All hands,
Dalam menghadapi ancaman keamanan maritim di Somalia, CTF-151 yang beroperasi di Teluk Aden menetapkan Internationally Recommended Traffic Corridor (IRTC). Kapal-kapal niaga yang melintas di koridor itu mendapat pengawalan konvoi dari kapal-kapal perang yang tergabung dalam CTF-151. Penetapan IRTC di Teluk Aden tidak lepas dari tingginya ancaman pembajakan di perairan strategis tersebut.
Preseden yang terjadi di Teluk Aden sangat mungkin terjadi pula di Selat Malaka apabila terjadi situasi keamanan maritim di perairan itu tidak bisa dikendalikan oleh Indonesia dan Malaysia. Negara-negara pengguna Selat Malaka khususnya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan dipastikan akan menurunkan kekuatan lautnya untuk mengamankan perairan itu. Dapat dipastikan Singapura dengan senang hati akan menyambut kedatangan satuan-satuan Angkatan Laut negara-negara luar kawasan untuk mengamankan Selat Malaka, sebab impian negeri penampung koruptor asal Indonesia itu selama ini memang demikian.
Artinya, di Selat Malaka besar kemungkinan akan ditetapkan pula IRTC oleh negara-negara koalisi. Berbekal pengalaman memimpin CTF-151 periode 19 Januari 2010-19 Maret 2010, Singapura tentu tidak dapat menyembunyikan ambisinya untuk memimpin operasi multinasional di Selat Malaka.
Pertanyaannya kini, bagaimana mencegah skenario demikian terjadi? Peningkatan kehadiran Angkatan Laut di Selat Malaka adalah solusi operasional. Solusi operasional belum cukup untuk mencegah skenario Teluk Aden terjadi di Selat Malaka. Dibutuhkan solusi kebijakan dari Indonesia yang bentuknya adalah adalah strategi keamanan maritim nasional.
Dalam strategi keamanan maritim nasional, harus dengan jelas diungkapkan siapa yang bertanggungjawab atas keamanan maritim di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus aneh, lucu dan menggelikan, seperti patroli satuan tertentu yang selama ini tugasnya mengejar kelompok Jemaah Islamiyah di daratan tiba-tiba menggelar patroli di laut.
Bagaimanapun, karakteristik di laut berbeda dengan di darat. Selain itu harus dipahami bahwa tidak ada pasukan khusus yang super yang bisa hebat di semua medan. Setiap medan mempunyai karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, SWAT di Amerika Serikat tidak pernah berambisi merebut lahan Navy’s SEAL, sebab paham akan medan operasi yang berbeda. Begitu pula U.S. Army Ranger, tak pernah bernafsu mengambil domain Navy’s SEAL. Hal itu berbeda dengan di Indonesia di mana ada satuan khusus tertentu yang hidupnya di darat nampaknya mulai berambisi merebut lahan Kopaska di laut.
Dalam menghadapi ancaman keamanan maritim di Somalia, CTF-151 yang beroperasi di Teluk Aden menetapkan Internationally Recommended Traffic Corridor (IRTC). Kapal-kapal niaga yang melintas di koridor itu mendapat pengawalan konvoi dari kapal-kapal perang yang tergabung dalam CTF-151. Penetapan IRTC di Teluk Aden tidak lepas dari tingginya ancaman pembajakan di perairan strategis tersebut.
Preseden yang terjadi di Teluk Aden sangat mungkin terjadi pula di Selat Malaka apabila terjadi situasi keamanan maritim di perairan itu tidak bisa dikendalikan oleh Indonesia dan Malaysia. Negara-negara pengguna Selat Malaka khususnya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan dipastikan akan menurunkan kekuatan lautnya untuk mengamankan perairan itu. Dapat dipastikan Singapura dengan senang hati akan menyambut kedatangan satuan-satuan Angkatan Laut negara-negara luar kawasan untuk mengamankan Selat Malaka, sebab impian negeri penampung koruptor asal Indonesia itu selama ini memang demikian.
Artinya, di Selat Malaka besar kemungkinan akan ditetapkan pula IRTC oleh negara-negara koalisi. Berbekal pengalaman memimpin CTF-151 periode 19 Januari 2010-19 Maret 2010, Singapura tentu tidak dapat menyembunyikan ambisinya untuk memimpin operasi multinasional di Selat Malaka.
Pertanyaannya kini, bagaimana mencegah skenario demikian terjadi? Peningkatan kehadiran Angkatan Laut di Selat Malaka adalah solusi operasional. Solusi operasional belum cukup untuk mencegah skenario Teluk Aden terjadi di Selat Malaka. Dibutuhkan solusi kebijakan dari Indonesia yang bentuknya adalah adalah strategi keamanan maritim nasional.
Dalam strategi keamanan maritim nasional, harus dengan jelas diungkapkan siapa yang bertanggungjawab atas keamanan maritim di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus aneh, lucu dan menggelikan, seperti patroli satuan tertentu yang selama ini tugasnya mengejar kelompok Jemaah Islamiyah di daratan tiba-tiba menggelar patroli di laut.
Bagaimanapun, karakteristik di laut berbeda dengan di darat. Selain itu harus dipahami bahwa tidak ada pasukan khusus yang super yang bisa hebat di semua medan. Setiap medan mempunyai karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, SWAT di Amerika Serikat tidak pernah berambisi merebut lahan Navy’s SEAL, sebab paham akan medan operasi yang berbeda. Begitu pula U.S. Army Ranger, tak pernah bernafsu mengambil domain Navy’s SEAL. Hal itu berbeda dengan di Indonesia di mana ada satuan khusus tertentu yang hidupnya di darat nampaknya mulai berambisi merebut lahan Kopaska di laut.
1 komentar:
Biar dibilang hebat, gitu maksudnya.. Pertanyaannya, kenapa yg udah di laut kok ga merambah ke darat juga ya? ;-)
Ga hanya selat malaka tapi juga sampe ke selat singapura yg rawan perompakan. Ga cuma kapal2 internasional tp jg kapal2 nelayan kita. Sebenernya, aparat udah tau kampung2nya perompak2 itu. Masalahnya tinggal gimana bapak2 aparat dari matra2 tertentu mengaksi kejadian n mengantisipasi. Kalo AL ga aksi, ya yg lain yg akan aksi. Nah lo?!
Posting Komentar