All hands,
Diakui atau tidak, salah satu kegiatan yang menyerap banyak energi di Angkatan Laut adalah soal pengadaan sistem senjata. Sebab Angkatan Laut bukan saja dituntut menyiapkan spesifikasi teknis dan opsreq-nya, tetapi juga terlibat dalam tender beserta semua ikutannya. Proses tender bukan sesuatu yang mudah, sebab Angkatan Laut sebagai calon pengguna harus menetapkan besaran harga yang diinginkan. Masalah harga ini sensitif sekali.
Melihat praktek pada Angkatan Laut di negara-negara lain, mereka tidak terlalu direpotkan dalam proses pengadaan sistem senjata. Kewajiban mereka cukup menganut spesifikasi teknis dan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan kepada Departemen Pertahanan. Soal tender, itu urusan Departemen Pertahanan yang salah satu tugasnya adalah sebagai pembangun kekuatan pertahanan. Dengan kata lain, Angkatan Laut tinggal duduk manis menerima sistem senjata dari Departemen Pertahanan yang harus sesuai dengan spesifikasi teknis dan opsreq yang diajukan.
Kalau kembali ke konsep bang-bin-gun, semestinya Angkatan Laut Indonesia tidak terlibat dalam proses pengadaan alutsista. Sebab fungsi Angkatan Laut adalah sebagai bin. Adapun bang merupakan fungsi dari Departemen Pertahanan. Soal gun seharusnya merupakan fungsi departemen itu pula, sebab penggunaan kekuatan terkait erat dengan kebijakan politik pemerintah.
Untuk bisa kembali mengembalikan konsep bang ke pundak Departemen Pertahanan sehingga Angkatan Laut murni sebagai bin, pekerjaan rumah terbesar bagi Departemen Pertahanan adalah membenahi sumber daya manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang paham soal teknis beragam sistem senjata Angkatan Laut, mustahil departemen itu dapat memenuhi kebutuhan Angkatan Laut sesuai spesifikasi teknis dan opsreq yang disodorkan.
Diakui atau tidak, salah satu kegiatan yang menyerap banyak energi di Angkatan Laut adalah soal pengadaan sistem senjata. Sebab Angkatan Laut bukan saja dituntut menyiapkan spesifikasi teknis dan opsreq-nya, tetapi juga terlibat dalam tender beserta semua ikutannya. Proses tender bukan sesuatu yang mudah, sebab Angkatan Laut sebagai calon pengguna harus menetapkan besaran harga yang diinginkan. Masalah harga ini sensitif sekali.
Melihat praktek pada Angkatan Laut di negara-negara lain, mereka tidak terlalu direpotkan dalam proses pengadaan sistem senjata. Kewajiban mereka cukup menganut spesifikasi teknis dan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan kepada Departemen Pertahanan. Soal tender, itu urusan Departemen Pertahanan yang salah satu tugasnya adalah sebagai pembangun kekuatan pertahanan. Dengan kata lain, Angkatan Laut tinggal duduk manis menerima sistem senjata dari Departemen Pertahanan yang harus sesuai dengan spesifikasi teknis dan opsreq yang diajukan.
Kalau kembali ke konsep bang-bin-gun, semestinya Angkatan Laut Indonesia tidak terlibat dalam proses pengadaan alutsista. Sebab fungsi Angkatan Laut adalah sebagai bin. Adapun bang merupakan fungsi dari Departemen Pertahanan. Soal gun seharusnya merupakan fungsi departemen itu pula, sebab penggunaan kekuatan terkait erat dengan kebijakan politik pemerintah.
Untuk bisa kembali mengembalikan konsep bang ke pundak Departemen Pertahanan sehingga Angkatan Laut murni sebagai bin, pekerjaan rumah terbesar bagi Departemen Pertahanan adalah membenahi sumber daya manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang paham soal teknis beragam sistem senjata Angkatan Laut, mustahil departemen itu dapat memenuhi kebutuhan Angkatan Laut sesuai spesifikasi teknis dan opsreq yang disodorkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar