All hands,
Banyak pihak yang awam dengan pola pikir militer yang hirarkis, sehingga seringkali melakukan kekeliruan dalam memandang militer secara keseluruhan. Misalnya, ada pihak yang terlalu fokus pada teknologi persenjataan tanpa paham soal kebijakan dan strategi. Padahal dalam pola pikir militer yang hirarkis, teknologi berada pada urutan bawah. Kalau diurut secara singkat dari atas ke bawah, hirarkinya adalah kebijakan, kemudian strategi dan selanjutnya adalah seni operasi serta diakhiri oleh taktik.
Teknologi dalam paradigma militer tidak berada langsung dalam garis lurus kebijakan-strategi-seni operasi-taktik. Teknologi berada pada samping kiri atau kanan (tergantung di mana menempatkannya) dari pola pikir hirarkis tersebut. Silakan periksa paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan.
Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah akan menentukan strategi yang digunakan oleh militer. Strategi itu kemudian diterjemahkan ke dalam seni operasi yang merupakan penghubung antara strategi dengan taktik. Teknologi akan mulai mempengaruhi sejak pada tataran strategi ke bawah. Penting untuk dipahami bahwa teknologi tidak boleh mendikte strategi, sebaliknya strategi bisa mendikte teknologi.
Kenapa teknologi tidak boleh mendikte strategi? Jawabannya kembali ke teori Clausewitz yaitu fog, friction and change. Trio Clausewitz itu terbukti kebenarannya di Afghanistan dan Irak ketika Donald Rumsfeld dan para penganjur RMA menemui kenyataan bahwa shock and awe melalui eksploitasi teknologi tidak bisa menghilangkan trio tersebut. Semua pemikir strategis yang obyektif akan sepakat bahwa eksploitasi RMA dalam kasus Afghanistan dan Irak ternyata tidak mampu menghilang unsur-unsur ketidakpastian (trio Clausewitz).
Penggunaan teknologi maju dalam militer merupakan keharusan. Namun harus dipahami bahwa penggunaan itu tidak boleh mematikan pemikiran strategis. Sebab teknologi maju militer bukanlah segalanya. Dengan strategi-seni operasi dan taktik yang jitu, kekuatan militer berteknologi tinggi bisa dikalahkan meskipun dengan cost yang sangat besar. Bertumpu pada teknologi adalah keharusan, akan tetapi teknologi itu jangan sampai mengubah pemahaman terhadap kebenaran empiris teori-teori militer klasik.
Jangan sampai kalangan perencana militer berpikir bahwa dengan eksploitasi teknologi maju via RMA maka segala masalah di lapangan akan beres. Secara pribadi, saya banyak sepakat dengan RMA, namun di sisi lain adopsi RMA itu jangan sampai menjadikan kekuatan militer menjadikan teknologi sebagai solusi atas segala masalah operasional yang terjadi di lapangan. Kita harus selalu ingat trio Clausewitz.
Banyak pihak yang awam dengan pola pikir militer yang hirarkis, sehingga seringkali melakukan kekeliruan dalam memandang militer secara keseluruhan. Misalnya, ada pihak yang terlalu fokus pada teknologi persenjataan tanpa paham soal kebijakan dan strategi. Padahal dalam pola pikir militer yang hirarkis, teknologi berada pada urutan bawah. Kalau diurut secara singkat dari atas ke bawah, hirarkinya adalah kebijakan, kemudian strategi dan selanjutnya adalah seni operasi serta diakhiri oleh taktik.
Teknologi dalam paradigma militer tidak berada langsung dalam garis lurus kebijakan-strategi-seni operasi-taktik. Teknologi berada pada samping kiri atau kanan (tergantung di mana menempatkannya) dari pola pikir hirarkis tersebut. Silakan periksa paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan.
Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah akan menentukan strategi yang digunakan oleh militer. Strategi itu kemudian diterjemahkan ke dalam seni operasi yang merupakan penghubung antara strategi dengan taktik. Teknologi akan mulai mempengaruhi sejak pada tataran strategi ke bawah. Penting untuk dipahami bahwa teknologi tidak boleh mendikte strategi, sebaliknya strategi bisa mendikte teknologi.
Kenapa teknologi tidak boleh mendikte strategi? Jawabannya kembali ke teori Clausewitz yaitu fog, friction and change. Trio Clausewitz itu terbukti kebenarannya di Afghanistan dan Irak ketika Donald Rumsfeld dan para penganjur RMA menemui kenyataan bahwa shock and awe melalui eksploitasi teknologi tidak bisa menghilangkan trio tersebut. Semua pemikir strategis yang obyektif akan sepakat bahwa eksploitasi RMA dalam kasus Afghanistan dan Irak ternyata tidak mampu menghilang unsur-unsur ketidakpastian (trio Clausewitz).
Penggunaan teknologi maju dalam militer merupakan keharusan. Namun harus dipahami bahwa penggunaan itu tidak boleh mematikan pemikiran strategis. Sebab teknologi maju militer bukanlah segalanya. Dengan strategi-seni operasi dan taktik yang jitu, kekuatan militer berteknologi tinggi bisa dikalahkan meskipun dengan cost yang sangat besar. Bertumpu pada teknologi adalah keharusan, akan tetapi teknologi itu jangan sampai mengubah pemahaman terhadap kebenaran empiris teori-teori militer klasik.
Jangan sampai kalangan perencana militer berpikir bahwa dengan eksploitasi teknologi maju via RMA maka segala masalah di lapangan akan beres. Secara pribadi, saya banyak sepakat dengan RMA, namun di sisi lain adopsi RMA itu jangan sampai menjadikan kekuatan militer menjadikan teknologi sebagai solusi atas segala masalah operasional yang terjadi di lapangan. Kita harus selalu ingat trio Clausewitz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar