All hands,
Indonesia mempunyai beberapa kerjasama kemitraan strategis dengan beberapa negara besar di kawasan, seperti dengan Cina dan Amerika Serikat. Adapun dengan negara-negara lain, tahapannya belum mencapai pada kemitraan strategis. Kemitraan strategis Indonesia-Cina diteken pada Mei 2005 oleh pemimpin kedua negara. Sedangkan kemitraan strategis Jakarta-Washington disepakati oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden G.W. Bush, Jr pada November 2006.
Kemitraan strategis antara Jakarta dengan Beijing maupun Washington bidang cakupannya sangat luas, termasuk dalam bidang pertahanan. Pertanyaannya kini, setelah beberapa tahun berjalan lalu apa keuntungan yang sudah didapatkan oleh Indonesia di bidang yang satu ini? Apakah keuntungan itu sudah optimal?
Dengan Cina, keuntungan yang sudah dieksploitasi baru sebatas pada kerjasama penjualan rudal anti kapal permukaan beserta sistemnya kepada Angkatan Laut Indonesia. Begitu pula pelatihan pilot tempur Angkatan Udara Indonesia di Negeri Tembok Bambu. Sedangkan kerjasama yang menyangkut teknologi militer belum digarap secara optimal oleh Jakarta. Padahal kerjasama yang terakhir ini juga penting ketika Jakarta bersemangat untuk mengurangi ketergantungan senjatanya dari Barat.
Sementara dengan Washington, kemitraan strategis masih diwarnai oleh trauma Jakarta terhadap kebijakan Amerika Serikat soal militer di masa lalu. Dampaknya, pemanfaatan kemitraan strategis di bidang pertahanan masih sangat terbatas. Yang menikmati baru sebatas Angkatan Laut Indonesia melalui Project 1206 dan 1207. Meskipun proyek itu bukan berupa penjualan sistem senjata, namun sangat membantu kekuatan laut negeri ini meningkatkan kemampuan sensing-nya dalam rangka penciptaan maritime domain awareness.
Memang terdapat sejumlah daftar kerjasama lainnya antara Indonesia dan Amerika Serikat di bidang pertahanan, namun daftar tersebut sudah eksis jauh sebelum kemitraan strategis kedua negara disepakati. Misalnya latihan tahunan antar Angkatan Laut maupun pengiriman perwira Angkatan Laut Indonesia untuk belajar di U.S. Naval War College maupun USMC War College.
Sementara yang menyangkut kerjasama teknologi militer, belum tersentuh sama sekali. Bisa jadi hal demikian terjadi karena Amerika Serikat melihat posisi Indonesia yang kurang jelas dari perspektif kepentingan nasionalnya. Sementara dari persepsi Indonesia sendiri, mungkin saja kerjasama tersebut tidak masuk dalam daftar karena masih trauma dengan kerjasama pertahanan di masa lalu.
Mengacu pada pengalaman India, New Delhi memanfaatkan kemitraan strategisnya dengan negara-negara lain di antaranya untuk meraih keuntungan dari kerjasama teknologi militer. Kemajuan teknologi militer yang kini dinikmati oleh negeri yang pernah membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya itu tidak lepas dari eksploitasi secara optimal kemitraan strategis yang terjalin.
Indonesia mempunyai beberapa kerjasama kemitraan strategis dengan beberapa negara besar di kawasan, seperti dengan Cina dan Amerika Serikat. Adapun dengan negara-negara lain, tahapannya belum mencapai pada kemitraan strategis. Kemitraan strategis Indonesia-Cina diteken pada Mei 2005 oleh pemimpin kedua negara. Sedangkan kemitraan strategis Jakarta-Washington disepakati oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden G.W. Bush, Jr pada November 2006.
Kemitraan strategis antara Jakarta dengan Beijing maupun Washington bidang cakupannya sangat luas, termasuk dalam bidang pertahanan. Pertanyaannya kini, setelah beberapa tahun berjalan lalu apa keuntungan yang sudah didapatkan oleh Indonesia di bidang yang satu ini? Apakah keuntungan itu sudah optimal?
Dengan Cina, keuntungan yang sudah dieksploitasi baru sebatas pada kerjasama penjualan rudal anti kapal permukaan beserta sistemnya kepada Angkatan Laut Indonesia. Begitu pula pelatihan pilot tempur Angkatan Udara Indonesia di Negeri Tembok Bambu. Sedangkan kerjasama yang menyangkut teknologi militer belum digarap secara optimal oleh Jakarta. Padahal kerjasama yang terakhir ini juga penting ketika Jakarta bersemangat untuk mengurangi ketergantungan senjatanya dari Barat.
Sementara dengan Washington, kemitraan strategis masih diwarnai oleh trauma Jakarta terhadap kebijakan Amerika Serikat soal militer di masa lalu. Dampaknya, pemanfaatan kemitraan strategis di bidang pertahanan masih sangat terbatas. Yang menikmati baru sebatas Angkatan Laut Indonesia melalui Project 1206 dan 1207. Meskipun proyek itu bukan berupa penjualan sistem senjata, namun sangat membantu kekuatan laut negeri ini meningkatkan kemampuan sensing-nya dalam rangka penciptaan maritime domain awareness.
Memang terdapat sejumlah daftar kerjasama lainnya antara Indonesia dan Amerika Serikat di bidang pertahanan, namun daftar tersebut sudah eksis jauh sebelum kemitraan strategis kedua negara disepakati. Misalnya latihan tahunan antar Angkatan Laut maupun pengiriman perwira Angkatan Laut Indonesia untuk belajar di U.S. Naval War College maupun USMC War College.
Sementara yang menyangkut kerjasama teknologi militer, belum tersentuh sama sekali. Bisa jadi hal demikian terjadi karena Amerika Serikat melihat posisi Indonesia yang kurang jelas dari perspektif kepentingan nasionalnya. Sementara dari persepsi Indonesia sendiri, mungkin saja kerjasama tersebut tidak masuk dalam daftar karena masih trauma dengan kerjasama pertahanan di masa lalu.
Mengacu pada pengalaman India, New Delhi memanfaatkan kemitraan strategisnya dengan negara-negara lain di antaranya untuk meraih keuntungan dari kerjasama teknologi militer. Kemajuan teknologi militer yang kini dinikmati oleh negeri yang pernah membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya itu tidak lepas dari eksploitasi secara optimal kemitraan strategis yang terjalin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar