All hands,
Kini kekuatan militer Amerika Serikat merupakan kekuatan gabungan alias joint forces dalam arti sebenarnya. Untuk menciptakan kekuatan itu, Negeri Abang Sam membutuhkan waktu yang panjang. Sebab sejak 1947 dengan berlakunya National Security Act yang menjadi dasar pembentukan Department of Defense, memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk memaksa keempat Angkatan (dengan pengecualian U.S. Coast Guard) untuk benar-benar menjadi kekuatan gabungan dalam makna sesungguhnya.
Instrumen pemaksaannya adalah The Goldwater-Nichols Department of Defense Reorganization Act (Public Law 99-433) pada 1986. Berdasarkan undang-undang itu, dilakukan berbagai restrukturisasi dan validasi dalam organisasi Departemen Pertahanan, termasuk di dalamnya berbagai komando wilayah dunia beserta satuan tempur yang ada di dalamnya. Sebelum The Goldwater-Nichols Act berlaku, selalu terjadi tarik menarik antara tiap Angkatan dalam masalah pembinaan dan penggunaan sistem senjata, sementara Menteri Pertahanan tidak mempunyai kekuasaan yang besar untuk memaksa militer menjadi suatu joint forces.
Setelah berlakunya undang-undang tersebut, militer Amerika Serikat harus tunduk sepenuhnya pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan, termasuk soal restrukturisasi organisasi-organisasi pertahanan. Tidak heran bila di masa Donald Rumsfeld menjadi Menteri Pertahanan untuk kedua kalinya, dengan gampang dia menetapkan peraturan yang mencopot penyebutan Commander in Chief pada para panglima Unified Command yang telah dipakai selama puluhan tahun. Penyebutan CINC kini hanya boleh dipakai oleh POTUS.
Apabila ditarik dalam kasus Indonesia saat ini, tidak diragukan lagi bahwa negeri ini membutuhkan suatu Goldwater-Nichols Act ala Indonesia. Tujuannya adalah untuk restrukturisasi organisasi Departemen Pertahanan dan TNI. Selain restruktrisasi pada Departemen Pertahanan, TNI harus ditempatkan langsung di bawah Menteri Pertahanan. Eksistensi organisasi pertahanan yang ada saat ini harus dikaji kembali, apakah semuanya relevan dengan kebutuhan kini dan ke depan.
Hanya dengan cara demikian Indonesia bisa menciptakan kekuatan pertahanan yang benar-benar joint forces dan sekaligus relevan untuk merespon dinamika lingkungan keamanan yang terus berubah. Suka atau tidak suka, dibutuhkan kekuatan pemaksa yaitu penggunaan instrumen politik oleh pemerintah dan DPR dalam rangka menata kembali organisasi pertahanan Indonesia.
Kini kekuatan militer Amerika Serikat merupakan kekuatan gabungan alias joint forces dalam arti sebenarnya. Untuk menciptakan kekuatan itu, Negeri Abang Sam membutuhkan waktu yang panjang. Sebab sejak 1947 dengan berlakunya National Security Act yang menjadi dasar pembentukan Department of Defense, memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk memaksa keempat Angkatan (dengan pengecualian U.S. Coast Guard) untuk benar-benar menjadi kekuatan gabungan dalam makna sesungguhnya.
Instrumen pemaksaannya adalah The Goldwater-Nichols Department of Defense Reorganization Act (Public Law 99-433) pada 1986. Berdasarkan undang-undang itu, dilakukan berbagai restrukturisasi dan validasi dalam organisasi Departemen Pertahanan, termasuk di dalamnya berbagai komando wilayah dunia beserta satuan tempur yang ada di dalamnya. Sebelum The Goldwater-Nichols Act berlaku, selalu terjadi tarik menarik antara tiap Angkatan dalam masalah pembinaan dan penggunaan sistem senjata, sementara Menteri Pertahanan tidak mempunyai kekuasaan yang besar untuk memaksa militer menjadi suatu joint forces.
Setelah berlakunya undang-undang tersebut, militer Amerika Serikat harus tunduk sepenuhnya pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan, termasuk soal restrukturisasi organisasi-organisasi pertahanan. Tidak heran bila di masa Donald Rumsfeld menjadi Menteri Pertahanan untuk kedua kalinya, dengan gampang dia menetapkan peraturan yang mencopot penyebutan Commander in Chief pada para panglima Unified Command yang telah dipakai selama puluhan tahun. Penyebutan CINC kini hanya boleh dipakai oleh POTUS.
Apabila ditarik dalam kasus Indonesia saat ini, tidak diragukan lagi bahwa negeri ini membutuhkan suatu Goldwater-Nichols Act ala Indonesia. Tujuannya adalah untuk restrukturisasi organisasi Departemen Pertahanan dan TNI. Selain restruktrisasi pada Departemen Pertahanan, TNI harus ditempatkan langsung di bawah Menteri Pertahanan. Eksistensi organisasi pertahanan yang ada saat ini harus dikaji kembali, apakah semuanya relevan dengan kebutuhan kini dan ke depan.
Hanya dengan cara demikian Indonesia bisa menciptakan kekuatan pertahanan yang benar-benar joint forces dan sekaligus relevan untuk merespon dinamika lingkungan keamanan yang terus berubah. Suka atau tidak suka, dibutuhkan kekuatan pemaksa yaitu penggunaan instrumen politik oleh pemerintah dan DPR dalam rangka menata kembali organisasi pertahanan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar