All hands,
Selama puluhan tahun, pemikiran strategis ---di bidang pertahanan--- yang berkembang di Indonesia mengandung beberapa kesalahan. Kesalahan itu bukan tidak ada upaya untuk mengoreksinya, akan tetapi upaya tersebut belum berlangsung optimal dan didukung oleh semua pihak yang berkepentingan. Apa kesalahan-kesalahan dalam pemikiran strategis di Indonesia? Di sini hanya akan diuraikan tiga saja dari beberapa butir.
Pertama, terlalu berat pada beban sejarah. Sejarah memang tidak boleh dilupakan, sejarah memang harus menjadi salah satu acuan dalam hal apapun. Tetapi apabila sejarah sudah dijadikan dogma layaknya akidah atau teologi, maka mulai dari situlah suatu kesalahan besar diawali.
Pemikiran strategis di Indonesia terlalu berat pada beban sejarah 1945-1949. Sehingga belum apa-apa kekuatan laut (dan udara) pasti dinegasikan pembangunannya. Sebab kekuatan itu dipandang tidak akan mampu menghadapi lawan yang menyerbu Indonesia. Kesalahan strategis ini sampai sekarang masih berlangsung, termasuk di kampus perguruan tinggi baru yang menyandang kata pertahanan dalam namanya.
Kedua, defensif. Pemikiran strategis di Indonesia selalu bersifat defensif. Akibatnya pemikiran itu memberi peluang yang sangat sedikit bagi penggunaan kekuatan ofensif. Siapapun yang obyektif pasti sepakat bahwa strategi perang gerilya ataupun perang berlarut adalah suatu tindakan yang defensif. Kekuatan ofensif tidak diutamakan pembangunannya, dalam hal ini kekuatan laut dan udara karena terkait dengan alasan yang pertama telah disebutkan sebelumnya.
Ketiga, terlalu permisif terhadap korban. Kalau dalam pemikiran strategis di negara-negara maju jumlah korban yang banyak dalam suatu konflik bersenjata dianggap suatu hal yang tidak dapat diterima, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Manusia ---apakah dia berprofesi sebagai militer ataupun bukan--- cenderung disiapkan sebanyak-banyaknya untuk menjadi korban. Dengan kata lain, pemikiran strategis di Indonesia kurang menghargai kehidupan.
Selama puluhan tahun, pemikiran strategis ---di bidang pertahanan--- yang berkembang di Indonesia mengandung beberapa kesalahan. Kesalahan itu bukan tidak ada upaya untuk mengoreksinya, akan tetapi upaya tersebut belum berlangsung optimal dan didukung oleh semua pihak yang berkepentingan. Apa kesalahan-kesalahan dalam pemikiran strategis di Indonesia? Di sini hanya akan diuraikan tiga saja dari beberapa butir.
Pertama, terlalu berat pada beban sejarah. Sejarah memang tidak boleh dilupakan, sejarah memang harus menjadi salah satu acuan dalam hal apapun. Tetapi apabila sejarah sudah dijadikan dogma layaknya akidah atau teologi, maka mulai dari situlah suatu kesalahan besar diawali.
Pemikiran strategis di Indonesia terlalu berat pada beban sejarah 1945-1949. Sehingga belum apa-apa kekuatan laut (dan udara) pasti dinegasikan pembangunannya. Sebab kekuatan itu dipandang tidak akan mampu menghadapi lawan yang menyerbu Indonesia. Kesalahan strategis ini sampai sekarang masih berlangsung, termasuk di kampus perguruan tinggi baru yang menyandang kata pertahanan dalam namanya.
Kedua, defensif. Pemikiran strategis di Indonesia selalu bersifat defensif. Akibatnya pemikiran itu memberi peluang yang sangat sedikit bagi penggunaan kekuatan ofensif. Siapapun yang obyektif pasti sepakat bahwa strategi perang gerilya ataupun perang berlarut adalah suatu tindakan yang defensif. Kekuatan ofensif tidak diutamakan pembangunannya, dalam hal ini kekuatan laut dan udara karena terkait dengan alasan yang pertama telah disebutkan sebelumnya.
Ketiga, terlalu permisif terhadap korban. Kalau dalam pemikiran strategis di negara-negara maju jumlah korban yang banyak dalam suatu konflik bersenjata dianggap suatu hal yang tidak dapat diterima, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Manusia ---apakah dia berprofesi sebagai militer ataupun bukan--- cenderung disiapkan sebanyak-banyaknya untuk menjadi korban. Dengan kata lain, pemikiran strategis di Indonesia kurang menghargai kehidupan.
1 komentar:
"Defence" sebagai kata dasar defensif memang sering disalahartikan, sama halnya dengan kata "pertahanan", sehingga strategi pertahanan pun konotasinya hanya bertahan tanpa menyerang. Kalau kita analogikan dengan olah raga tinju, para ahli strategi pertahanan di Indonesia membayangkan strategi kita yang paling cocok ibarat petinju yang hanya perlu berlatih double cover untuk melindungi wajah dan perut tanpa perlu melatih jab, hook, punch dan foot work, dengan asumsi tidak menguras energi sendiri tetapi menguras energi lawan. Dapat dibayangkan akibatnya, petinju seperti ini akan babak belur di ronde awal dan akan ambruk di ronde pertengahan. Konsep strategi Vietcong melawan US terlalu kuat mengilhami para ahli strategi pertahanan kita tanpa memperhitungkan perkembangan lingkungan strategis saat itu dibandingkan sekarang. Pertanyaan mendasarnya adalah acuan atau pendekatan apa yang paling cocok untuk menentukan strategi pertahanan kita sekarang dan dimasa depan? Kalau besarnya populasi manusia Indonesia terus menerus dijadikan acuan maka kita akan selamanya terjebak dengan konsep strategi perang berlarut. Perlu pemikiran inovatif dan kreatif untuk melihat potensi-potensi lain yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan strategi pertahanan kita.
Salam.
Posting Komentar