All hands,
Salah satu tantangan dalam perencanaan gabungan di Indonesia adalah penentuan persepsi ancaman. Penentuan persepsi ancaman akan menentukan struktur kekuatan masing-masing matra Angkatan. Kini ketika Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan minimum essential force, salah satu tantangan terbesar adalah soal perencanaan.
Pertanyaan utamanya adalah struktur kekuatan militer Indonesia dirancang untuk menghadapi kontinjensi apa saja? Kontinjensi di sini cakupannya dibatasi pada ancaman yang terkait dengan penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman fisik. Bentuknya bisa serangan terbatas dari negara lain, pelanggaran wilayah, konflik internal, namun tidak termasuk soal penanggulangan bencana. Sebab ketika dibentuk, organisasi militer dirancang sebagai organisasi tempur untuk mengamankan kepentingan nasional, bukan organisasi penanggulangan bencana seperti palang merah atau pemadam kebakaran.
Amerika Serikat setidaknya sampai sebelum terbitnya 2010 QDR masih menganut pendekatan dua wilayah kontinjensi sekaligus. Dengan demikian, sebagian sumber daya pertahanan diarahkan ke sana. Tidak boleh ada matra militer yang mempunyai persepsi ancaman berbeda, termasuk persepsi terhadap dua wilayah kontinjensi.
Masalah ini rumit ketika akan dipraktekkan di Indonesia saat ini. Mengapa demikian? Meskipun sudah didengungkan soal Tri Matra Terpadu, namun dalam prakteknya aspirasi masing-masing matra militer nampaknya belum sepenuhnya mengarah ke situ.
Sebagai contoh, dalam minimum essential force apakah ada matra militer yang dengan sukarela menyesuaikan diri dengan skenario matra militer lainnya. Bila Angkatan Laut mempunyai skenario pelibatan di wilayah x berdasarkan perkembangan lingkungan strategis dan intelligence assessment, apakah pihak lain akan mempunyai persepsi yang sama.
Kesamaan persepsi apabila terjadi akan menimbulkan berbagai konsekuensi. Misalnya, ada pihak yang dalam pelibatan di wilayah x perannya tidak terlalu menonjol karena memang ruang operasinya di dominasi oleh perairan dan udara. Dengan demikian, banyak konsekuensi dari ruang operasi yang demikian. Contoh sederhana, siapa yang akan menjadi orang nomor satu dan orang nomor dua dalam operasi di sana?
Adanya kebijakan minimum essential force pada satu sisi bagus-bagus saja. Namun pada sisi lain, kebijakan itu harus diikuti dengan perancangan perencanaan operasi gabungan yang komprehensif. Bila tidak, yang terjadi nantinya bukan operasi gabungan, tetapi operasi masing-masing matra militer dalam waktu bersamaan.
Salah satu tantangan dalam perencanaan gabungan di Indonesia adalah penentuan persepsi ancaman. Penentuan persepsi ancaman akan menentukan struktur kekuatan masing-masing matra Angkatan. Kini ketika Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan minimum essential force, salah satu tantangan terbesar adalah soal perencanaan.
Pertanyaan utamanya adalah struktur kekuatan militer Indonesia dirancang untuk menghadapi kontinjensi apa saja? Kontinjensi di sini cakupannya dibatasi pada ancaman yang terkait dengan penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman fisik. Bentuknya bisa serangan terbatas dari negara lain, pelanggaran wilayah, konflik internal, namun tidak termasuk soal penanggulangan bencana. Sebab ketika dibentuk, organisasi militer dirancang sebagai organisasi tempur untuk mengamankan kepentingan nasional, bukan organisasi penanggulangan bencana seperti palang merah atau pemadam kebakaran.
Amerika Serikat setidaknya sampai sebelum terbitnya 2010 QDR masih menganut pendekatan dua wilayah kontinjensi sekaligus. Dengan demikian, sebagian sumber daya pertahanan diarahkan ke sana. Tidak boleh ada matra militer yang mempunyai persepsi ancaman berbeda, termasuk persepsi terhadap dua wilayah kontinjensi.
Masalah ini rumit ketika akan dipraktekkan di Indonesia saat ini. Mengapa demikian? Meskipun sudah didengungkan soal Tri Matra Terpadu, namun dalam prakteknya aspirasi masing-masing matra militer nampaknya belum sepenuhnya mengarah ke situ.
Sebagai contoh, dalam minimum essential force apakah ada matra militer yang dengan sukarela menyesuaikan diri dengan skenario matra militer lainnya. Bila Angkatan Laut mempunyai skenario pelibatan di wilayah x berdasarkan perkembangan lingkungan strategis dan intelligence assessment, apakah pihak lain akan mempunyai persepsi yang sama.
Kesamaan persepsi apabila terjadi akan menimbulkan berbagai konsekuensi. Misalnya, ada pihak yang dalam pelibatan di wilayah x perannya tidak terlalu menonjol karena memang ruang operasinya di dominasi oleh perairan dan udara. Dengan demikian, banyak konsekuensi dari ruang operasi yang demikian. Contoh sederhana, siapa yang akan menjadi orang nomor satu dan orang nomor dua dalam operasi di sana?
Adanya kebijakan minimum essential force pada satu sisi bagus-bagus saja. Namun pada sisi lain, kebijakan itu harus diikuti dengan perancangan perencanaan operasi gabungan yang komprehensif. Bila tidak, yang terjadi nantinya bukan operasi gabungan, tetapi operasi masing-masing matra militer dalam waktu bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar