All hands,
Apabila sesuai dengan jadwal, diharapkan 11 Maret 2009 Gugus Tugas AL kita yang akan bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force akan meninggalkan tanah air menuju Lebanon. Misi tersebut merupakan misi bersejarah bagi AL Indonesia, sekaligus memberikan pelajaran-pelajaran baru kepada pihak-pihak di Indonesia yang terkait dengan Operasi Perdamaian PBB.
Secara politik, prestise misi AL kita sangat besar dan hal itu tidak dapat diragukan. Bila AL negeri tukang klaim mampu mengirimkan kekuatan lautnya ke Somalia untuk menindas pembajakan di sana, AL negeri Nusantara dikirim ke Lebanon untuk menegakkan perdamaian. Sangat disayangkan masih ada pihak-pihak di dalam negeri yang tidak siap dengan konsekuensi dari prestise tersebut.
Ketidaksiapan itu antara lain menyangkut tentang hal-hal teknis terkait dengan logistik. Molornya keberangkatan Gugus Tugas AL kita disebabkan oleh hal tersebut. Padahal soal logistik dalam Misi PBB sudah diatur dengan jelas, mana item yang masuk kategori reimburst, mana yang tidak. Namun ada saja pihak di negeri ini yang mencoba menawar aturan tersebut, padahal aturan itu sudah baku dan diberlakukan oleh PBB terhadap negara manapun tanpa diskriminasi.
Menurut pandangan saya pribadi, hal itu terjadi karena Misi PBB diperlakukan sebagai bisnis yang tidak pada tempatnya. Selalu ada keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya sekaligus prestise, namun tidak siap dengan konsekuensinya. Misi PBB memang bisnis, namun tidak dalam pemahaman seperti yang ada di benak pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Alih-alih ke New York menegosiasikan hal yang sudah baku di PBB dan tidak bisa ditawar-tawar, lebih baik menegosiasikan kembali sektor patroli Indonesia. Penempatan Gugus Tugas AL Indonesia di sektor Selatan sebenarnya bukan hal yang aneh, selama lobi Indonesia masih lemah. Sehingga sudah lumrah di manapun pasukan perdamaian PBB asal Indonesia ditempatkan, dapat dipastikan sektor operasinya termasuk sektor yang rawan bahkan ekstrim.
Dari dulu lobi Indonesia menyangkut soal penempatan sektor operasi seringkali lemah dan ini tak lepas dari peran Penasehat Militer di PTRI Untuk PBB NY. Posisi Penasehat Militer memang penting dan sekaligus krusial, karena pejabat ini yang akan bernegosiasi dengan UNDPKO. Pos ini lebih sering diduduki oleh perwira AL, seolah sudah menjadi hukum tak tertulis.
Sebab pos di Washington seolah sudah menjadi jatah AD, jadi di NY seolah jatah AL. Kalau tak salah sampai saat ini sudah ada tujuh perwira TNI yang menjabat Penasehat Militer di sana, lima di antaranya berasal dari matra laut. Sisanya adalah matra darat dan udara.
Bisnis Misi PBB dalam arti sebenarnya antara lain dapat dilihat dari promosi negara-negara yang terlibat dalam misi tersebut terhadap produk-produk mereka yang digunakan oleh PBB. Ada negara yang spesialis pada peralatan rumah sakit lapangan, ada negara yang spesialis pada peralatan zeni, ada negara yang spesialis pada kendaraan lapis baja, ada pula negara yang spesialis pada peralatan komunikasi dan lain sebagainya.
Lalu Indonesia di mana? Ini yang belum jelas, karena bisnis dalam Misi PBB berbeda pemahamannya antara pihak-pihak tertentu di Indonesia dengan di negara-negara lain. Kalau bisnis di Indonesia cenderung diartikan seperti kerbau punya susu, sapi dapat nama.
Apabila sesuai dengan jadwal, diharapkan 11 Maret 2009 Gugus Tugas AL kita yang akan bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force akan meninggalkan tanah air menuju Lebanon. Misi tersebut merupakan misi bersejarah bagi AL Indonesia, sekaligus memberikan pelajaran-pelajaran baru kepada pihak-pihak di Indonesia yang terkait dengan Operasi Perdamaian PBB.
Secara politik, prestise misi AL kita sangat besar dan hal itu tidak dapat diragukan. Bila AL negeri tukang klaim mampu mengirimkan kekuatan lautnya ke Somalia untuk menindas pembajakan di sana, AL negeri Nusantara dikirim ke Lebanon untuk menegakkan perdamaian. Sangat disayangkan masih ada pihak-pihak di dalam negeri yang tidak siap dengan konsekuensi dari prestise tersebut.
Ketidaksiapan itu antara lain menyangkut tentang hal-hal teknis terkait dengan logistik. Molornya keberangkatan Gugus Tugas AL kita disebabkan oleh hal tersebut. Padahal soal logistik dalam Misi PBB sudah diatur dengan jelas, mana item yang masuk kategori reimburst, mana yang tidak. Namun ada saja pihak di negeri ini yang mencoba menawar aturan tersebut, padahal aturan itu sudah baku dan diberlakukan oleh PBB terhadap negara manapun tanpa diskriminasi.
Menurut pandangan saya pribadi, hal itu terjadi karena Misi PBB diperlakukan sebagai bisnis yang tidak pada tempatnya. Selalu ada keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya sekaligus prestise, namun tidak siap dengan konsekuensinya. Misi PBB memang bisnis, namun tidak dalam pemahaman seperti yang ada di benak pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Alih-alih ke New York menegosiasikan hal yang sudah baku di PBB dan tidak bisa ditawar-tawar, lebih baik menegosiasikan kembali sektor patroli Indonesia. Penempatan Gugus Tugas AL Indonesia di sektor Selatan sebenarnya bukan hal yang aneh, selama lobi Indonesia masih lemah. Sehingga sudah lumrah di manapun pasukan perdamaian PBB asal Indonesia ditempatkan, dapat dipastikan sektor operasinya termasuk sektor yang rawan bahkan ekstrim.
Dari dulu lobi Indonesia menyangkut soal penempatan sektor operasi seringkali lemah dan ini tak lepas dari peran Penasehat Militer di PTRI Untuk PBB NY. Posisi Penasehat Militer memang penting dan sekaligus krusial, karena pejabat ini yang akan bernegosiasi dengan UNDPKO. Pos ini lebih sering diduduki oleh perwira AL, seolah sudah menjadi hukum tak tertulis.
Sebab pos di Washington seolah sudah menjadi jatah AD, jadi di NY seolah jatah AL. Kalau tak salah sampai saat ini sudah ada tujuh perwira TNI yang menjabat Penasehat Militer di sana, lima di antaranya berasal dari matra laut. Sisanya adalah matra darat dan udara.
Bisnis Misi PBB dalam arti sebenarnya antara lain dapat dilihat dari promosi negara-negara yang terlibat dalam misi tersebut terhadap produk-produk mereka yang digunakan oleh PBB. Ada negara yang spesialis pada peralatan rumah sakit lapangan, ada negara yang spesialis pada peralatan zeni, ada negara yang spesialis pada kendaraan lapis baja, ada pula negara yang spesialis pada peralatan komunikasi dan lain sebagainya.
Lalu Indonesia di mana? Ini yang belum jelas, karena bisnis dalam Misi PBB berbeda pemahamannya antara pihak-pihak tertentu di Indonesia dengan di negara-negara lain. Kalau bisnis di Indonesia cenderung diartikan seperti kerbau punya susu, sapi dapat nama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar