All hands,
Peraturan mengenai bagaimana suatu kapal dapat ditetapkan menjadi kapal perang sebenarnya dari dulu sudah ada. Mengacu pada peraturan itu, tidak semua kapal yang dipunyai oleh Angkatan Laut negeri ini dapat dikategorikan sebagai kapal perang alias KRI. Kapal-kapal yang tidak memenuhi status sebagai kapal perang biasanya ditetapkan sebagai Kapal Angkatan Laut alias KAL. Namun disayangkan beberapa tahun lalu aturan ini tidak diperhatikan dengan penuh, sehingga sejumlah kapal yang statusnya ditetapkan sebagai KRI seringkali dipertanyakan kepatutannya.
Pertanyaan soal kepatutan itu antara lain pada kemampuan operasional kapal tersebut yang terkait dengan bahan baku pembuatan kapal tersebut. Tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa semestinya segolongan kapal tersebut status terbaiknya adalah KAL, bukan KRI. Dalam operasionalnya, terbukti sejumlah kapal jenis itu mengalami masalah teknis terkait dengan bahan baku kapal. Padahal pengoperasian kapal tersebut seringkali digelar di laut terbuka yang sesungguhnya tidak cocok dengan desain asli penggunaan bahan baku tersebut.
Alasan di masa lalu mengenai penetapan sejumlah kapal perang itu sebagai kapal perang adalah untuk mengejar kebutuhan minimal KRI yang belum tercapai. Bukan hal yang aneh kemudian meskipun statusnya adalah kapal perang, namun operasionalnya bukan berada di bawah kendali Armada, melainkan di bawah kendali Lantamal layaknya KAL.
Seiring dengan berjalannya waktu, termasuk ditetapkannya kebijakan minimum essential force (MEF) oleh Departemen Pertahanan, terdapat pemikiran kuat yang akan direalisasikan menyangkut nasib segolongan kapal itu. Yakni menurunkan statusnya dari KRI menjadi KAL. Sebab apabila kapal-kapal itu dimasukkan dalam MEF, jelas tidak bisa memenuhi standar sebuah kapal perang. Sementara MEF menuntut kesiapan sistem senjata setiap matra militer dalam jumlah minimal untuk melaksanakan berbagai operasi.
Bertolak dari sini, ke depan hendaknya penetapan suatu kapal sebagai kapal perang hendaknya melalui pertimbangan yang matang dari segala aspek. Bukan lagi sekedar untuk mengejar jumlah kapal perang minimal yang belum terpenuhi. Hendaknya kembali dipahami bersama bahwa kapal perang adalah simbol negara, dengan demikian tidak semua kapal layak jadi simbol negara.
Peraturan mengenai bagaimana suatu kapal dapat ditetapkan menjadi kapal perang sebenarnya dari dulu sudah ada. Mengacu pada peraturan itu, tidak semua kapal yang dipunyai oleh Angkatan Laut negeri ini dapat dikategorikan sebagai kapal perang alias KRI. Kapal-kapal yang tidak memenuhi status sebagai kapal perang biasanya ditetapkan sebagai Kapal Angkatan Laut alias KAL. Namun disayangkan beberapa tahun lalu aturan ini tidak diperhatikan dengan penuh, sehingga sejumlah kapal yang statusnya ditetapkan sebagai KRI seringkali dipertanyakan kepatutannya.
Pertanyaan soal kepatutan itu antara lain pada kemampuan operasional kapal tersebut yang terkait dengan bahan baku pembuatan kapal tersebut. Tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa semestinya segolongan kapal tersebut status terbaiknya adalah KAL, bukan KRI. Dalam operasionalnya, terbukti sejumlah kapal jenis itu mengalami masalah teknis terkait dengan bahan baku kapal. Padahal pengoperasian kapal tersebut seringkali digelar di laut terbuka yang sesungguhnya tidak cocok dengan desain asli penggunaan bahan baku tersebut.
Alasan di masa lalu mengenai penetapan sejumlah kapal perang itu sebagai kapal perang adalah untuk mengejar kebutuhan minimal KRI yang belum tercapai. Bukan hal yang aneh kemudian meskipun statusnya adalah kapal perang, namun operasionalnya bukan berada di bawah kendali Armada, melainkan di bawah kendali Lantamal layaknya KAL.
Seiring dengan berjalannya waktu, termasuk ditetapkannya kebijakan minimum essential force (MEF) oleh Departemen Pertahanan, terdapat pemikiran kuat yang akan direalisasikan menyangkut nasib segolongan kapal itu. Yakni menurunkan statusnya dari KRI menjadi KAL. Sebab apabila kapal-kapal itu dimasukkan dalam MEF, jelas tidak bisa memenuhi standar sebuah kapal perang. Sementara MEF menuntut kesiapan sistem senjata setiap matra militer dalam jumlah minimal untuk melaksanakan berbagai operasi.
Bertolak dari sini, ke depan hendaknya penetapan suatu kapal sebagai kapal perang hendaknya melalui pertimbangan yang matang dari segala aspek. Bukan lagi sekedar untuk mengejar jumlah kapal perang minimal yang belum terpenuhi. Hendaknya kembali dipahami bersama bahwa kapal perang adalah simbol negara, dengan demikian tidak semua kapal layak jadi simbol negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar