All hands,
Pada 8 Maret 2009, terjadi ketegangan di Laut Cina Selatan pada posisi sekitar 70 mil laut selatan Pulau Hainan antara kapal survey USNS Impecabble (T-AGOS 23) dengan lima kapal “trawler” Cina. Menurut Cina, aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23) telah berada dalam ZEE-nya dan hal itu tidak dapat ditoleran oleh Negeri Tirai Bambu. Sementara Amerika Serikat bersikeras bahwa aktivitas kapal Angkatan Laut-nya (ingat: bukan kapal perang) berada di perairan internasional.
Ada banyak hal yang bisa dikupas dari kasus ini. Salah satunya menyangkut operasi survei dan pengamatan oleh kapal Angkatan Laut di wilayah perairan internasional. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas demikian bertentangan dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982? Kalau dikaitkan dengan kepentingan nasional negara pantai terdekat, ceritanya mungkin akan berbeda.
Menurut hemat saya, meskipun Amerika Serikat menolak meratifikasi UNCLOS 1982, aktivitas kapal Angkatan Laut-nya di Laut Cina Selatan tidak dapat disalahkan. Selama aktivitas itu berada di ZEE, sulit bagi negara pantai untuk menggugatnya. Sebab ZEE bukanlah wilayah kedaulatan negara manapun, termasuk negara pantai.
Pandangan demikian tentu saja berbeda ketika dialihkan ke perspektif kepentingan nasional negara pantai. Meskipun aktivitas Amerika Serikat berada di ZEE yang mana Cina tidak berdaulat di perairan itu, namun kegiatan demikian dipandang mengancam kedaulatan Cina. Tidak heran bila Cina sengaja menyebarkan kapal “trawler” ke sana untuk menghalangi aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23). Penyebaran kapal itu dinilai implikasi politiknya lebih ringan daripada dia mengirim kapal fregat atau destroyer-nya.
Lalu apa lesson learned bagi Indonesia dari kasus USNS Impecabble (T-AGOS 23)? Pertama, aktivitas kapal survei asing di perairan ZEE sulit untuk diawasi apabila Angkatan Laut tidak mempunyai kemampuan. Baik kemampuan pengamatan maupun proyeksi kekuatan. Kedua, sikap Cina yang kukuh atas klaimnya di Laut Cina Selatan patut untuk terus diwaspadai. Lepas dari benar salahnya tindakan Amerika Serikat di sana, Indonesia harus mewaspadai sedini mungkin aktivitas kapal “trawler” di sekitar Laut Natuna-Laut Cina Selatan.
Ketiga, masih ada banyak pekerjaan rumah di dalam negeri menyangkut pengawasan survei oleh kapal asing. Saat ini Indonesia sebaiknya jangan berpikir dulu untuk bertindak seperti Cina, namun lebih baik mengawasi dengan benar survei oleh kapal asing di perairan teritorial Indonesia sendiri. Dalam waktu satu bulan terakhir, ada beberapa kasus survei ilegal oleh kapal asing di perairan yurisdiksi Indonesia, antara lain kapal dari beberapa negara Eropa.
Mengapa hal itu terjadi? Karena intelijen maritim Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya!!!
Pada 8 Maret 2009, terjadi ketegangan di Laut Cina Selatan pada posisi sekitar 70 mil laut selatan Pulau Hainan antara kapal survey USNS Impecabble (T-AGOS 23) dengan lima kapal “trawler” Cina. Menurut Cina, aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23) telah berada dalam ZEE-nya dan hal itu tidak dapat ditoleran oleh Negeri Tirai Bambu. Sementara Amerika Serikat bersikeras bahwa aktivitas kapal Angkatan Laut-nya (ingat: bukan kapal perang) berada di perairan internasional.
Ada banyak hal yang bisa dikupas dari kasus ini. Salah satunya menyangkut operasi survei dan pengamatan oleh kapal Angkatan Laut di wilayah perairan internasional. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas demikian bertentangan dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982? Kalau dikaitkan dengan kepentingan nasional negara pantai terdekat, ceritanya mungkin akan berbeda.
Menurut hemat saya, meskipun Amerika Serikat menolak meratifikasi UNCLOS 1982, aktivitas kapal Angkatan Laut-nya di Laut Cina Selatan tidak dapat disalahkan. Selama aktivitas itu berada di ZEE, sulit bagi negara pantai untuk menggugatnya. Sebab ZEE bukanlah wilayah kedaulatan negara manapun, termasuk negara pantai.
Pandangan demikian tentu saja berbeda ketika dialihkan ke perspektif kepentingan nasional negara pantai. Meskipun aktivitas Amerika Serikat berada di ZEE yang mana Cina tidak berdaulat di perairan itu, namun kegiatan demikian dipandang mengancam kedaulatan Cina. Tidak heran bila Cina sengaja menyebarkan kapal “trawler” ke sana untuk menghalangi aktivitas USNS Impecabble (T-AGOS 23). Penyebaran kapal itu dinilai implikasi politiknya lebih ringan daripada dia mengirim kapal fregat atau destroyer-nya.
Lalu apa lesson learned bagi Indonesia dari kasus USNS Impecabble (T-AGOS 23)? Pertama, aktivitas kapal survei asing di perairan ZEE sulit untuk diawasi apabila Angkatan Laut tidak mempunyai kemampuan. Baik kemampuan pengamatan maupun proyeksi kekuatan. Kedua, sikap Cina yang kukuh atas klaimnya di Laut Cina Selatan patut untuk terus diwaspadai. Lepas dari benar salahnya tindakan Amerika Serikat di sana, Indonesia harus mewaspadai sedini mungkin aktivitas kapal “trawler” di sekitar Laut Natuna-Laut Cina Selatan.
Ketiga, masih ada banyak pekerjaan rumah di dalam negeri menyangkut pengawasan survei oleh kapal asing. Saat ini Indonesia sebaiknya jangan berpikir dulu untuk bertindak seperti Cina, namun lebih baik mengawasi dengan benar survei oleh kapal asing di perairan teritorial Indonesia sendiri. Dalam waktu satu bulan terakhir, ada beberapa kasus survei ilegal oleh kapal asing di perairan yurisdiksi Indonesia, antara lain kapal dari beberapa negara Eropa.
Mengapa hal itu terjadi? Karena intelijen maritim Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar