All hands,
Bagi negara-negara yang memproyeksikan Angkatan Lautnya ke wilayah-wilayah di mana kepentingan nasionalnya dipertaruhkan, keamanan nasional mereka dapat dipastikan salah satunya terkait dengan kawasan littoral. Strategi maritim nasional yang mereka anut di antaranya menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral. Sebab stabilitas kawasan littoral terkait dengan life line mereka di laut.
Untuk dapat memelihara stabilitas di kawasan littoral di berbagai kawasan dunia, satu di antara kemampuan yang harus dimiliki adalah proyeksi kekuatan dalam bentuk operasi amfibi. Meskipun sebagian kalangan berpendapat bahwa operasi amfibi masa kini sudah tidak relevan lagi, namun pandangan demikian harus ditinjau ulang. Sebab proyeksi kekuatan dari laut ke darat hingga kini masih terus terjadi, cuma bisa jadi dalam proyeksi itu tidak lagi menekankan pada pentingnya pembentukan tumpuan pantai.
U.S. Navy mempunyai gugus tugas yang dikenal sebagai Amphibious Ready Group/Marine Expeditionary Unit (ARG/MEU) yang tulang punggung kekuatannya adalah kapal serang amfibi jenis LHA, LHD atau LSD. Saat ini terdapat empat ARG/MEU di lingkungan Angkatan Laut Negeri Abang Sam. Di dek kapal serang amfibi itu bertengger puluhan heli untuk kepentingan operasi amfibi yang siap memindahkan pasukan Marinir ke daratan melalui konsep STOM. Kalau diperhatikan dengan jelas, tidak ada satu pun sistem pendarat heli itu menggunakan skid, tetapi memakai roda pendarat sebagai halnya pesawat sayap tetap.
Australia dalam kebijakan pertahanannya juga menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral pada wilayah-wilayah jalur pendekatnya. Berbeda dengan Washington yang senantiasa menempatkan Marinir sebagai unsur pemukul utama, Canberra yang tidak mempunyai organisasi Korps Marinir dalam militernya mengandalkan pada Angkatan Darat yang akan diangkut oleh kapal-kapal amfibi Royal Australian Navy. Kekuatan darat Australia dirancang untuk beroperasi di wilayah littoral Indonesia seperti sekitar Selat Lombok, Selat Bali, Selat Ombai dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sampai saat ini tidak mempunyai strategi keamanan nasional, apalagi strategi keamanan maritim, sehingga tampak jelas belum berpikir untuk mengamankan kawasan littoral-nya dari kemungkinan instabilitas, apalagi menghadapi serangan negara lain. Kekuatan Marinir dilatih untuk proyeksi kekuatan ke negeri sendiri, namun belum optimal dilatih untuk melaksanakan operasi anti amfibi. Lihat saja skenario yang dimainkan dalam Latihan Armada Jaya maupun Latihan Gabungan TNI.
Bagi negara-negara yang memproyeksikan Angkatan Lautnya ke wilayah-wilayah di mana kepentingan nasionalnya dipertaruhkan, keamanan nasional mereka dapat dipastikan salah satunya terkait dengan kawasan littoral. Strategi maritim nasional yang mereka anut di antaranya menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral. Sebab stabilitas kawasan littoral terkait dengan life line mereka di laut.
Untuk dapat memelihara stabilitas di kawasan littoral di berbagai kawasan dunia, satu di antara kemampuan yang harus dimiliki adalah proyeksi kekuatan dalam bentuk operasi amfibi. Meskipun sebagian kalangan berpendapat bahwa operasi amfibi masa kini sudah tidak relevan lagi, namun pandangan demikian harus ditinjau ulang. Sebab proyeksi kekuatan dari laut ke darat hingga kini masih terus terjadi, cuma bisa jadi dalam proyeksi itu tidak lagi menekankan pada pentingnya pembentukan tumpuan pantai.
U.S. Navy mempunyai gugus tugas yang dikenal sebagai Amphibious Ready Group/Marine Expeditionary Unit (ARG/MEU) yang tulang punggung kekuatannya adalah kapal serang amfibi jenis LHA, LHD atau LSD. Saat ini terdapat empat ARG/MEU di lingkungan Angkatan Laut Negeri Abang Sam. Di dek kapal serang amfibi itu bertengger puluhan heli untuk kepentingan operasi amfibi yang siap memindahkan pasukan Marinir ke daratan melalui konsep STOM. Kalau diperhatikan dengan jelas, tidak ada satu pun sistem pendarat heli itu menggunakan skid, tetapi memakai roda pendarat sebagai halnya pesawat sayap tetap.
Australia dalam kebijakan pertahanannya juga menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral pada wilayah-wilayah jalur pendekatnya. Berbeda dengan Washington yang senantiasa menempatkan Marinir sebagai unsur pemukul utama, Canberra yang tidak mempunyai organisasi Korps Marinir dalam militernya mengandalkan pada Angkatan Darat yang akan diangkut oleh kapal-kapal amfibi Royal Australian Navy. Kekuatan darat Australia dirancang untuk beroperasi di wilayah littoral Indonesia seperti sekitar Selat Lombok, Selat Bali, Selat Ombai dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sampai saat ini tidak mempunyai strategi keamanan nasional, apalagi strategi keamanan maritim, sehingga tampak jelas belum berpikir untuk mengamankan kawasan littoral-nya dari kemungkinan instabilitas, apalagi menghadapi serangan negara lain. Kekuatan Marinir dilatih untuk proyeksi kekuatan ke negeri sendiri, namun belum optimal dilatih untuk melaksanakan operasi anti amfibi. Lihat saja skenario yang dimainkan dalam Latihan Armada Jaya maupun Latihan Gabungan TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar