22 Februari 2010

Tidak Ada Kemandirian Absolut

All hands,
Dalam industri, suka atau tidak suka harus dibahas tentang skala keekonomian suatu produk. Industri pertahanan dan industri strategis yang bergantung pada pasar di dalam negeri tidak akan pernah mencapai skala keekonomian produknya, sebab jumlah kebutuhan militer negeri ini tidak mencapai skala keekonomian mereka. Kalau dipaksakan agar pasar di dalam negeri menyerap produk mereka, itu sama saja mereka akan menjadi beban baru bagi anggaran pertahanan Indonesia.
Harus dipahami bahwa pengadaan dari dalam negeri sifatnya rekomendasi, bukan wajib!!! Kalau wajib, kekuatan laut negeri ini akan lumpuh pelan-pelan karena industri pertahanan dan industri strategis dalam negeri tidak mampu membuat kapal perang jenis kombatan beserta segenap subsistemnya. Karena sifatnya rekomendasi, maka suka atau tidak suka bagi Angkatan Laut ketergantungan pada produk asing masih tinggi.
Lalu bagaimana agar industri pertahanan dan industri strategis bisa mencapai skala keekonomian sehingga tidak kolaps nantinya. Pilihannya adalah kembali ke strategi lama yang pernah diadopsi pada era Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie, yaitu offset dan lisensi. Dengan offset dan lisensi, ada biaya investasi yang bisa dipotong secara signifikan yaitu biaya R&D. Sebaliknya, ada teknologi yang bisa Indonesia kuasai dari program tersebut.
Selain itu, industri pertahanan dan industri strategis Indonesia harus bisa menembus pasar di luar negeri, minimal di negara-negara berkembang. Membuat suatu produk adalah satu soal, namun memasarkan produk juga harus diperhatikan dengan seksama.
Kemandirian industri pertahanan dan industri strategis dalam negeri bukan bersifat absolut. Dalam era globalisasi, tidak ada kemandirian absolut termasuk di bidang teknologi pertahanan.
Itu harus diinsyafi dengan betul. Ambisi industri pertahanan dan industri strategis untuk bisa membuat sistem senjata secara mandiri bagaikan pungguk merindukan bulan. Kalau pendahulu para teknolog sekarang yaitu B.J. Habibie saja melakukan penguasaan teknologi lewat program offset dan lisensi, mengapa para penerusnya keluar dari jalur itu. Betul bahwa di era Habibie berjaya industri dirgantara negeri ini bisa membuat pesawat angkut, tetapi subsistem di dalamnya tetap menggunakan berbagai produk luar negeri. Sebab memang mustahil suatu industri dirgantara membuat sendiri semua subsistem yang melengkapi suatu pesawat udara.
Lalu kenapa kini muncul sebagian generasi baru yang bermimpi di siang bolong soal kemandirian absolut? Apakah mereka terputus dari generasi sebelumnya? Ataukah mereka tidak pernah mempelajari sejarah industri pertahanan dan industri strategis negeri ini?

1 komentar:

Mitra mengatakan...

Dimanjakan oleh kebijakan, mungkin itulah kata kunci tentang "mental" industri strategis. Pada awalnya dulu tahun 70'an para pendahulu mendirikan PT PAL, PT Inti, PT Barata, PT Krakatau Steel, IPTN/PTDI, dll tidak dengan maksud terciptanya kemandirian absolut melainkan kemampuan "menyerap teknologi" dalam rangka percepatan peningkatan industri skala besar, namun dalam perkembangannya pengawak industri strategis kehilangan arah dan gairah berinovasi, semuanya menunggu "petunjuk" saja. Wajar jika pemasaran produknya juga loyo karena untuk bidang marketing diperlukan inovasi tinggi. Kita bandingkan dengan ASTRA yang produknya mulai Kijang "Benguk" sampai Kijang Innova tetap memiliki rating tinggi dalam pemasaran meskipun banyak pesaing. Kenapa industri strategis tidak mau belajar? Salam.