All hands,
Kalau kita berdiskusi dengan kalangan sejarahwan, salah satu butir yang akan mereka angkat mengenai sejarah bangsa Indonesia pasca 1945 adalah dominannya penempatan militer dalam cerita sejarah yang disusun. Seolah-olah peran komponen bangsa Indonesia lainnya dalam perjalanan sejarah pasca 1945 tidak banyak. Dengan kata lain, sejarah bangsa Indonesia identik dengan sejarah militer. Militer yang dimaksud di sini sudah pasti menunjuk pada pihak tertentu, bukan militer secara keseluruhan.
Tidak heran bila dalam Doktrin ABRI di masa lalu, tidak bisa dibedakan mana yang tergolong sejarah bangsa, mana yang diklasifikasikan sejarah militer. Padahal secara teoritis maupun empiris kedua hal tersebut jelas berbeda. Sejarah bangsa pada waktu itu seringkali dikooptasi oleh sejarah militer. Tentu kita yang bersekolah pada era 1980-an hingga awal 1990-an masih ingat pelajaran sejarah yang isinya kebanyakan soal perang atau operasi militer.
Dikaitkan dengan AL kita, eksistensi AL dalam sejarah sudah ada sejak hari-hari pertama Proklamasi. Namun dalam konteks Angkatan Laut yang modern, maksudnya organisasinya lengkap, begitu pula sistem senjata dan pembinaan personel, baru tersusun pada 1950 setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda. Pengakuan Kedaulatan kemudian disusul dengan penyerahan aset-aset Koniinklije Marine kepada ALRIS, termasuk di dalamnya kapal perang.
Sumbangsih AL terhadap upaya mengamankan kepentingan nasional negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Kampanye Trikora dan Dwikora merupakan salah satu puncak pengabdian AL kita kepada Ibu Pertiwi. Atas dukungan politik yang kuat dari pemerintah saat itu, AL kita memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam kedua kampanye militer. Termasuk pula gugurnya para personel AL dan KKO, yang tentu saja nama Usman dan Harun tidak akan dilewatkan dari situ.
Namun adakah penghargaan yang patut dari bangsa ini terhadap apa yang telah dilakukan oleh AL di masa lalu? Memang di mana pun di dunia, militer profesional tidak pernah meminta penghargaan ketika menunaikan misinya. Namun bangsa yang mempunyai militer itu, biasanya tidak akan pernah melupakan pengorbanan dan jasa-jasa yang telah diperbuatkan oleh militer mereka.
Lihatlah Amerika Serikat dengan Vietnam War Memorial. Perang Vietnam memang menimbulkan perpecahan pendapat di masyarakat Amerika Serikat. Namun tidak demikian halnya dengan kehadiran Vietnam War Memorial. Tempat itu seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh bangsa Amerika bila mereka bertandang ke Washington.
Lepas dari soal apakah di monumen itu ada nama sanak saudara mereka atau tidak. Kata kuncinya adalah mereka menghargai pengorbanan putra-putri militer di dinas militer!!! Karena mereka berperang demi Star and Spangled Banner, bukan demi U.S. Navy, U.S. Marine Corps, U.S. Army atau U.S. Air Force.
Lalu bagaimana dengan kita? Ambil contoh peringatan pertempuran Laut Aru pada setiap 15 Januari. Lepas dari banyaknya kekurangan kita dalam pertempuran laut yang tidak berimbang itu, semestinya peristiwa itu patut dikenang oleh semua bangsa Indonesia. Sayangnya peringatan pertempuran Laut Aru hanya dilakukan oleh AL saja, sementara komponen bangsa lainnya tidak melakukan hal yang sama.
Kalau kita berdiskusi dengan kalangan sejarahwan, salah satu butir yang akan mereka angkat mengenai sejarah bangsa Indonesia pasca 1945 adalah dominannya penempatan militer dalam cerita sejarah yang disusun. Seolah-olah peran komponen bangsa Indonesia lainnya dalam perjalanan sejarah pasca 1945 tidak banyak. Dengan kata lain, sejarah bangsa Indonesia identik dengan sejarah militer. Militer yang dimaksud di sini sudah pasti menunjuk pada pihak tertentu, bukan militer secara keseluruhan.
