All hands,
Hanya beberapa jam setelah ditandatangani di Bali pada 27 April 2007, The Defense Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura langsung menimbulkan kontroversi politik yang besar. Tidak sedikit kritik tajam ditujukan kepada pemerintahan negeri ini yang dituding rela menukarkan wilayah demi mendapatkan para koruptor yang dibeli perlindungan oleh Singapura. Karena kritik yang tajam dan bertub-tubi tersebut, akhirnya the implementing agreement dari DCA tidak dapat disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa the implementing agreement, perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan di lapangan.
Berdasarkan perkembangan terakhir, terdapat indikasi kuat bahwa masalah DCA yang tertunda akan kembali dibahas oleh kedua negara. Perkembangan demikian konon karena pendekatan pada tingkat pemerintah ke pemerintah ---khususnya antar pejabat Departemen Pertahanan kedua negara---, untuk kembali mengaktifkan perjanjian kerjasama pertahanan kedua negara yang sudah hampir tiga tahun mati suri.
Masalahnya adalah apakah keuntungan atau kerugian yang akan dipetik Indonesia dari pengaktifan kembali DCA itu? Bila negeri pelindung para koruptor itu tetap saja menuntut pelaksanaan DCA sesuai dengan perjanjian yang ditandatangai hampir 3 tahun silam ---dipastikan Singapura akan tetap menuntut Indonesia memberinya dua wilayah di Laut Natuna beserta ruang udaranya---, apakah Indonesia masih akan tetap memberikan itu?
Dahulu perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan karena soal dua wilayah tersebut. Kalau kini Indonesia mau mengalah, dipastikan kontroversi politiknya akan sangat besar. Ataukah Singapura mau mengurangi tuntutannya?
Kalau DCA hendak dibahas kembali, pembahasan harus dimulai dari titik nol. Sebab DCA yang ditandatangani di Istana Tampak Siring jelas-jelas merugikan kepentingan nasional Indonesia. Tidak sulit untuk mengindentifikasi titik-titik yang merugikan tersebut. Silakan saja masukkan koordinat dalam DCA dan plot dalam peta laut wilayah Natuna dan sekitarnya. Dari situ bisa dilihat berapa luas wilayah negeri ini yang digadaikan kepada negeri penampung para koruptor tersebut.
Bertolak dari situ pula, bisa diperkirakan berapa kerugian ekonomis yang timbul dari DCA akibat pesawat udara yang dari dan menuju Pulau Natuna Besar harus divert dari jalur yang seharusnya. Dapat diprediksi pula berapa kerugian para nelayan yang tidak dapat mencari nafkah karena perairan teritorial Indonesia dikapling dan ditutup oleh negeri penampung koruptor demi latihan Angkatan Laut mereka.
Pertanyaannya, pantaskah DCA dilanjutkan?
Hanya beberapa jam setelah ditandatangani di Bali pada 27 April 2007, The Defense Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura langsung menimbulkan kontroversi politik yang besar. Tidak sedikit kritik tajam ditujukan kepada pemerintahan negeri ini yang dituding rela menukarkan wilayah demi mendapatkan para koruptor yang dibeli perlindungan oleh Singapura. Karena kritik yang tajam dan bertub-tubi tersebut, akhirnya the implementing agreement dari DCA tidak dapat disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa the implementing agreement, perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan di lapangan.
Berdasarkan perkembangan terakhir, terdapat indikasi kuat bahwa masalah DCA yang tertunda akan kembali dibahas oleh kedua negara. Perkembangan demikian konon karena pendekatan pada tingkat pemerintah ke pemerintah ---khususnya antar pejabat Departemen Pertahanan kedua negara---, untuk kembali mengaktifkan perjanjian kerjasama pertahanan kedua negara yang sudah hampir tiga tahun mati suri.
Masalahnya adalah apakah keuntungan atau kerugian yang akan dipetik Indonesia dari pengaktifan kembali DCA itu? Bila negeri pelindung para koruptor itu tetap saja menuntut pelaksanaan DCA sesuai dengan perjanjian yang ditandatangai hampir 3 tahun silam ---dipastikan Singapura akan tetap menuntut Indonesia memberinya dua wilayah di Laut Natuna beserta ruang udaranya---, apakah Indonesia masih akan tetap memberikan itu?
Dahulu perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan karena soal dua wilayah tersebut. Kalau kini Indonesia mau mengalah, dipastikan kontroversi politiknya akan sangat besar. Ataukah Singapura mau mengurangi tuntutannya?
Kalau DCA hendak dibahas kembali, pembahasan harus dimulai dari titik nol. Sebab DCA yang ditandatangani di Istana Tampak Siring jelas-jelas merugikan kepentingan nasional Indonesia. Tidak sulit untuk mengindentifikasi titik-titik yang merugikan tersebut. Silakan saja masukkan koordinat dalam DCA dan plot dalam peta laut wilayah Natuna dan sekitarnya. Dari situ bisa dilihat berapa luas wilayah negeri ini yang digadaikan kepada negeri penampung para koruptor tersebut.
Bertolak dari situ pula, bisa diperkirakan berapa kerugian ekonomis yang timbul dari DCA akibat pesawat udara yang dari dan menuju Pulau Natuna Besar harus divert dari jalur yang seharusnya. Dapat diprediksi pula berapa kerugian para nelayan yang tidak dapat mencari nafkah karena perairan teritorial Indonesia dikapling dan ditutup oleh negeri penampung koruptor demi latihan Angkatan Laut mereka.
Pertanyaannya, pantaskah DCA dilanjutkan?
1 komentar:
Dari sudut pandang Singapura, menjadi pilihan mereka untuk membentuk postur AB secara "padat modal" bukan "padat karya" seperti kita, begitu mereka terbentur masalah lahan latihan maka akan segera melirik wilayah kita yang bisa "dibeli at all cost". Konon pertimbangan menyetujui DCA karena kita dapat memantau kemungkinan cara bertindaknya. Apakah itu suatu keuntungan? Perlu dikaji lagi!
Posting Komentar