All hands,
Ketika dihadapkan pada tantangan untuk mengeksploitasi kerjasama Angkatan Laut, seringkali kita dihadapkan pada sempitnya koridor yang tersedia. Khususnya ketika menyentuh bidang operasi dan intelijen, maka akan dirasakan betapa koridor yang tersedia bagi Angkatan Laut untuk mengeksploitasi kerjasama cukup sempit. Setidaknya inilah yang saya rasakan secara pribadi selama ini.
Koridor yang terbuka lebar adalah pada bidang personel dan logistik. Bidang personel antara lain menyangkut kerjasama pendidikan dan pelatihan, sedangkan pada bidang logistik menyentuh kerjama yang terkait dengan bidang tersebut seperti dukungan pengisian bahan bakar secara resiprokal dan lain sebagainya. Namun dua bidang ini pun selama ini nampaknya belum dieksploitasi secara maksimal oleh Indonesia.
Sebagai contoh, tidak jarang ada kursi kosong di lembaga pendidikan Angkatan Laut asing yang sebenarnya dialokasikan oleh Indonesia namun tidak bisa diisi dengan beragam alasan. Dari situ bisa dilihat bahwa negeri ini sebenarnya mengalami kerugian dengan tidak mengisi kuota tersebut. Kerugian tersebut bisa berupa material bila kursi tersebut dihitung sebagai bantuan kerjasama pendidikan dalam bentuk utang luar negeri, dapat pula kerugian non material yang tidak terhitung karena kesempatan menambah wawasan, pergaulan dan jaringan personel Angkatan Laut negeri ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Kembali kepada koridor sempit di bidang operasi dan intelijen, hal itu bisa dilihat dari tidak bisanya Indonesia memenuhi keinginan negara-negara lain untuk melaksanakan combined ops di suatu wilayah perairan. Selain sensitif bagi Indonesia, combined ops juga tidak bisa terlaksana karena kebijakan luar negeri Indonesia. Faktor yang terakhir ini lebih menonjol daripada faktor pertama. Kebijakan luar negeri Indonesia yang dalam prakteknya cenderung anti asing berakibat pada adanya kecurigaan berlebihan ketika muncul gagasan mengenai maritime combined ops, khususnya bila operasi itu dirancang untuk dilaksanakan di dekat perairan Indonesia.
Kerjasama intelijen juga demikian nasibnya. Suatu pihak bersedia membagi informasi intelijen apabila ada posisi kebijakan luar negeri yang sama. Inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Status Indonesia di mata negara-negara utama di kawasan Asia Pasifik tidak jelas kecenderungan “keberpihakannya”. Karena ketidakjelasan itu, wajar saja apabila ada pihak yang berpendapat bahwa mengharapkan realisasi kerjasama intelijen maritim pada ranah yang luas bagi Indonesia bagaikan pungguk merindukan bulan.
Arus utama kerjasama Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik saat ini adalah di bidang operasi dan intelijen, tanpa mengabaikan bidang personel dan logistik. Sangat disayangkan koridor yang bisa dieksploitasi oleh Angkatan Laut Indonesia dalam arus utama itu sangat sempit. Pertanyaannya, apakah negeri ini harus terus begini berlaku terhadap Angkatan Lautnya sendiri?
Ketika dihadapkan pada tantangan untuk mengeksploitasi kerjasama Angkatan Laut, seringkali kita dihadapkan pada sempitnya koridor yang tersedia. Khususnya ketika menyentuh bidang operasi dan intelijen, maka akan dirasakan betapa koridor yang tersedia bagi Angkatan Laut untuk mengeksploitasi kerjasama cukup sempit. Setidaknya inilah yang saya rasakan secara pribadi selama ini.
Koridor yang terbuka lebar adalah pada bidang personel dan logistik. Bidang personel antara lain menyangkut kerjasama pendidikan dan pelatihan, sedangkan pada bidang logistik menyentuh kerjama yang terkait dengan bidang tersebut seperti dukungan pengisian bahan bakar secara resiprokal dan lain sebagainya. Namun dua bidang ini pun selama ini nampaknya belum dieksploitasi secara maksimal oleh Indonesia.
Sebagai contoh, tidak jarang ada kursi kosong di lembaga pendidikan Angkatan Laut asing yang sebenarnya dialokasikan oleh Indonesia namun tidak bisa diisi dengan beragam alasan. Dari situ bisa dilihat bahwa negeri ini sebenarnya mengalami kerugian dengan tidak mengisi kuota tersebut. Kerugian tersebut bisa berupa material bila kursi tersebut dihitung sebagai bantuan kerjasama pendidikan dalam bentuk utang luar negeri, dapat pula kerugian non material yang tidak terhitung karena kesempatan menambah wawasan, pergaulan dan jaringan personel Angkatan Laut negeri ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Kembali kepada koridor sempit di bidang operasi dan intelijen, hal itu bisa dilihat dari tidak bisanya Indonesia memenuhi keinginan negara-negara lain untuk melaksanakan combined ops di suatu wilayah perairan. Selain sensitif bagi Indonesia, combined ops juga tidak bisa terlaksana karena kebijakan luar negeri Indonesia. Faktor yang terakhir ini lebih menonjol daripada faktor pertama. Kebijakan luar negeri Indonesia yang dalam prakteknya cenderung anti asing berakibat pada adanya kecurigaan berlebihan ketika muncul gagasan mengenai maritime combined ops, khususnya bila operasi itu dirancang untuk dilaksanakan di dekat perairan Indonesia.
Kerjasama intelijen juga demikian nasibnya. Suatu pihak bersedia membagi informasi intelijen apabila ada posisi kebijakan luar negeri yang sama. Inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Status Indonesia di mata negara-negara utama di kawasan Asia Pasifik tidak jelas kecenderungan “keberpihakannya”. Karena ketidakjelasan itu, wajar saja apabila ada pihak yang berpendapat bahwa mengharapkan realisasi kerjasama intelijen maritim pada ranah yang luas bagi Indonesia bagaikan pungguk merindukan bulan.
Arus utama kerjasama Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik saat ini adalah di bidang operasi dan intelijen, tanpa mengabaikan bidang personel dan logistik. Sangat disayangkan koridor yang bisa dieksploitasi oleh Angkatan Laut Indonesia dalam arus utama itu sangat sempit. Pertanyaannya, apakah negeri ini harus terus begini berlaku terhadap Angkatan Lautnya sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar