi menyenangkan hati pihak lain.
Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia akan terus berstandar ganda terhadap hukum laut internasional yang selama ini sangat dijunjung olehnya? Sungguh memalukan Indonesia bersikap demikian, padahal Indonesia selama ini konsisten mengkritisi negara lain yang menerapkan standar ganda dalam beberapa isu internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar