All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, setidaknya ada tiga kebijakan yang dianut oleh banyak negara. Yakni off-the-shelf, offset dan indigenous development. Sebagian negara berkembang kini mulai mencoba menyeimbangkan antara off-the-shelf dengan offset, bahkan ada pula yang sudah merambah menuju indigenous development. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami kemunduran dalam kebijakan pengadaan sistem senjata dibandingkan di masa lalu.
Dahulu Indonesia sempat menganut pendekatan ganda yaitu off-the shelf dan offset. Pendekatan off-the-self bisa dilihat dari pembelian sejumlah kapal selam, korvet dan fregat dari Eropa selama era 1980-an. Adapun pendekatan offset contohnya adalah saat Indonesia membeli sejumlah kapal FPB-57, yang mana kapal tersebut dibuat berdasarkan lisensi dari Jerman.
Setelah era itu berganti seiring dengan bergantinya pemerintahan, kebijakan pengadaan sistem senjata nyaris off-the-shelf semua. Kalau pun ada offset, baru pada beberapa kapal LPD. Itu pun prosesnya tidak lancar yang disebabkan oleh ketidaksiapan industri perkapalan nasional.
Kalau pemerintah berkepentingan dengan kemajuan industri pertahanan dalam negeri, maka kebijakan off-the-shelf harus dibatasi dengan sejumlah catatan. Catatan yang dimaksud adalah kesiapan industri pertahanan nasional untuk melaksanakan offset, baik dari segi finansial, keahlian maupun infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus bisa menjamin kelanjutan pesanan dari industri tersebut. Jangan lagi kasus seperti FPB-57 kembali terulang.
Untuk bisa menyeimbangkan antara off-the-shelf dan offset, Indonesia harus bisa menghitung dulu kemampuannya. Dalam soal kapal perang, masalah klasik yang dihadapi oleh banyak negara berkembang ketika menyentuh soal offset adalah pada sistem pendorong dan elektronika. Sebagai latar belakang, Cina yang dikenal suka mencontek produk negara lain melalui proses reverse engineering masih saja kesulitan dalam dua hal tersebut.
Kalau soal platform tidak terlalu sulit untuk menguasai teknologinya. Namun menyangkut sistem pendorong dan elektronika, negara-negara maju sangat enggan melaksanakan offset khususnya untuk yang berspesifikasi militer. Untuk klasifikasi sipil, bisa dengan mudah ditemui di pasaran, namun tentunya tidak akan cocok bahwa kepentingan militer.
Sekali lagi, kasus FPB-57 menunjukkan kebenaran akan hal tersebut. Teknologi kapal perang itu yang dikuasai oleh Indonesia adalah soal platform, tetapi tidak untuk sistem pendorong dan elektronika. Untuk dua sistem terakhir, nampaknya harus berupaya sendiri menguasainya melalui proses trial and error dalam R&D.
Kembali ke kebijakan off-the-shelf dan offset, Departemen Pertahanan harus merumuskannya secara jelas. Agar tidak hanya berkutat pada slogan transfer of technology yang bagi sebagian pihak dianggap sebagai tidak realistis. Tidak realistis karena teknologi berada dalam bingkai politik suatu negara.
Dalam pengadaan sistem senjata, setidaknya ada tiga kebijakan yang dianut oleh banyak negara. Yakni off-the-shelf, offset dan indigenous development. Sebagian negara berkembang kini mulai mencoba menyeimbangkan antara off-the-shelf dengan offset, bahkan ada pula yang sudah merambah menuju indigenous development. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami kemunduran dalam kebijakan pengadaan sistem senjata dibandingkan di masa lalu.
Dahulu Indonesia sempat menganut pendekatan ganda yaitu off-the shelf dan offset. Pendekatan off-the-self bisa dilihat dari pembelian sejumlah kapal selam, korvet dan fregat dari Eropa selama era 1980-an. Adapun pendekatan offset contohnya adalah saat Indonesia membeli sejumlah kapal FPB-57, yang mana kapal tersebut dibuat berdasarkan lisensi dari Jerman.
Setelah era itu berganti seiring dengan bergantinya pemerintahan, kebijakan pengadaan sistem senjata nyaris off-the-shelf semua. Kalau pun ada offset, baru pada beberapa kapal LPD. Itu pun prosesnya tidak lancar yang disebabkan oleh ketidaksiapan industri perkapalan nasional.
Kalau pemerintah berkepentingan dengan kemajuan industri pertahanan dalam negeri, maka kebijakan off-the-shelf harus dibatasi dengan sejumlah catatan. Catatan yang dimaksud adalah kesiapan industri pertahanan nasional untuk melaksanakan offset, baik dari segi finansial, keahlian maupun infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus bisa menjamin kelanjutan pesanan dari industri tersebut. Jangan lagi kasus seperti FPB-57 kembali terulang.
Untuk bisa menyeimbangkan antara off-the-shelf dan offset, Indonesia harus bisa menghitung dulu kemampuannya. Dalam soal kapal perang, masalah klasik yang dihadapi oleh banyak negara berkembang ketika menyentuh soal offset adalah pada sistem pendorong dan elektronika. Sebagai latar belakang, Cina yang dikenal suka mencontek produk negara lain melalui proses reverse engineering masih saja kesulitan dalam dua hal tersebut.
Kalau soal platform tidak terlalu sulit untuk menguasai teknologinya. Namun menyangkut sistem pendorong dan elektronika, negara-negara maju sangat enggan melaksanakan offset khususnya untuk yang berspesifikasi militer. Untuk klasifikasi sipil, bisa dengan mudah ditemui di pasaran, namun tentunya tidak akan cocok bahwa kepentingan militer.
Sekali lagi, kasus FPB-57 menunjukkan kebenaran akan hal tersebut. Teknologi kapal perang itu yang dikuasai oleh Indonesia adalah soal platform, tetapi tidak untuk sistem pendorong dan elektronika. Untuk dua sistem terakhir, nampaknya harus berupaya sendiri menguasainya melalui proses trial and error dalam R&D.
Kembali ke kebijakan off-the-shelf dan offset, Departemen Pertahanan harus merumuskannya secara jelas. Agar tidak hanya berkutat pada slogan transfer of technology yang bagi sebagian pihak dianggap sebagai tidak realistis. Tidak realistis karena teknologi berada dalam bingkai politik suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar