All hands,
Di masa lalu Indonesia merupakan primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Tidak ada negara ASEAN yang berani say no to Indonesia!!! Tidak seperti saat ini, Singapura dan Malaysia berani say no to Indonesia. Menurut informasi yang saya dapat dari tangan pertama, pemimpin republik ini gusar dengan keberanian kedua negeri eks jajahan Inggris itu say no to Indonesia.
Sejak ASEAN berdiri pada 1967, hingga 1997 Indonesia masih menjadi primus inter pares. Karena primus inter pares itulah mengapa Sekretariat ASEAN berlokasi di Jakarta, bukan Bangkok, Kuala Lumpur ataupun Singapura. Ketika Indonesia dilanda krisis politik dan ekonomi pada 1998 dan beberapa tahun setelah itu, ada upaya dari Singapura dan Malaysia untuk memindahkan Sekretariat ASEAN ke negara mereka masing-masing. Untung saja upaya itu tidak berhasil.
Terwujudnya primus inter pares bukan semata-mata karena kemampuan diplomatik plus determinasi pemimpin nasional waktu itu, tetapi juga ditunjang oleh kekuatan militer yang (relatif) memadai. Percaya atau tidak, kekuatan militer Indonesia di kawasan Asia Tenggara saat itu cukup diperhitungkan, walaupun tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan di masa Presiden Soekarno.
Memang pada sisi lain waktu itu Amerika Serikat mulai memberlakukan kebijakan khusus dalam penjualan senjata canggih ke Indonesia, khususnya rudal. Rudal yang dijual kepada Indonesia sudah harus terlebih dahulu dipakai oleh Singapura. Begitu pula dengan pesawat tempur. Yang berbeda memang cuma untuk sistem senjata Angkatan Laut, baik kapal atas air maupun kapal selam.
Sudah menjadi keinginan bangsa ini untuk kembali menjadi primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan keterpaduan dan sinergi semua instrumen kekuatan nasional. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan laut yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan, dalam hal ini berkategori medium regional projected navy.
Artinya, dibutuhkan determinasi dari kepemimpinan nasional untuk membangun kekuatan laut. Determinasi itu sangat penting, agar kasus yang terjadi beberapa tahun lalu tidak terulang lagi. Kasus tersebut terjadi karena kurangnya determinasi yang berimbas terhadap AL kita.
Determinasi juga diperlukan untuk menggerakkan instrumen ekonomi untuk mendukung pembangunan kekuatan laut. Sungguh hal yang mengecewakan melihat kenyataan bahwa realisasi Renstra AL 2005-2009 realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan. Kondisi itu tidak lepas dari kurangnya dukungan dari instrumen ekonomi, meskipun Renstra tersebut telah menjadi program pemerintah.
Untuk kembali menjadi primus inter pares di Asia Tenggara, mustahil bagi Indonesia untuk mengabaikan kekuatan laut. Tidak adanya kekuatan laut Indonesia yang dapat berbicara di tingkat kawasan sama artinya dengan tidak terwujudnya kembali primus inter pares. Sebab di masa lalu, primus inter pares Indonesia didukung pula oleh kekuatan laut. Dengan dukungan kekuatan laut, bersama instrumen kekuatan nasional lainnya, negeri kecil seperti Singapura dan Malaysia tidak berani say no to Indonesia!!!
Harus dicamkan, kejayaan negeri ini dari aspek militer ditentukan oleh kekuatan laut (dan udara). Hal itu sudah terbukti di masa lalu pada era 1960-an. Berapa juta pun kekuatan darat negeri ini, namun tanpa kekuatan laut yang mampu berbicara di kawasan, tidak akan pernah diperhitungkan oleh pihak-pihak lain.
Di masa lalu Indonesia merupakan primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Tidak ada negara ASEAN yang berani say no to Indonesia!!! Tidak seperti saat ini, Singapura dan Malaysia berani say no to Indonesia. Menurut informasi yang saya dapat dari tangan pertama, pemimpin republik ini gusar dengan keberanian kedua negeri eks jajahan Inggris itu say no to Indonesia.
Sejak ASEAN berdiri pada 1967, hingga 1997 Indonesia masih menjadi primus inter pares. Karena primus inter pares itulah mengapa Sekretariat ASEAN berlokasi di Jakarta, bukan Bangkok, Kuala Lumpur ataupun Singapura. Ketika Indonesia dilanda krisis politik dan ekonomi pada 1998 dan beberapa tahun setelah itu, ada upaya dari Singapura dan Malaysia untuk memindahkan Sekretariat ASEAN ke negara mereka masing-masing. Untung saja upaya itu tidak berhasil.
Terwujudnya primus inter pares bukan semata-mata karena kemampuan diplomatik plus determinasi pemimpin nasional waktu itu, tetapi juga ditunjang oleh kekuatan militer yang (relatif) memadai. Percaya atau tidak, kekuatan militer Indonesia di kawasan Asia Tenggara saat itu cukup diperhitungkan, walaupun tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan di masa Presiden Soekarno.
Memang pada sisi lain waktu itu Amerika Serikat mulai memberlakukan kebijakan khusus dalam penjualan senjata canggih ke Indonesia, khususnya rudal. Rudal yang dijual kepada Indonesia sudah harus terlebih dahulu dipakai oleh Singapura. Begitu pula dengan pesawat tempur. Yang berbeda memang cuma untuk sistem senjata Angkatan Laut, baik kapal atas air maupun kapal selam.
Sudah menjadi keinginan bangsa ini untuk kembali menjadi primus inter pares di kawasan Asia Tenggara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan keterpaduan dan sinergi semua instrumen kekuatan nasional. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan laut yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan, dalam hal ini berkategori medium regional projected navy.
Artinya, dibutuhkan determinasi dari kepemimpinan nasional untuk membangun kekuatan laut. Determinasi itu sangat penting, agar kasus yang terjadi beberapa tahun lalu tidak terulang lagi. Kasus tersebut terjadi karena kurangnya determinasi yang berimbas terhadap AL kita.
Determinasi juga diperlukan untuk menggerakkan instrumen ekonomi untuk mendukung pembangunan kekuatan laut. Sungguh hal yang mengecewakan melihat kenyataan bahwa realisasi Renstra AL 2005-2009 realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan. Kondisi itu tidak lepas dari kurangnya dukungan dari instrumen ekonomi, meskipun Renstra tersebut telah menjadi program pemerintah.
Untuk kembali menjadi primus inter pares di Asia Tenggara, mustahil bagi Indonesia untuk mengabaikan kekuatan laut. Tidak adanya kekuatan laut Indonesia yang dapat berbicara di tingkat kawasan sama artinya dengan tidak terwujudnya kembali primus inter pares. Sebab di masa lalu, primus inter pares Indonesia didukung pula oleh kekuatan laut. Dengan dukungan kekuatan laut, bersama instrumen kekuatan nasional lainnya, negeri kecil seperti Singapura dan Malaysia tidak berani say no to Indonesia!!!
Harus dicamkan, kejayaan negeri ini dari aspek militer ditentukan oleh kekuatan laut (dan udara). Hal itu sudah terbukti di masa lalu pada era 1960-an. Berapa juta pun kekuatan darat negeri ini, namun tanpa kekuatan laut yang mampu berbicara di kawasan, tidak akan pernah diperhitungkan oleh pihak-pihak lain.
1 komentar:
keren! kapan Indonesia terkenal lg jadi PELAUT HANDAL?
Posting Komentar