All hands,
Kini pemerintah tengah mencoba merealisasikan semangat dan retorika menggunakan hasil industri pertahanan dalam negeri bagi kepentingan pertahanan ke dalam tataran empiris. Realisasi itu patut dihargai, namun harus pula didukung oleh kesiapan oleh industri pertahanan tersebut. Singkat, banyak pembenahan yang perlu dilaksanakan oleh industri pertahanan Indonesia agar produknya dipercaya oleh konsumen nasional. Salah satunya adalah pada bidang layanan purna jual alias after sales service.
Selama ini layanan purna jual yang diberikan oleh industri pertahanan dalam negeri kepada konsumen masih jauh dari memuaskan. Sebagai contoh adalah kerusakan pada instrumen pesawat udara yang seharusnya sebagai produsen industri pertahanan nasional tertentu dapat memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Kalau memang suku cadang instrumen itu tidak ada di dalam negeri, seharusnya industri yang bersangkutan bisa mencarikan ke pabrikannya di luar negeri.
Seperti diketahui, pesawat terbang yang mempunyai beragam komponen yang tidak semuanya dibuat oleh pabrikan pesawat terbang. Misalnya peralatan navigasi dan elektronika yang dibuat oleh pabrik yang mengkhususkan diri pada bidang itu, semacam Bendix, Thales dan lain sebagainya. Begitu pula dengan mesin pesawat yang sudah pasti dipasok oleh pabrikan seperti Roll Royce, Garret, P&W dan lain sebagainya.
Layanan purna jual yang juga sering dikeluhkan oleh konsumen nasional adalah jangka waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan tersebut. Mungkin dari segi harga biaya perbaikan di industri dirgantara nasional masih lebih murah dibandingkan dengan fasilitas serupa di kawasan Asia Pasifik, akan tetapi hal itu belum berbanding lurus dengan kualitas hasil perbaikan dan juga waktu yang diperlukan untuk perbaikan.
Bagi konsumen, molornya waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan yang diragukan mempengaruhi rencana operasi yang telah ditetapkan. Misalnya pesawat x yang dijadwalkan dua bulan lagi akan selesai menjalani perbaikan, sepulangnya ke pangkalan akan digunakan untuk melaksanakan operasi y yang digelar setelah masa perbaikan selesai. Akan tetapi karena ketidaktepatan waktu dari pabrikan, mempengaruhi pula rencana operasi yang akan dilaksanakan, khususnya menyangkut unsur apa yang akan dipakai.
Itu adalah segelintir tantangan di depan mata yang harus mampu dijawab oleh industri pertahanan dalam negeri. Bila industri tersebut tidak melakukan pembenahan, bukan tidak mungkin konsumen nasional akan kembali melirik produk asing yang dinilai lebih kompetitif dari segi harga dan kualitas, termasuk di dalamnya layanan purna jual.
Kini pemerintah tengah mencoba merealisasikan semangat dan retorika menggunakan hasil industri pertahanan dalam negeri bagi kepentingan pertahanan ke dalam tataran empiris. Realisasi itu patut dihargai, namun harus pula didukung oleh kesiapan oleh industri pertahanan tersebut. Singkat, banyak pembenahan yang perlu dilaksanakan oleh industri pertahanan Indonesia agar produknya dipercaya oleh konsumen nasional. Salah satunya adalah pada bidang layanan purna jual alias after sales service.
Selama ini layanan purna jual yang diberikan oleh industri pertahanan dalam negeri kepada konsumen masih jauh dari memuaskan. Sebagai contoh adalah kerusakan pada instrumen pesawat udara yang seharusnya sebagai produsen industri pertahanan nasional tertentu dapat memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Kalau memang suku cadang instrumen itu tidak ada di dalam negeri, seharusnya industri yang bersangkutan bisa mencarikan ke pabrikannya di luar negeri.
Seperti diketahui, pesawat terbang yang mempunyai beragam komponen yang tidak semuanya dibuat oleh pabrikan pesawat terbang. Misalnya peralatan navigasi dan elektronika yang dibuat oleh pabrik yang mengkhususkan diri pada bidang itu, semacam Bendix, Thales dan lain sebagainya. Begitu pula dengan mesin pesawat yang sudah pasti dipasok oleh pabrikan seperti Roll Royce, Garret, P&W dan lain sebagainya.
Layanan purna jual yang juga sering dikeluhkan oleh konsumen nasional adalah jangka waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan tersebut. Mungkin dari segi harga biaya perbaikan di industri dirgantara nasional masih lebih murah dibandingkan dengan fasilitas serupa di kawasan Asia Pasifik, akan tetapi hal itu belum berbanding lurus dengan kualitas hasil perbaikan dan juga waktu yang diperlukan untuk perbaikan.
Bagi konsumen, molornya waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan yang diragukan mempengaruhi rencana operasi yang telah ditetapkan. Misalnya pesawat x yang dijadwalkan dua bulan lagi akan selesai menjalani perbaikan, sepulangnya ke pangkalan akan digunakan untuk melaksanakan operasi y yang digelar setelah masa perbaikan selesai. Akan tetapi karena ketidaktepatan waktu dari pabrikan, mempengaruhi pula rencana operasi yang akan dilaksanakan, khususnya menyangkut unsur apa yang akan dipakai.
Itu adalah segelintir tantangan di depan mata yang harus mampu dijawab oleh industri pertahanan dalam negeri. Bila industri tersebut tidak melakukan pembenahan, bukan tidak mungkin konsumen nasional akan kembali melirik produk asing yang dinilai lebih kompetitif dari segi harga dan kualitas, termasuk di dalamnya layanan purna jual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar