All hands,
Kapal selam kelas Collins dapat dikategorikan sebagai kapal selam gagal. Salah satu kapal selam ini yaitu HMAS Farncomb pada Maret 2007 pernah tersangkut jaring nelayan ketika sedang melaksanakan misi intelijen di perairan Indonesia. Musibah itu nyaris memakan korban beberapa awak kapal selam tersebut.
Berbagai permasalahan teknis selalu menghantui kapal selam buatan Australia ini. Entah itu kerusakan combat system, kerusakan generator dan lain sebagainya. Tentu menjadi pertanyaan mengapa kapal selam yang diluncurkan dari galangan ASC ini mengalami “kutukan” selama masa dinasnya di Royal Australian Navy?
Semua itu berawal dari keinginan pemerintah Australia mengoperasikan kapal selam yang tidak digunakan oleh Angkatan Laut lain di dunia. Pemerintahan di Canberra lebih memilih pendekatan desain daripada off-the-shelf. Kapal selam kelas Collins desain dasarnya adalah kapal selam Vastergotland asal Kockum AB, Swedia yang kemudian didesain ulang oleh ASC. Melalui desain ulang, dimensi kapal selam mengalami pembesaran beberapa kali dibandingkan aslinya.
Selain itu combat system-nya menggunakan buatan Rockwell Internasional, Amerika Serikat. Tidak memakai combat system buatan Eropa yang digunakan oleh kapal selam Vastergotland. Di situlah kesalahan awal dan sekalipun pemicu dari segala permasalahan yang melingkupi kapal selam kelas Collins.
Kapal selam buatan Swedia secara filosofis dirancang untuk beroperasi di perairan Laut Baltik dan bukan untuk di perairan laut dalam atau samudera. Sedangkan kapal selam kelas Collins yang merupakan pembesaran dari kelas Vastergotland dirancang untuk beroperasi di laut lepas. Namun yang luput dari perhatian para perancang Australia adalah pembesaran dimensi kapal selam bukanlah jawaban terhadap kebutuhan operasional yang diinginkan oleh Angkatan Laut negeri itu.
Pelajaran apa yang bisa ditarik oleh Indonesia dari kasus kapal selam kelas Collins? Sebagai negara yang tidak menguasai teknologi kapal selam, Indonesia jangan pernah mencoba memilih pendekatan desain dalam pengadaan kapal selam. Lebih baik negeri ini menempuh pendekatan off-the-shelf dalam rangka memperkuat kemampuan peperangan bawah air Angkatan Laut-nya. Australia yang notabene bukan negeri yang menguasai teknologi kapal selam harus membayar mahal pendekatan desain yang ditempuhnya pada kapal selam kelas Collins.
Untuk gambaran, Angkatan Laut negeri itu memerlukan dana AU$ 330 juta pada 2009 agar semua kapal selam siap tempur. Itu baru dari sisi dana, belum kerugian dari sisi operasional.
Kapal selam kelas Collins dapat dikategorikan sebagai kapal selam gagal. Salah satu kapal selam ini yaitu HMAS Farncomb pada Maret 2007 pernah tersangkut jaring nelayan ketika sedang melaksanakan misi intelijen di perairan Indonesia. Musibah itu nyaris memakan korban beberapa awak kapal selam tersebut.
Berbagai permasalahan teknis selalu menghantui kapal selam buatan Australia ini. Entah itu kerusakan combat system, kerusakan generator dan lain sebagainya. Tentu menjadi pertanyaan mengapa kapal selam yang diluncurkan dari galangan ASC ini mengalami “kutukan” selama masa dinasnya di Royal Australian Navy?
Semua itu berawal dari keinginan pemerintah Australia mengoperasikan kapal selam yang tidak digunakan oleh Angkatan Laut lain di dunia. Pemerintahan di Canberra lebih memilih pendekatan desain daripada off-the-shelf. Kapal selam kelas Collins desain dasarnya adalah kapal selam Vastergotland asal Kockum AB, Swedia yang kemudian didesain ulang oleh ASC. Melalui desain ulang, dimensi kapal selam mengalami pembesaran beberapa kali dibandingkan aslinya.
Selain itu combat system-nya menggunakan buatan Rockwell Internasional, Amerika Serikat. Tidak memakai combat system buatan Eropa yang digunakan oleh kapal selam Vastergotland. Di situlah kesalahan awal dan sekalipun pemicu dari segala permasalahan yang melingkupi kapal selam kelas Collins.
Kapal selam buatan Swedia secara filosofis dirancang untuk beroperasi di perairan Laut Baltik dan bukan untuk di perairan laut dalam atau samudera. Sedangkan kapal selam kelas Collins yang merupakan pembesaran dari kelas Vastergotland dirancang untuk beroperasi di laut lepas. Namun yang luput dari perhatian para perancang Australia adalah pembesaran dimensi kapal selam bukanlah jawaban terhadap kebutuhan operasional yang diinginkan oleh Angkatan Laut negeri itu.
Pelajaran apa yang bisa ditarik oleh Indonesia dari kasus kapal selam kelas Collins? Sebagai negara yang tidak menguasai teknologi kapal selam, Indonesia jangan pernah mencoba memilih pendekatan desain dalam pengadaan kapal selam. Lebih baik negeri ini menempuh pendekatan off-the-shelf dalam rangka memperkuat kemampuan peperangan bawah air Angkatan Laut-nya. Australia yang notabene bukan negeri yang menguasai teknologi kapal selam harus membayar mahal pendekatan desain yang ditempuhnya pada kapal selam kelas Collins.
Untuk gambaran, Angkatan Laut negeri itu memerlukan dana AU$ 330 juta pada 2009 agar semua kapal selam siap tempur. Itu baru dari sisi dana, belum kerugian dari sisi operasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar