All hands,
Ketika kita berkutat pada strategy and force planning, salah satu variabel yang harus diperhatikan dengan seksama adalah soal teknologi. Teknologi merupakan variabel independen yang dapat mempengaruhi penyusunan strategy and force planning. Meskipun independen, variabel ini mempunyai keterkaitan pula dengan variabel lain sebab teknologi tidak pernah bebas dari kepentingan.
Teknologi pada dasarnya merupakan cost. Cost tidak semata dalam bentuk moneter, tetapi juga non moneter. Cost dalam bentuk moneter dapat dirunut dari investasi yang dikucurkan untuk menciptakan suatu teknologi hingga teknologi itu diproduksi massal dan siap dipasarkan. Sedangkan non moneter kaitannya lebih banyak dengan aspek politik.
Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, ketergantungan teknologi pada negara-negara maju masih cukup besar. Meskipun banyak negara telah mampu membangun platform kapal perang, akan tetapi cerita menjadi berbeda ketika menyentuh soal sewaco dan propulsi. Kedua hal terakhir teknologinya masih dimonopoli oleh negara-negara maju.
Saat menyusun strategi, salah satu tantangannya adalah bagaimana merancang strategi dimaksud agar bisa hidup di alam nyata dan tidak berada di awang-awang. Contoh strategi yang berada di awang-awang misalnya di Indonesia adalah menyangkut forward defense. Strategi forward defense mensyaratkan adanya kemampuan proyeksi kekuatan. Untuk menciptakan kemampuan itu, diperlukan kapal perang yang minimal bertonase 2.000 ton, begitu pula pesawat udara yang mempunyai endurance lama.
Masalahnya bagi Indonesia bukan sekedar uang, tetapi kebijakan selektif negara-negara produsen kapal perang terhadap negeri Nusantara. Negara-negara itu mengawasi dengan ketat penjualan kapal perang kepada Indonesia, misalnya dalam bentuk senjata apa yang boleh dan tidak boleh mengisi kapal perang yang kita beli. Indonesia bisa saja membeli fregat, namun senjatanya belum tentu sesuai dengan harapan kita.
Memang masih ada alternatif lain, misalnya membeli ke negara-negara yang aturannya tidak terlalu ketat. Namun dari sini muncul tantangan, yaitu bagaimana meng-interoperability-kan antara kapal perang dari negara-negara Barat dengan negara-negara non Barat. Tantangan itu sebenarnya mudah dipecahkan bila ada ruang untuk berinovasi, termasuk dalam bentuk dukungan anggaran.
Kata kuncinya di sini adalah silakan kita mengembang strategi yang sesuai dengan kemampuan kita dan mampu diikuti oleh force planning yang benar. Saat menyentuh force planning, kita akan bersentuhan dengan aspek teknologi. Di situ dibutuhkan kecermatan kita bukan sebatas pada aspek teknis, tetapi juga geopolitik. Geopolitik dunia mempengaruhi penyebaran teknologi senjata Angkatan Laut.
Ketika kita berkutat pada strategy and force planning, salah satu variabel yang harus diperhatikan dengan seksama adalah soal teknologi. Teknologi merupakan variabel independen yang dapat mempengaruhi penyusunan strategy and force planning. Meskipun independen, variabel ini mempunyai keterkaitan pula dengan variabel lain sebab teknologi tidak pernah bebas dari kepentingan.
Teknologi pada dasarnya merupakan cost. Cost tidak semata dalam bentuk moneter, tetapi juga non moneter. Cost dalam bentuk moneter dapat dirunut dari investasi yang dikucurkan untuk menciptakan suatu teknologi hingga teknologi itu diproduksi massal dan siap dipasarkan. Sedangkan non moneter kaitannya lebih banyak dengan aspek politik.
Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, ketergantungan teknologi pada negara-negara maju masih cukup besar. Meskipun banyak negara telah mampu membangun platform kapal perang, akan tetapi cerita menjadi berbeda ketika menyentuh soal sewaco dan propulsi. Kedua hal terakhir teknologinya masih dimonopoli oleh negara-negara maju.
Saat menyusun strategi, salah satu tantangannya adalah bagaimana merancang strategi dimaksud agar bisa hidup di alam nyata dan tidak berada di awang-awang. Contoh strategi yang berada di awang-awang misalnya di Indonesia adalah menyangkut forward defense. Strategi forward defense mensyaratkan adanya kemampuan proyeksi kekuatan. Untuk menciptakan kemampuan itu, diperlukan kapal perang yang minimal bertonase 2.000 ton, begitu pula pesawat udara yang mempunyai endurance lama.
Masalahnya bagi Indonesia bukan sekedar uang, tetapi kebijakan selektif negara-negara produsen kapal perang terhadap negeri Nusantara. Negara-negara itu mengawasi dengan ketat penjualan kapal perang kepada Indonesia, misalnya dalam bentuk senjata apa yang boleh dan tidak boleh mengisi kapal perang yang kita beli. Indonesia bisa saja membeli fregat, namun senjatanya belum tentu sesuai dengan harapan kita.
Memang masih ada alternatif lain, misalnya membeli ke negara-negara yang aturannya tidak terlalu ketat. Namun dari sini muncul tantangan, yaitu bagaimana meng-interoperability-kan antara kapal perang dari negara-negara Barat dengan negara-negara non Barat. Tantangan itu sebenarnya mudah dipecahkan bila ada ruang untuk berinovasi, termasuk dalam bentuk dukungan anggaran.
Kata kuncinya di sini adalah silakan kita mengembang strategi yang sesuai dengan kemampuan kita dan mampu diikuti oleh force planning yang benar. Saat menyentuh force planning, kita akan bersentuhan dengan aspek teknologi. Di situ dibutuhkan kecermatan kita bukan sebatas pada aspek teknis, tetapi juga geopolitik. Geopolitik dunia mempengaruhi penyebaran teknologi senjata Angkatan Laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar