All hands,
Kapal tanker MV Pramoni bertonase 20.000 DWT berbendera Singapura baru saja dibajak oleh para pembajak Somalia di perairan Teluk Aden. Kapal dengan tujuan Kandla, India tersebut diawaki oleh 24 ABK dari berbagai kebangsaan dan 17 di antaranya adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, meskipun kapal itu bukan berbendera Merah Putih melainkan merah putih plus bulan sabit dan bintang, ada kepentingan nasional Indonesia yang dipertaruhkan dengan kasus pembajakan tersebut.
Kepentingan nasional itu adalah melindungi warga negara Indonesia. Meskipun mereka bukan tokoh publik, penyanderaan mereka hendaknya menjadi perhatian khusus pemerintah. Jangan seperti kasus beberapa tahun lalu, ketika “hanya” dua wartawan sebuah stasiun televisi Indonesia diculik di Irak, seluruh negeri kelimpungan. Bahkan pemimpin negeri ini harus membuat suatu pernyataan pers yang kemudian ditayangkan di sebuah televisi internasional berbahasa Arab “hanya’ untuk dua orang tersebut.
Ada kekhawatiran kuat, meskipun kini yang disandera jumlahnya 17 orang warga Indonesia, namun karena mereka bukan siapa-siapa di Republik ini, kasus mereka tidak akan merepotkan siapapun. Kecuali keluarga mereka sendiri serta orang-orang yang mereka cintai. Atau paling jauh perusahaan yang mempekerjakan mereka. Titik!!!
Kalau berbicara tentang penyanderaan warga Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing, ada preseden buruk beberapa tahun lalu. Ketika sekitar 5 warga negara Indonesia disandera di sana beberapa tahun lalu, penyelesaiannya diserahkan kepada perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pihak berwenang di Indonesia, terkesan hanya sibuk di awal-awal saja. Membutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk pembebasan mereka dan kalau mau jujur, kontribusi pemerintah dalam pembebasan mereka sangat sedikit.
Konstitusi republik ini mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk antara lain melindungi segenap warga negara Indonesia. Perlindungan itu bukan saja di wilayah yurisdiksi, tetapi di manapun mereka berada. Artinya, pada soal ini tidak ada beda antara konstitusi Republik Indonesia dengan Amerika Serikat.
Yang berbeda adalah bagaimana cara melindunginya. Ketika satu orang warga Amerika Serikat disandera di perairan Somalia tahun lalu, Presiden Amerika Serikat langsung menurunkan pasukan khusus U.S. Navy Seals untuk membebaskan warga itu. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk operasi tersebut, berapa penyandera yang harus mati demi membebaskan sang warga tersebut bukan menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Tujuan yang harus dicapai adalah membebaskan warga Amerika Serikat itu dengan cara apapun. Titik!!!
Dengan kasus yang kini terjadi di Somalia, hendaknya masalah ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Ada ribuan warga negara Indonesia yang bekerja di berbagai kapal berbendera asing. Dan tidak sedikit dari kapal-kapal itu yang dalam rute pelayarannya melalui perairan Somalia dan sekitarnya. Hal itu menandakan bahwa potensi terus berulangnya kasus penyanderaan warga negara Indonesia oleh para perompak di Somalia cukup besar.
Kondisi itu berimplikasi pada mendesaknya perubahan pendekatan dalam penanganan masalah penyanderaan di Somalia. Indonesia tidak dapat lagi menerapkan cara-cara sekarang yakni mengedepankan instrumen diplomasi saja. Tentu kita sudah paham seberapa “sakti” kinerja instrumen diplomasi Indonesia dalam soal penyanderaan di Somalia.
Harus dikedepankan pula instrumen lainnya, yaitu instrumen militer. Ketika menyentuh instrumen militer, pilihan tunggal adalah Angkatan Laut. Singkatnya, pemerintah harus mempertimbangkan menyebarkan kapal perang Indonesia ke perairan Somalia. Tujuan penyebaran itu jelas, yaitu menjaga kepentingan nasional Indonesia dan sekaligus berpartisipasi menjaga stabilitas keamanan maritim internasional.
Sudah pasti ketika ide ini muncul, ada pihak-pihak yang langsung bertanya soal biaya operasional Angkatan Laut. Soal biaya sebenarnya bisa diatur, asalkan ada kemauan politik. Indonesia punya pengalaman menyebarkan kapal perang ke Lebanon dan berapa biaya operasional yang dikeluarkan selama enam bulan di perairan Lebanon dapat dijadikan referensi untuk menghitung biaya. Biaya adalah konsekuensi dari suatu kemauan politik. Pertanyaannya, adakah kemauan politik pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan dalam menghadapi pembajakan di perairan Somalia?
Kapal tanker MV Pramoni bertonase 20.000 DWT berbendera Singapura baru saja dibajak oleh para pembajak Somalia di perairan Teluk Aden. Kapal dengan tujuan Kandla, India tersebut diawaki oleh 24 ABK dari berbagai kebangsaan dan 17 di antaranya adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, meskipun kapal itu bukan berbendera Merah Putih melainkan merah putih plus bulan sabit dan bintang, ada kepentingan nasional Indonesia yang dipertaruhkan dengan kasus pembajakan tersebut.
Kepentingan nasional itu adalah melindungi warga negara Indonesia. Meskipun mereka bukan tokoh publik, penyanderaan mereka hendaknya menjadi perhatian khusus pemerintah. Jangan seperti kasus beberapa tahun lalu, ketika “hanya” dua wartawan sebuah stasiun televisi Indonesia diculik di Irak, seluruh negeri kelimpungan. Bahkan pemimpin negeri ini harus membuat suatu pernyataan pers yang kemudian ditayangkan di sebuah televisi internasional berbahasa Arab “hanya’ untuk dua orang tersebut.
Ada kekhawatiran kuat, meskipun kini yang disandera jumlahnya 17 orang warga Indonesia, namun karena mereka bukan siapa-siapa di Republik ini, kasus mereka tidak akan merepotkan siapapun. Kecuali keluarga mereka sendiri serta orang-orang yang mereka cintai. Atau paling jauh perusahaan yang mempekerjakan mereka. Titik!!!
Kalau berbicara tentang penyanderaan warga Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing, ada preseden buruk beberapa tahun lalu. Ketika sekitar 5 warga negara Indonesia disandera di sana beberapa tahun lalu, penyelesaiannya diserahkan kepada perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pihak berwenang di Indonesia, terkesan hanya sibuk di awal-awal saja. Membutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk pembebasan mereka dan kalau mau jujur, kontribusi pemerintah dalam pembebasan mereka sangat sedikit.
Konstitusi republik ini mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk antara lain melindungi segenap warga negara Indonesia. Perlindungan itu bukan saja di wilayah yurisdiksi, tetapi di manapun mereka berada. Artinya, pada soal ini tidak ada beda antara konstitusi Republik Indonesia dengan Amerika Serikat.
Yang berbeda adalah bagaimana cara melindunginya. Ketika satu orang warga Amerika Serikat disandera di perairan Somalia tahun lalu, Presiden Amerika Serikat langsung menurunkan pasukan khusus U.S. Navy Seals untuk membebaskan warga itu. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk operasi tersebut, berapa penyandera yang harus mati demi membebaskan sang warga tersebut bukan menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Tujuan yang harus dicapai adalah membebaskan warga Amerika Serikat itu dengan cara apapun. Titik!!!
Dengan kasus yang kini terjadi di Somalia, hendaknya masalah ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Ada ribuan warga negara Indonesia yang bekerja di berbagai kapal berbendera asing. Dan tidak sedikit dari kapal-kapal itu yang dalam rute pelayarannya melalui perairan Somalia dan sekitarnya. Hal itu menandakan bahwa potensi terus berulangnya kasus penyanderaan warga negara Indonesia oleh para perompak di Somalia cukup besar.
Kondisi itu berimplikasi pada mendesaknya perubahan pendekatan dalam penanganan masalah penyanderaan di Somalia. Indonesia tidak dapat lagi menerapkan cara-cara sekarang yakni mengedepankan instrumen diplomasi saja. Tentu kita sudah paham seberapa “sakti” kinerja instrumen diplomasi Indonesia dalam soal penyanderaan di Somalia.
Harus dikedepankan pula instrumen lainnya, yaitu instrumen militer. Ketika menyentuh instrumen militer, pilihan tunggal adalah Angkatan Laut. Singkatnya, pemerintah harus mempertimbangkan menyebarkan kapal perang Indonesia ke perairan Somalia. Tujuan penyebaran itu jelas, yaitu menjaga kepentingan nasional Indonesia dan sekaligus berpartisipasi menjaga stabilitas keamanan maritim internasional.
Sudah pasti ketika ide ini muncul, ada pihak-pihak yang langsung bertanya soal biaya operasional Angkatan Laut. Soal biaya sebenarnya bisa diatur, asalkan ada kemauan politik. Indonesia punya pengalaman menyebarkan kapal perang ke Lebanon dan berapa biaya operasional yang dikeluarkan selama enam bulan di perairan Lebanon dapat dijadikan referensi untuk menghitung biaya. Biaya adalah konsekuensi dari suatu kemauan politik. Pertanyaannya, adakah kemauan politik pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan dalam menghadapi pembajakan di perairan Somalia?
3 komentar:
Saya setuju dengan pendapat Anda dalam tulisan ini. Saya pikir tulisan ini perlu dipublikaskan dengan menggunakan media yg lain, misalnya melalui surat pembaca Kompas atau masuk ke kolom opini. Sama seperti kasus pembunuhan mahasiswa Indonesia di Singapura yg sempat dibahas di acara Kick Andy. Kasus tersebut katanya menyangkut kepentingan rahasia negara Singapura lalu ada kesan kl pemerintah Indonesia tidak mau memberikan dukungan dalam pengusutannya. Saya sungguh berharap tulisan Anda ini bisa dipublikasikan.
bang, berdasar penelusuran saya.. tu kapal disewa PT. Berlian Laju Tanker .Tbk dari perusahaan norway.. cuma pas lg diperairan somalia ga tau lg dipake BLT or anak perusahaannya GBLT Shipmanagement Pte Ltd di sg.. jadi sebenernya ujung2nya perusahaan indonesia jg...
yah gmana lg bang, comander in chief kita lebih milih ngembangin soft power... jadi ya diserahin ke pejambon.. itu jg ujung2nya cuma dipantau...
berharap si bang, denjaka yg ngebebasin sandera...
Sistem pemerintahan di Indonesia memang carut marut, bagaimana kita bisa bangga dengan bendera merah putih yg dulu diperjuangkan oleh rakyat kalau sekarang pemerintahnya saja tidak peduli dengan hak sebagai warga negara Indonesia. Pemerintah jangan hanya menghimbau kepada rakyatnya agar taat pajak, taat hukum saja.
Coba tolong mereka yang sedang dirampok di Somalia dong pak SBY?
Posting Komentar