All hands,
Sangat sulit untuk membantah bahwa kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak berpihak kepada kepentingan pertahanan. Kebijakan ekonomi negeri ini yang dimotori oleh birokrat dan akademisi yang pintas dan cerdas minus kesadaran terhadap kepentingan nasional lebih banyak bertolak belakang dengan kepentingan pertahanan. Untuk contoh ketidakberpihakan, bahkan bertolak belakang bukan saja pada isu seperti pengadaan sistem senjata, tetapi juga pada isu-isu lain yang terkait secara tidak langsung dengan pertahanan.
Misalnya adalah pemberian kebebasan kepada pihak asing untuk mengendalikan ekonomi Indonesia melalui penguasaan saham tanpa pembatasan signifikan terhadap lembaga keuangan dan perbankan nasional. Tidak heran bila kini banyak bank swasta yang tuannya berada di Kuala Lumpur dan Singapura. Bahkan mungkin suatu saat nanti bank sentral Indonesia pun akan mempunyai tuan di luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kita sangat paham bahwa Amerika Serikat pun yang dicap sebagai negara liberal ternyata tidak memberikan peluang sedikit pun akan penguasaan asing terhadap aset-aset ekonomi vital mereka. Bahkan ketika Cina hendak menguasai salah satu perusahaan minyak Amerika Serikat yaitu Unocal beberapa tahun silam, Kongres Amerika Serikat langsung memveto. Kalau di Indonesia, Pertamina yang sudah dikerdilkan pun konon kabarnya sempat hendak dijual oleh pihak tertentu dan apabila hal itu terjadi, parlemen Indonesia dipastikan dengan mudahnya akan menyetujui kebijakan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa semua ini terjadi? Apakah semata-mata desakan asing? Sepertinya tidak, hal ini bukan semata desakan asing seperti IMF, Bank Dunia dan para sekutunya. Hal ini terjadi karakter kepemimpinan nasional, khususnya pasca reformasi, tidak lagi memandang penting kepentingan nasional. Semua masalah dilihat secara sektoral, sehingga terjadilah peristiwa semacam penguasaan mayoritas oleh pemegang modal asing terhadap perbankan nasional tanpa menghiraukan keterkaitannya dengan kepentingan nasional bangsa ini.
Sekarang mari kita berpikir ke depan. Apa yang akan terjadi dengan ekonomi Indonesia apabila timbul konflik dengan Negeri Tukang Klaim atas masalah di Laut Sulawesi? Ekonomi nasional negeri ini dipastikan bergejolak karena sebagian perbankan nasional Indonesia dikuasai oleh para tuan di Kuala Lumpur.
Pertanyaannya, kalau ekonomi bergejolak apakah lantas pemimpin nasional akan mendahulukan bagaimana menstabilkan ekonomi ataukah tetap mendahulukan mengamankan kepentingan nasional di Laut Sulawesi? Dengan kata lain, apakah pemimpin nasional negeri ini akan mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepentingan pertahanan, dalam hal ini keutuhan wilayah Indonesia? Menghadapi skenario seperti itu dibutuhkan keteguhan sikap, bukan mencari peluang win-win solution.
Bagaimana pula bila terjadi konflik dengan Singapura? Apakah pengambil keputusan di negeri ini lebih mendahulukan menstabilitasi ekonomi yang bergejolak atas nama kesejahteraan daripada mendahulukan integritas wilayah negara? Ada saatnya frase yang mendahulukan kepentingan kesejahteraan harus ditaruh ke belakang dan pilihan itu hanya bisa diambil oleh pihak yang mengerti betul dengan martabat dan wibawa bangsa.
Sangat sulit untuk membantah bahwa kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak berpihak kepada kepentingan pertahanan. Kebijakan ekonomi negeri ini yang dimotori oleh birokrat dan akademisi yang pintas dan cerdas minus kesadaran terhadap kepentingan nasional lebih banyak bertolak belakang dengan kepentingan pertahanan. Untuk contoh ketidakberpihakan, bahkan bertolak belakang bukan saja pada isu seperti pengadaan sistem senjata, tetapi juga pada isu-isu lain yang terkait secara tidak langsung dengan pertahanan.
Misalnya adalah pemberian kebebasan kepada pihak asing untuk mengendalikan ekonomi Indonesia melalui penguasaan saham tanpa pembatasan signifikan terhadap lembaga keuangan dan perbankan nasional. Tidak heran bila kini banyak bank swasta yang tuannya berada di Kuala Lumpur dan Singapura. Bahkan mungkin suatu saat nanti bank sentral Indonesia pun akan mempunyai tuan di luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kita sangat paham bahwa Amerika Serikat pun yang dicap sebagai negara liberal ternyata tidak memberikan peluang sedikit pun akan penguasaan asing terhadap aset-aset ekonomi vital mereka. Bahkan ketika Cina hendak menguasai salah satu perusahaan minyak Amerika Serikat yaitu Unocal beberapa tahun silam, Kongres Amerika Serikat langsung memveto. Kalau di Indonesia, Pertamina yang sudah dikerdilkan pun konon kabarnya sempat hendak dijual oleh pihak tertentu dan apabila hal itu terjadi, parlemen Indonesia dipastikan dengan mudahnya akan menyetujui kebijakan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa semua ini terjadi? Apakah semata-mata desakan asing? Sepertinya tidak, hal ini bukan semata desakan asing seperti IMF, Bank Dunia dan para sekutunya. Hal ini terjadi karakter kepemimpinan nasional, khususnya pasca reformasi, tidak lagi memandang penting kepentingan nasional. Semua masalah dilihat secara sektoral, sehingga terjadilah peristiwa semacam penguasaan mayoritas oleh pemegang modal asing terhadap perbankan nasional tanpa menghiraukan keterkaitannya dengan kepentingan nasional bangsa ini.
Sekarang mari kita berpikir ke depan. Apa yang akan terjadi dengan ekonomi Indonesia apabila timbul konflik dengan Negeri Tukang Klaim atas masalah di Laut Sulawesi? Ekonomi nasional negeri ini dipastikan bergejolak karena sebagian perbankan nasional Indonesia dikuasai oleh para tuan di Kuala Lumpur.
Pertanyaannya, kalau ekonomi bergejolak apakah lantas pemimpin nasional akan mendahulukan bagaimana menstabilkan ekonomi ataukah tetap mendahulukan mengamankan kepentingan nasional di Laut Sulawesi? Dengan kata lain, apakah pemimpin nasional negeri ini akan mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepentingan pertahanan, dalam hal ini keutuhan wilayah Indonesia? Menghadapi skenario seperti itu dibutuhkan keteguhan sikap, bukan mencari peluang win-win solution.
Bagaimana pula bila terjadi konflik dengan Singapura? Apakah pengambil keputusan di negeri ini lebih mendahulukan menstabilitasi ekonomi yang bergejolak atas nama kesejahteraan daripada mendahulukan integritas wilayah negara? Ada saatnya frase yang mendahulukan kepentingan kesejahteraan harus ditaruh ke belakang dan pilihan itu hanya bisa diambil oleh pihak yang mengerti betul dengan martabat dan wibawa bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar