All hands,
Bagi kita penikmat film Barat, baik produksi Eropa maupun Amerika Serikat, tidak sulit untuk mencari film-film dengan latar belakang cerita kehidupan Angkatan Laut. Entah itu film aksi ataupun drama. Misalnya An Officer and A Gentleman, A Few Goodman, Annapolis dan lain sebagainya. Belum lagi film-film aksi yang berlatar belakang kejadian nyata, khususnya perang laut.
Hal itu menandakan bahwa di negara-negara Barat, Angkatan Laut telah masuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat di sana. Tanpa campur tangan pemerintah pun, masyarakat perfilman di sana dengan sukarela memproduksi berbagai film dengan latar belakang Angkatan Laut. Ceritanya pun sebagian besar masuk akal dan tidak berlebihan. Misalnya, karakter perwira Angkatan Laut yang digambarkan sebagaimana manusia umumnya.
Artinya, perwira itu bisa saja punya karakter yang “jelek”, bisa bikin kesalahan dan lain sebagainya. Tidak pernah digambarkan adanya karakter perwira yang “sempurna”, seperti yang bisa dijumpai dalam sejumlah terbatas sinetron atau film di awal 1990-an di Indonesia yang menggambarkan kehidupan perwira Angkatan Laut.
Mudahnya kalangan perfilman di negara-negara Barat mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut dalam film-film mereka selain menunjukkan keberpihakan mereka terhadap eksistensi Angkatan Laut, Kondisi ini bertolak belakang dengan di Indonesia. Di sini, kalangan perfilman terkesan masih menjaga jarak dengan militer ---termasuk Angkatan Laut---. Bisa jadi hal itu karena mereka masih trauma dengan peran militer negeri ini yang sangat dominan di masa lalu, sehingga bisa melakukan intervensi bahkan sampai ke skenario film. Kondisi ini ada baiknya mulai dicairkan dengan pendekatan pada pihak dunia perfilman.
Secara pribadi saya berharap suatu saat ada film yang mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut atau film dengan latar belakang kehidupan Angkatan Laut. Dengan catatan bahwa karakter personel Angkatan Laut yang dimunculkan di sana nyata, bukan yang “sempurna”. Dengan demikian alurnya akan lebih membumi dan tidak terkesan propaganda secara halus.
Bagi kita penikmat film Barat, baik produksi Eropa maupun Amerika Serikat, tidak sulit untuk mencari film-film dengan latar belakang cerita kehidupan Angkatan Laut. Entah itu film aksi ataupun drama. Misalnya An Officer and A Gentleman, A Few Goodman, Annapolis dan lain sebagainya. Belum lagi film-film aksi yang berlatar belakang kejadian nyata, khususnya perang laut.
Hal itu menandakan bahwa di negara-negara Barat, Angkatan Laut telah masuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat di sana. Tanpa campur tangan pemerintah pun, masyarakat perfilman di sana dengan sukarela memproduksi berbagai film dengan latar belakang Angkatan Laut. Ceritanya pun sebagian besar masuk akal dan tidak berlebihan. Misalnya, karakter perwira Angkatan Laut yang digambarkan sebagaimana manusia umumnya.
Artinya, perwira itu bisa saja punya karakter yang “jelek”, bisa bikin kesalahan dan lain sebagainya. Tidak pernah digambarkan adanya karakter perwira yang “sempurna”, seperti yang bisa dijumpai dalam sejumlah terbatas sinetron atau film di awal 1990-an di Indonesia yang menggambarkan kehidupan perwira Angkatan Laut.
Mudahnya kalangan perfilman di negara-negara Barat mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut dalam film-film mereka selain menunjukkan keberpihakan mereka terhadap eksistensi Angkatan Laut, Kondisi ini bertolak belakang dengan di Indonesia. Di sini, kalangan perfilman terkesan masih menjaga jarak dengan militer ---termasuk Angkatan Laut---. Bisa jadi hal itu karena mereka masih trauma dengan peran militer negeri ini yang sangat dominan di masa lalu, sehingga bisa melakukan intervensi bahkan sampai ke skenario film. Kondisi ini ada baiknya mulai dicairkan dengan pendekatan pada pihak dunia perfilman.
Secara pribadi saya berharap suatu saat ada film yang mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut atau film dengan latar belakang kehidupan Angkatan Laut. Dengan catatan bahwa karakter personel Angkatan Laut yang dimunculkan di sana nyata, bukan yang “sempurna”. Dengan demikian alurnya akan lebih membumi dan tidak terkesan propaganda secara halus.
1 komentar:
Kendala mengapa tidak gampang untuk bersentuhan dengan militer:
> Trauma masa lalu, dimana militer digambarkan "setengah dewa". Apabila citra militer tidak digambarkan seperti itu, maka pihak militer akan memberikan "perlawanan"
> Akibat pencitraan "setengah dewa" yang berlebihan, Pihak militer sendiri sepertinya "kesulitan" untuk tampil humanis, sampai saat ini.
> Support dari pihak militer untuk teknis dan teknologi, membantu dalam pembuatan film. USM sangat peduli dengan hal ini, makanya kita bisa melihat Black Hawk Down, G.I Jane, Annapolis, Top Gun etc, tentu film-film ini harus sesuai dengan "buku putih" USM, jika tidak sesuai, maka jangan harap mendapatkan bantuan teknologi dalam pembuatan film tsb... Lha kalau mengharapkan Militer Indonesia, ga bisa kayak gitu... untuk anggaran aja, masih ngos-ngosan, gimana mau ngasih bantuan untuk bikin film :)
Salam...
Posting Komentar