Tidak heran bila dalam Doktrin ABRI di masa lalu, tidak bisa dibedakan mana yang tergolong sejarah bangsa, mana yang diklasifikasikan sejarah militer. Padahal secara teoritis maupun empiris kedua hal tersebut jelas berbeda. Sejarah bangsa pada waktu itu seringkali dikooptasi oleh sejarah militer. Tentu kita yang bersekolah pada era 1980-an hingga awal 1990-an masih ingat pelajaran sejarah yang isinya kebanyakan soal perang atau operasi militer.
Dikaitkan dengan AL kita, eksistensi AL dalam sejarah sudah ada sejak hari-hari pertama Proklamasi. Namun dalam konteks Angkatan Laut yang modern, maksudnya organisasinya lengkap, begitu pula sistem senjata dan pembinaan personel, baru tersusun pada 1950 setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda. Pengakuan Kedaulatan kemudian disusul dengan penyerahan aset-aset Koniinklije Marine kepada ALRIS, termasuk di dalamnya kapal perang.
Sumbangsih AL terhadap upaya mengamankan kepentingan nasional negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Kampanye Trikora dan Dwikora merupakan salah satu puncak pengabdian AL kita kepada Ibu Pertiwi. Atas dukungan politik yang kuat dari pemerintah saat itu, AL kita memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam kedua kampanye militer. Termasuk pula gugurnya para personel AL dan KKO, yang tentu saja nama Usman dan Harun tidak akan dilewatkan dari situ.
Namun adakah penghargaan yang patut dari bangsa ini terhadap apa yang telah dilakukan oleh AL di masa lalu? Memang di mana pun di dunia, militer profesional tidak pernah meminta penghargaan ketika menunaikan misinya. Namun bangsa yang mempunyai militer itu, biasanya tidak akan pernah melupakan pengorbanan dan jasa-jasa yang telah diperbuatkan oleh militer mereka.
Lihatlah Amerika Serikat dengan Vietnam War Memorial. Perang Vietnam memang menimbulkan perpecahan pendapat di masyarakat Amerika Serikat. Namun tidak demikian halnya dengan kehadiran Vietnam War Memorial. Tempat itu seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh bangsa Amerika bila mereka bertandang ke Washington.
Lepas dari soal apakah di monumen itu ada nama sanak saudara mereka atau tidak. Kata kuncinya adalah mereka menghargai pengorbanan putra-putri militer di dinas militer!!! Karena mereka berperang demi Star and Spangled Banner, bukan demi U.S. Navy, U.S. Marine Corps, U.S. Army atau U.S. Air Force.
Lalu bagaimana dengan kita? Ambil contoh peringatan pertempuran Laut Aru pada setiap 15 Januari. Lepas dari banyaknya kekurangan kita dalam pertempuran laut yang tidak berimbang itu, semestinya peristiwa itu patut dikenang oleh semua bangsa Indonesia. Sayangnya peringatan pertempuran Laut Aru hanya dilakukan oleh AL saja, sementara komponen bangsa lainnya tidak melakukan hal yang sama.
Seolah-olah pertempuran Laut Aru adalah milik AL. Padahal jelas bukan, itu milik bangsa Indonesia. AL terlibat dalam pertempuran Laut Aru karena perintah pemimpin nasional dalam rangka Trikora. Tapi itulah kenyataan yang terjadi saat ini, bangsa ini seolah tak menghargai sejarah pertempuran Laut Aru.
Belum lagi soal Usman-Harun. Seberapa banyak bangsa ini yang mengenal perjuangan mereka. Jangan-jangan bangsa Indonesia yang bertugas di KBRI Singapura pun sudah tidak ingat lagi soal Usman-Harun. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang hobi pesiar dan menghabiskan uang di Singapura.
Menyedihkan memang!!!
Belum lagi soal Usman-Harun. Seberapa banyak bangsa ini yang mengenal perjuangan mereka. Jangan-jangan bangsa Indonesia yang bertugas di KBRI Singapura pun sudah tidak ingat lagi soal Usman-Harun. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang hobi pesiar dan menghabiskan uang di Singapura.
Menyedihkan memang!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar