All hands,
Apabila kita berbicara tentang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus ditinjau adalah strategi yang dikaitkan dengan lingkungan keamanan. Dalam menyusun strategi keamanan nasional yang mana salah satu turunannya adalah strategi pertahanan, biasanya terdapat dua aliran yang berbeda. Aliran pertama adalah kelompok yang mengutamakan pada strategy of cooperative security, adapun aliran kedua yaitu strategy of selective engagement.
Masing-masing penganut mahzab mempunyai alasan sendiri-sendiri mengapa lebih memilih aliran yang satu daripada mahzab lainnya. Termasuk dalam alasan tersebut adalah cost yang harus dikeluar (monetary and non monetary cost). Mahzab apapun yang dipilih dari dua aliran yang tersedia, setiap pilihan mempunyai konsekuensi.
Apabila menganut pendekatan strategy of cooperative security, suatu negara harus aktif menggalang kerjasama keamanan dengan negara-negara lain, minimal negara-negara yang satu kawasan dengannya. Bentuknya bisa berupa pertukaran perwira, latihan bersama, kerjasama intelijen, kerjasama logistik, bahkan combined operations. Force planning-nya pun disesuaikan dengan pendekatan tersebut, yaitu siap beroperasi secara multinasional.
Jikalau suatu negara lebih mengutamakan pada strategy of selective engagement, titik berat force planning-nya pada merancang kemampuan untuk menghadapi ancaman tertentu terhadap kepentingan nasionalnya yang vital. Ancaman tersebut bisa datang dari aktor negara, dapat pula berasal dari aktor non negara. Pada strategy of selective engagement, pendekatan strategi pertahanan yang dianut lebih bersifat unilateral. Artinya, negara itu siap bertindak secara unilateral untuk mengamankan kepentingan nasionalnya bila negara-negara lain tidak bersedia bergabung untuk beraksi dalam payung multilateral.
Kalau dua pendekatan itu ditarik ke dalam situasi Indonesia, mana yang dianut? Mungkin jawaban saya tidak tepat, namun sepengetahuan saya strategi pertahanan Indonesia lebih menekankan pada strategy of selective engagement. Pemilihan strategi tersebut nampaknya tak lepas dari semangat kemandirian bangsa. Soal apakah mampu mandiri dalam arti sebenarnya atau tidak, itu urusan lain.
Silakan dalami Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, semangat adalah demikian. Memang betul dalam Strategi Pertahanan juga mengenal kerjasama pertahanan dengan negara-negara lain, namun lingkup kerjasamanya terbatas dan terlalu tradisional. Dan dalam kerjasama tersebut Indonesia seringkali bukanlah penggagas kerjasama, tetapi lebih sebagai pengikut. Kalaupun menggagas suatu kerjasama, setelah kerjasama berjalan maka peran Indonesia tidak dominan atau menentukan.
Mengapa demikian? Sebab untuk menjadi penggagas kerjasama militer di alam nyata, harus siap dengan cost yang akan timbul sebagai konsekuensi. Sebagai contoh, apakah Indonesia mempunyai paket latihan dengan negara-negara ASEAN semacam paket CARAT, SEACAT, Flash Iron dan lainnya yang digagas oleh Amerika Serikat?
Dalam lingkungan keamanan yang sangat dinamis saat ini, pertanyaannya adalah apakah strategy of selective engagement masih relevan dianut oleh Indonesia? Apakah benar cost dari strategy of selective engagement lebih murah daripada strategy of cooperative security? Sudah saatnya kita berpikir soal hal ini, jangan lagi yang dipikirkan hanya Sishankamrata yang sudah out of date itu!!!
Apabila kita berbicara tentang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus ditinjau adalah strategi yang dikaitkan dengan lingkungan keamanan. Dalam menyusun strategi keamanan nasional yang mana salah satu turunannya adalah strategi pertahanan, biasanya terdapat dua aliran yang berbeda. Aliran pertama adalah kelompok yang mengutamakan pada strategy of cooperative security, adapun aliran kedua yaitu strategy of selective engagement.
Masing-masing penganut mahzab mempunyai alasan sendiri-sendiri mengapa lebih memilih aliran yang satu daripada mahzab lainnya. Termasuk dalam alasan tersebut adalah cost yang harus dikeluar (monetary and non monetary cost). Mahzab apapun yang dipilih dari dua aliran yang tersedia, setiap pilihan mempunyai konsekuensi.
Apabila menganut pendekatan strategy of cooperative security, suatu negara harus aktif menggalang kerjasama keamanan dengan negara-negara lain, minimal negara-negara yang satu kawasan dengannya. Bentuknya bisa berupa pertukaran perwira, latihan bersama, kerjasama intelijen, kerjasama logistik, bahkan combined operations. Force planning-nya pun disesuaikan dengan pendekatan tersebut, yaitu siap beroperasi secara multinasional.
Jikalau suatu negara lebih mengutamakan pada strategy of selective engagement, titik berat force planning-nya pada merancang kemampuan untuk menghadapi ancaman tertentu terhadap kepentingan nasionalnya yang vital. Ancaman tersebut bisa datang dari aktor negara, dapat pula berasal dari aktor non negara. Pada strategy of selective engagement, pendekatan strategi pertahanan yang dianut lebih bersifat unilateral. Artinya, negara itu siap bertindak secara unilateral untuk mengamankan kepentingan nasionalnya bila negara-negara lain tidak bersedia bergabung untuk beraksi dalam payung multilateral.
Kalau dua pendekatan itu ditarik ke dalam situasi Indonesia, mana yang dianut? Mungkin jawaban saya tidak tepat, namun sepengetahuan saya strategi pertahanan Indonesia lebih menekankan pada strategy of selective engagement. Pemilihan strategi tersebut nampaknya tak lepas dari semangat kemandirian bangsa. Soal apakah mampu mandiri dalam arti sebenarnya atau tidak, itu urusan lain.
Silakan dalami Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, semangat adalah demikian. Memang betul dalam Strategi Pertahanan juga mengenal kerjasama pertahanan dengan negara-negara lain, namun lingkup kerjasamanya terbatas dan terlalu tradisional. Dan dalam kerjasama tersebut Indonesia seringkali bukanlah penggagas kerjasama, tetapi lebih sebagai pengikut. Kalaupun menggagas suatu kerjasama, setelah kerjasama berjalan maka peran Indonesia tidak dominan atau menentukan.
Mengapa demikian? Sebab untuk menjadi penggagas kerjasama militer di alam nyata, harus siap dengan cost yang akan timbul sebagai konsekuensi. Sebagai contoh, apakah Indonesia mempunyai paket latihan dengan negara-negara ASEAN semacam paket CARAT, SEACAT, Flash Iron dan lainnya yang digagas oleh Amerika Serikat?
Dalam lingkungan keamanan yang sangat dinamis saat ini, pertanyaannya adalah apakah strategy of selective engagement masih relevan dianut oleh Indonesia? Apakah benar cost dari strategy of selective engagement lebih murah daripada strategy of cooperative security? Sudah saatnya kita berpikir soal hal ini, jangan lagi yang dipikirkan hanya Sishankamrata yang sudah out of date itu!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar