All hands,
U.S. Navy mempunyai jenis patroli yang disebut dengan deterrence patrol alias patroli penangkalan. Deterrence patrol dilaksanakan oleh kapal selam dengan senjata yang dibawa adalah senjata nuklir. Hal itu sebenarnya tidak aneh, sebab teori penangkalan dari aspek sejarah lahir karena adanya senjata nuklir.
Sebenarnya tanpa melibatkan kapal selam sekalipun, penyebaran kekuatan laut Amerika Serikat di berbagai kawasan dunia telah melahirkan dampak penangkalan luar biasa. Lihat saja kehadiran satu CVBG atau CVSG dengan satu kapal induk dan berbagai jenis kapal kombatan lainnya serta didukung oleh wing udara yang berpangkalan di atas kapal induk tersebut. Wing udara itu seringkali kekuatannya melebihi kekuatan pesawat tempur Angkatan Udara banyak negara di dunia.
Dengan penggelaran yang demikian, patroli yang dilaksanakan oleh U.S. Navy dipastikan senantiasa mencapai tujuan yaitu menimbulkan dampak penangkalan. Keluaran yang seperti ini seharusnya ditiru pula oleh Indonesia. Setiap patroli harus menimbulkan dampak penangkalan kepada para pengguna perairan Indonesia dan pihak-pihak lain yang terkait.
Untuk mencapai keluaran demikian, diperlukan kesiapan unsur kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut. Ketika menyinggung kesiapan unsur, berarti akan langsung terkait dengan dukungan logistik. Dukungan logistik yang ada di Angkatan Laut adalah turunan dari dukungan anggaran dari pemerintah. Masalah yang kita hadapi selama ini selalu berkutat pada anggaran ketika harus menyiapkan kapal agar siap berlayar dan bertempur.
Singkatnya, dampak penangkalan bisa ditimbulkan apabila adanya dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah bagi Angkatan Laut untuk menyiapkan kapal perangnya. Artinya masalah anggaran terkait komitmen, salah satu dari empat hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penangkalan. Bagaimana mengharapkan patroli yang menimbulkan dampak penangkalan bila komitmen pemerintah terhadap Angkatan Laut masih rendah?
U.S. Navy mempunyai jenis patroli yang disebut dengan deterrence patrol alias patroli penangkalan. Deterrence patrol dilaksanakan oleh kapal selam dengan senjata yang dibawa adalah senjata nuklir. Hal itu sebenarnya tidak aneh, sebab teori penangkalan dari aspek sejarah lahir karena adanya senjata nuklir.
Sebenarnya tanpa melibatkan kapal selam sekalipun, penyebaran kekuatan laut Amerika Serikat di berbagai kawasan dunia telah melahirkan dampak penangkalan luar biasa. Lihat saja kehadiran satu CVBG atau CVSG dengan satu kapal induk dan berbagai jenis kapal kombatan lainnya serta didukung oleh wing udara yang berpangkalan di atas kapal induk tersebut. Wing udara itu seringkali kekuatannya melebihi kekuatan pesawat tempur Angkatan Udara banyak negara di dunia.
Dengan penggelaran yang demikian, patroli yang dilaksanakan oleh U.S. Navy dipastikan senantiasa mencapai tujuan yaitu menimbulkan dampak penangkalan. Keluaran yang seperti ini seharusnya ditiru pula oleh Indonesia. Setiap patroli harus menimbulkan dampak penangkalan kepada para pengguna perairan Indonesia dan pihak-pihak lain yang terkait.
Untuk mencapai keluaran demikian, diperlukan kesiapan unsur kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut. Ketika menyinggung kesiapan unsur, berarti akan langsung terkait dengan dukungan logistik. Dukungan logistik yang ada di Angkatan Laut adalah turunan dari dukungan anggaran dari pemerintah. Masalah yang kita hadapi selama ini selalu berkutat pada anggaran ketika harus menyiapkan kapal agar siap berlayar dan bertempur.
Singkatnya, dampak penangkalan bisa ditimbulkan apabila adanya dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah bagi Angkatan Laut untuk menyiapkan kapal perangnya. Artinya masalah anggaran terkait komitmen, salah satu dari empat hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penangkalan. Bagaimana mengharapkan patroli yang menimbulkan dampak penangkalan bila komitmen pemerintah terhadap Angkatan Laut masih rendah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar