All hands,
Hubungan Indonesia-Singapura merupakan sebuah hubungan yang “sulit” dan lebih sering merugikan Indonesia. Banyak contoh soal itu, mulai dari isu FIR, kerjasama pertahanan, pengamanan Selat Malaka, “ekspansi” Singapura ke Kepulauan Riau khususnya yang menjadikan wilayah itu sebagai halaman belakangnya, investasi Singapura terhadap sektor-sektor penting di Indonesia dan lain sebagainya. Tidak heran bila hubungan kedua negara pasang surut.
Pada sisi lain, kedua bangsa sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain. Singapura membutuhkan sumber daya seperti air, gas dan lain sebagainya dari Indonesia, sementara sebagian warga Indonesia membutuhkan bertamasya ke Singapura. Seolah-olah kalau belum berwisata ke Singara, khususnya wisata belanja, statusnya belum lengkap sebagai traveler.
Pasang surutnya hubungan Indonesia-Singapura harus ditinjau kembali dari aspek sejarah. Negeri itu mempunyai trauma sejarah dengan Indonesia ketika masa Konfrontasi. Tidak heran bila Kakek Agung negeri itu tetap bersikeras menggantung dua prajurit KKO pada 1968, walaupun pemimpin Indonesia sudah memintakan pengampunan. Supaya terkesan “menyesal”, si Kakek itu pada 1975 menaburkan bunga di atas pusaka makam Usman dan Harun.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak anak negeri ini yang masih ingat akan kasus penggantungan dua prajurit KKO itu? Mungkin dari 1.000 orang Indonesia yang berkunjung ke Singapura, hanya satu orang yang masih ingat dengan pengorbanan dua prajurit KKO tersebut, yang sayangnya lagi nama mereka lebih banyak diabadikan di properti AL daripada properti umum.
Kasus penggantungan Usman dan Harun, menurut saya, adalah salah satu landasan dalam membentuk hubungan Indonesia-Singapura untuk masa-masa selanjutnya. Itulah yang terjadi hari ini. Mungkin tidak banyak yang sadar atau paham soal kasus penggantungan tersebut justru membentuk suatu hal penting dalam hubungan kedua negara, khususnya di Indonesia.
Saat ini sebagian petinggi negeri sedang senang, karena masalah perbatasan Indonesia-Singapura di sektor barat sudah beres. Perunding kedua negara telah sepakat mengenai batas maritim kedua negeri di sektor itu. Pertanyaannya adalah apakah peluang dari kesepakatan yang akan ditandatangani beberapa hari ke depan itu akan dimanfaatkan oleh Indonesia?
Perairan di sekitar Pulau Nipah merupakan kawasan anchorage atau lego jangkar bagi kapal-kapal yang menunggu giliran masuk ke pelabuhan Singapura. Sayangnya, perairan kawasan itu seringkali dijadikan tempat pembuangan limbah oleh kapal-kapal sebelum masuk ke pelabuhan Singapura, sebab bila suatu kapal masuk ke Singapura dalam kondisi kotor maka kapal itu akan dikenakan denda. Singapore is fine nation, right???
Dari situ artinya ada peluang bagi Indonesia untuk mendirikan bisnis pembersihan kapal. Tentu bisa dihitung berapa puluh atau ratus kapal yang tiap hari menunggu giliran masuk pelabuhan Singapura. Peluang itu harus dimanfaatkan oleh Indonesia, jangan sampai justru Singapura yang menangkap peluang.
Seperti diketahui, bisa saja pengusaha Singapura memberi modal alias menanam investasi untuk bisnis itu di Indonesia, khususnya Kepulauan Riau. Itulah yang terjadi dalam bisnis galangan kapal di Batam selama ini.
Itu baru satu peluang saja di bidang maritim. Masih banyak peluang lainnya yang bila dimanfaatkan oleh Indonesia akan membantu realisasi peralihan dari bangsa yang nenek moyangnya pelaut menjadi bangsa pelaut.
Hubungan Indonesia-Singapura merupakan sebuah hubungan yang “sulit” dan lebih sering merugikan Indonesia. Banyak contoh soal itu, mulai dari isu FIR, kerjasama pertahanan, pengamanan Selat Malaka, “ekspansi” Singapura ke Kepulauan Riau khususnya yang menjadikan wilayah itu sebagai halaman belakangnya, investasi Singapura terhadap sektor-sektor penting di Indonesia dan lain sebagainya. Tidak heran bila hubungan kedua negara pasang surut.
Pada sisi lain, kedua bangsa sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain. Singapura membutuhkan sumber daya seperti air, gas dan lain sebagainya dari Indonesia, sementara sebagian warga Indonesia membutuhkan bertamasya ke Singapura. Seolah-olah kalau belum berwisata ke Singara, khususnya wisata belanja, statusnya belum lengkap sebagai traveler.
Pasang surutnya hubungan Indonesia-Singapura harus ditinjau kembali dari aspek sejarah. Negeri itu mempunyai trauma sejarah dengan Indonesia ketika masa Konfrontasi. Tidak heran bila Kakek Agung negeri itu tetap bersikeras menggantung dua prajurit KKO pada 1968, walaupun pemimpin Indonesia sudah memintakan pengampunan. Supaya terkesan “menyesal”, si Kakek itu pada 1975 menaburkan bunga di atas pusaka makam Usman dan Harun.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak anak negeri ini yang masih ingat akan kasus penggantungan dua prajurit KKO itu? Mungkin dari 1.000 orang Indonesia yang berkunjung ke Singapura, hanya satu orang yang masih ingat dengan pengorbanan dua prajurit KKO tersebut, yang sayangnya lagi nama mereka lebih banyak diabadikan di properti AL daripada properti umum.
Kasus penggantungan Usman dan Harun, menurut saya, adalah salah satu landasan dalam membentuk hubungan Indonesia-Singapura untuk masa-masa selanjutnya. Itulah yang terjadi hari ini. Mungkin tidak banyak yang sadar atau paham soal kasus penggantungan tersebut justru membentuk suatu hal penting dalam hubungan kedua negara, khususnya di Indonesia.
Saat ini sebagian petinggi negeri sedang senang, karena masalah perbatasan Indonesia-Singapura di sektor barat sudah beres. Perunding kedua negara telah sepakat mengenai batas maritim kedua negeri di sektor itu. Pertanyaannya adalah apakah peluang dari kesepakatan yang akan ditandatangani beberapa hari ke depan itu akan dimanfaatkan oleh Indonesia?
Perairan di sekitar Pulau Nipah merupakan kawasan anchorage atau lego jangkar bagi kapal-kapal yang menunggu giliran masuk ke pelabuhan Singapura. Sayangnya, perairan kawasan itu seringkali dijadikan tempat pembuangan limbah oleh kapal-kapal sebelum masuk ke pelabuhan Singapura, sebab bila suatu kapal masuk ke Singapura dalam kondisi kotor maka kapal itu akan dikenakan denda. Singapore is fine nation, right???
Dari situ artinya ada peluang bagi Indonesia untuk mendirikan bisnis pembersihan kapal. Tentu bisa dihitung berapa puluh atau ratus kapal yang tiap hari menunggu giliran masuk pelabuhan Singapura. Peluang itu harus dimanfaatkan oleh Indonesia, jangan sampai justru Singapura yang menangkap peluang.
Seperti diketahui, bisa saja pengusaha Singapura memberi modal alias menanam investasi untuk bisnis itu di Indonesia, khususnya Kepulauan Riau. Itulah yang terjadi dalam bisnis galangan kapal di Batam selama ini.
Itu baru satu peluang saja di bidang maritim. Masih banyak peluang lainnya yang bila dimanfaatkan oleh Indonesia akan membantu realisasi peralihan dari bangsa yang nenek moyangnya pelaut menjadi bangsa pelaut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar