All hands,
Sebagian pihak di Indonesia masih belum meyakini bahwa transfer teknologi adalah sebuah kemustahilan. Pihak ini masih yakin seratus persen bahwa pihak asing bersedia melaksanakan transfer teknologi kepada Indonesia dalam pembelian sistem senjata. Keyakinan demikian boleh-boleh saja, akan tetapi hendaknya ada satu hal yang harus diperhatikan dengan cermat.
Yakni dalam transfer teknologi, posisi tangan Indonesia berada di bawah dan bukan di atas. Dengan demikian negeri ini tidak bisa menentukan kata akhir dalam kegiatan tersebut. Apakah pihak asing bersedia memberikan teknologi kepada Indonesia dan tingkat teknologi seperti apa yang hendak diberikan, semua kembali pada kehendak sang pemilik teknologi.
Hal ini hendaknya dipahami betul oleh Indonesia. Tidak sulit untuk membantah bahwa adalah industri kapal perang, globalisasi memang terjadi. Artinya, pembangunan suatu kapal perang di suatu galangan disubkan kepada beragam vendor. Vendor itu ada yang dikontrak membuat lunas kapal, ada yang dikontrak membikin bagian haluan depan, ada yang mendapat kontrak memproduksi anjungan dan lain sebagainya.
Akan tetapi harus diingat bahwa kontrak tersebut biasanya diberikan kepada galangan kapal negara-negara sekutu atau kawan dari negara induk galangan kapal yang memberikan pekerjaan subkontrak. Sebagai contoh, tidak semua bagian dari kapal perang Angkatan Laut kita kelas Sigma dibuat oleh galangan Belanda. Sebagian diproduksi oleh galangan di Eropa Timur yang biaya produksinya lebih murah daripada di Eropa Barat.
Kembali ke soal transfer teknologi, bisa didapatkan apabila ada sikap politik yang jelas dari Indonesia dalam soal hubungan luar negeri. Tanpa itu, posisi negeri ini masih tetap lemah. Keinginan merevitalisasi industri pertahanan dalam negeri patut untuk dihargai, tetapi harus didukung oleh kebijakan di bidang lain.
Sebagian pihak di Indonesia masih belum meyakini bahwa transfer teknologi adalah sebuah kemustahilan. Pihak ini masih yakin seratus persen bahwa pihak asing bersedia melaksanakan transfer teknologi kepada Indonesia dalam pembelian sistem senjata. Keyakinan demikian boleh-boleh saja, akan tetapi hendaknya ada satu hal yang harus diperhatikan dengan cermat.
Yakni dalam transfer teknologi, posisi tangan Indonesia berada di bawah dan bukan di atas. Dengan demikian negeri ini tidak bisa menentukan kata akhir dalam kegiatan tersebut. Apakah pihak asing bersedia memberikan teknologi kepada Indonesia dan tingkat teknologi seperti apa yang hendak diberikan, semua kembali pada kehendak sang pemilik teknologi.
Hal ini hendaknya dipahami betul oleh Indonesia. Tidak sulit untuk membantah bahwa adalah industri kapal perang, globalisasi memang terjadi. Artinya, pembangunan suatu kapal perang di suatu galangan disubkan kepada beragam vendor. Vendor itu ada yang dikontrak membuat lunas kapal, ada yang dikontrak membikin bagian haluan depan, ada yang mendapat kontrak memproduksi anjungan dan lain sebagainya.
Akan tetapi harus diingat bahwa kontrak tersebut biasanya diberikan kepada galangan kapal negara-negara sekutu atau kawan dari negara induk galangan kapal yang memberikan pekerjaan subkontrak. Sebagai contoh, tidak semua bagian dari kapal perang Angkatan Laut kita kelas Sigma dibuat oleh galangan Belanda. Sebagian diproduksi oleh galangan di Eropa Timur yang biaya produksinya lebih murah daripada di Eropa Barat.
Kembali ke soal transfer teknologi, bisa didapatkan apabila ada sikap politik yang jelas dari Indonesia dalam soal hubungan luar negeri. Tanpa itu, posisi negeri ini masih tetap lemah. Keinginan merevitalisasi industri pertahanan dalam negeri patut untuk dihargai, tetapi harus didukung oleh kebijakan di bidang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar