All hands,
Kegiatan survei di laut merupakan suatu kegiatan yang kritis, bahkan mungkin mengancam keamanan nasional, bagi banyak negara di dunia. Dalam arti apabila suatu survei dilakukan oleh pihak asing di perairan negara lain. Sebab hasil survei tersebut manfaatnya bukan sebatas bagi kepentingan ilmiah, tetapi dapat digunakan pula untuk kepentingan militer khususnya Angkatan Laut.
Oleh karena itu, tidak sedikit negara di dunia mempersyaratkan izin bagi pihak asing yang ingin melakukan survei laut di negaranya. Izin tersebut kadangkala bukan terbatas pada perairan teritorial, tetapi menyentuh pula ZEE. Itulah alasan mengapa Cina menunjukkan sikap konfrontatif terhadap survei yang dilakukan oleh USNS Impeccable (T-AGOS 23).
Izin bagi survei di laut juga berlaku di Indonesia. Namun seringkali pihak asing berupaya mengakali izin tersebut, misalnya menggunakan tangan lembaga penelitian sipil milik pemerintah. Sebab suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, izin survei di laut salah satunya harus melalui pintu AL. Apabila suatu survei telah memperoleh izin resmi, maka di kapal survei tersebut ditempatkan seorang perwira AL yang biasanya berlatarbelakang hidrografi sebagai security officer.
Tidak jarang pula pihak asing melakukan kegiatan survei di perairan Indonesia dan sekitarnya tanpa izin. Yang sangat disayangkan, kegiatan demikian seringkali tidak diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal kapal survei itu biasanya merapat pula di pelabuhan-pelabuhan Indonesia untuk keperluan bekal ulang.
Itu baru pada kapal survei sipil. Belum lagi survei yang dilakukan oleh militer asing, yang sebagian di antaranya tanpa izin. Misalnya memanfaatkan saat melintas di perairan Indonesia dengan mengambil sample di suatu perairan untuk pemutakhiran data mereka.
Lalu apa yang bisa Indonesia lakukan? Tentu saja harus mengenali tantangannya terlebih dahulu. Tantangannya yaitu bagaimana meminimalisasi survei tanpa izin di perairan Indonesia dan sekitarnya. Untuk dapat menjawab tantangan itu, diperlukan sinergi berupa information sharing antara pihak-pihak yang terkait di Indonesia, baik sipil maupun militer.
Sebab seringkali suatu informasi yang diketahui oleh pihak sipil terkait justru tidak diketahui oleh pihak militer. Guna melaksanakan hal tersebut, perlu diciptakan mekanismenya, baik formal maupun informal.
Kegiatan survei di laut merupakan suatu kegiatan yang kritis, bahkan mungkin mengancam keamanan nasional, bagi banyak negara di dunia. Dalam arti apabila suatu survei dilakukan oleh pihak asing di perairan negara lain. Sebab hasil survei tersebut manfaatnya bukan sebatas bagi kepentingan ilmiah, tetapi dapat digunakan pula untuk kepentingan militer khususnya Angkatan Laut.
Oleh karena itu, tidak sedikit negara di dunia mempersyaratkan izin bagi pihak asing yang ingin melakukan survei laut di negaranya. Izin tersebut kadangkala bukan terbatas pada perairan teritorial, tetapi menyentuh pula ZEE. Itulah alasan mengapa Cina menunjukkan sikap konfrontatif terhadap survei yang dilakukan oleh USNS Impeccable (T-AGOS 23).
Izin bagi survei di laut juga berlaku di Indonesia. Namun seringkali pihak asing berupaya mengakali izin tersebut, misalnya menggunakan tangan lembaga penelitian sipil milik pemerintah. Sebab suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, izin survei di laut salah satunya harus melalui pintu AL. Apabila suatu survei telah memperoleh izin resmi, maka di kapal survei tersebut ditempatkan seorang perwira AL yang biasanya berlatarbelakang hidrografi sebagai security officer.
Tidak jarang pula pihak asing melakukan kegiatan survei di perairan Indonesia dan sekitarnya tanpa izin. Yang sangat disayangkan, kegiatan demikian seringkali tidak diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal kapal survei itu biasanya merapat pula di pelabuhan-pelabuhan Indonesia untuk keperluan bekal ulang.
Itu baru pada kapal survei sipil. Belum lagi survei yang dilakukan oleh militer asing, yang sebagian di antaranya tanpa izin. Misalnya memanfaatkan saat melintas di perairan Indonesia dengan mengambil sample di suatu perairan untuk pemutakhiran data mereka.
Lalu apa yang bisa Indonesia lakukan? Tentu saja harus mengenali tantangannya terlebih dahulu. Tantangannya yaitu bagaimana meminimalisasi survei tanpa izin di perairan Indonesia dan sekitarnya. Untuk dapat menjawab tantangan itu, diperlukan sinergi berupa information sharing antara pihak-pihak yang terkait di Indonesia, baik sipil maupun militer.
Sebab seringkali suatu informasi yang diketahui oleh pihak sipil terkait justru tidak diketahui oleh pihak militer. Guna melaksanakan hal tersebut, perlu diciptakan mekanismenya, baik formal maupun informal.
1 komentar:
Menurut saya, ada satu hal dasar yang sangat penting lagi yang dilupakan bangsa (dan pemimpin) ini.
Yaitu cara pandang maritim yang masih inward looking. Selalu berkutat di laut-laut pedalaman seperti laut Jawa, Arafuru, dll. Padahal dengan memiliki sebuah Angkatan Laut, konsekuensinya kita harus menempatkan para penjaga laut itu di pintu gerbang rumah kita, alias di Samudra Hindia, Pasifik, Laut China Selatan. Bukan disuruh berkutat di dapur dan wc seperti laut Jawa.
Padahal, kalau kita mau membuka buka lagi wisdom leluhur kita dulu, mereka menyebutkan Lautan Hindia sebagai halaman depan rumah kita (Raja Jawa harus menikah dengan penguasa laut selatan, ini bukan klenik, tapi simbol bahwa seorang penguasa nusantara harus memiliki angkatan laut kuat dan menjaga laut di selatan yaitu Samudra Hindia)
Jika pandangan ini tidak segera diluruskan, jangan kaget kalau selalu ada orang asing masak sesuatu di dapur kita, karena halaman depan kosong melompong.
Posting Komentar