All hands,
Munculnya Cina sebagai kekuatan regional yang tengah tumbuh menjadi kekuatan global menimbulkan berbagai reaksi di kawasan Asia Pasifik. Tidak sedikit pihak di kawasan yang memandang dengan curiga kebangkitan Negeri Tirai Bambu tersebut. Untuk itu, beberapa kekuatan besar yang sudah mapan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India tengah menjalin kerjasama yang nampaknya merupakan upaya untuk containment terhadap Cina. Sedangkan Cina sendirni paham akan upaya itusebagaimana tercermin dari beberapa tulisan para ahli strategi negara itu yang menyebut langkah strategis Amerika Serikat sebagai upaya encirclement.
Kawasan Asia Tenggara yang merupakan bagian dari Asia Pasifik, dari kacamata Beijing merupakan wilayah yang attractive, vulnerable and nearby. Sejak dekade 1990-an, nilai strategis kawasan ini di mata Cina semakin meningkat, seiring dengan terus tumbuhnya perekonomiannya. Pertumbuhan tersebut bukan saja harus ditunjang oleh ketersediaan pasar, akan tetapi juga harus ditunjang pula oleh lancarnya pasokan energi dari Timur Tengah ke Cina.
Tidak aneh bila Beijing sangat hirau dengan keamanan SLOC di Asia Tenggara, khususnya di Selat Malaka. Para ahli strategi Cina terus membahas kerentanan Cina akan akses terhadap perairan yang berada jauh di luar wilayahnya. Terkait hal tersebut, Cina kini aktif melakukan pendekatan diplomatik-militer kepada negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang dilalui oleh SLOC-nya.
Manuver Cina di Asia Tenggara terkait dengan strategi politik keamanan internasionalnya, dikenal sebagai Strategi 24 Karakter. Strategi yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping itu terdiri dari “Observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”.
Para pejabat di Beijing selalu menekankan bahwa niat negeri itu terhadap kawasan Asia Tenggara tak lebih dari bergabung bersama kawasan ini dalam pengembangan ekonomi dan perdamaian dan keamanan regional. Sebagai buktinya, mereka menyodorkan data terus mendorong hubungan investasi dan perdagangan antara ASEAN dengan Cina. Di samping multilateral, Cina juga melaksanakan kerjasama bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara.
Berkaitan dengan hal itu, pertanyaannya adalah apakah manuver Cina di Asia Tenggara sekadar dilatar belakangi isu keamanan maritim dan kepentingan ekonomi, ataukah ada alasan yang lebih mendasar di balik semua itu? Sebagian pihak berpendapat bahwa manuver Cina ke Asia Tenggara tidak lepas dari upayanya untuk keluar dari kebijakan pengurungan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Menurut pandangan Cina, “Southeast Asia as the weak link in this chain and the point where China can break through and defeat attempted American “containment”.
Untuk menjawab pertanyaan itu secara tuntas, perkembangan lingkungan keamanan ke depan perlu terus dicermati.
Munculnya Cina sebagai kekuatan regional yang tengah tumbuh menjadi kekuatan global menimbulkan berbagai reaksi di kawasan Asia Pasifik. Tidak sedikit pihak di kawasan yang memandang dengan curiga kebangkitan Negeri Tirai Bambu tersebut. Untuk itu, beberapa kekuatan besar yang sudah mapan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India tengah menjalin kerjasama yang nampaknya merupakan upaya untuk containment terhadap Cina. Sedangkan Cina sendirni paham akan upaya itusebagaimana tercermin dari beberapa tulisan para ahli strategi negara itu yang menyebut langkah strategis Amerika Serikat sebagai upaya encirclement.
Kawasan Asia Tenggara yang merupakan bagian dari Asia Pasifik, dari kacamata Beijing merupakan wilayah yang attractive, vulnerable and nearby. Sejak dekade 1990-an, nilai strategis kawasan ini di mata Cina semakin meningkat, seiring dengan terus tumbuhnya perekonomiannya. Pertumbuhan tersebut bukan saja harus ditunjang oleh ketersediaan pasar, akan tetapi juga harus ditunjang pula oleh lancarnya pasokan energi dari Timur Tengah ke Cina.
Tidak aneh bila Beijing sangat hirau dengan keamanan SLOC di Asia Tenggara, khususnya di Selat Malaka. Para ahli strategi Cina terus membahas kerentanan Cina akan akses terhadap perairan yang berada jauh di luar wilayahnya. Terkait hal tersebut, Cina kini aktif melakukan pendekatan diplomatik-militer kepada negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang dilalui oleh SLOC-nya.
Manuver Cina di Asia Tenggara terkait dengan strategi politik keamanan internasionalnya, dikenal sebagai Strategi 24 Karakter. Strategi yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping itu terdiri dari “Observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”.
Para pejabat di Beijing selalu menekankan bahwa niat negeri itu terhadap kawasan Asia Tenggara tak lebih dari bergabung bersama kawasan ini dalam pengembangan ekonomi dan perdamaian dan keamanan regional. Sebagai buktinya, mereka menyodorkan data terus mendorong hubungan investasi dan perdagangan antara ASEAN dengan Cina. Di samping multilateral, Cina juga melaksanakan kerjasama bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara.
Berkaitan dengan hal itu, pertanyaannya adalah apakah manuver Cina di Asia Tenggara sekadar dilatar belakangi isu keamanan maritim dan kepentingan ekonomi, ataukah ada alasan yang lebih mendasar di balik semua itu? Sebagian pihak berpendapat bahwa manuver Cina ke Asia Tenggara tidak lepas dari upayanya untuk keluar dari kebijakan pengurungan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Menurut pandangan Cina, “Southeast Asia as the weak link in this chain and the point where China can break through and defeat attempted American “containment”.
Untuk menjawab pertanyaan itu secara tuntas, perkembangan lingkungan keamanan ke depan perlu terus dicermati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar