All hands,
Untuk menyusun strategi (pertahanan dan militer), kita harus mengacu pada kepentingan nasional. Dalam upaya penjabaran kepentingan nasional, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah geopolitik. Menyangkut geopolitik, banyak pihak di Indonesia yang sangat miskin pemahamannya tentang hal yang satu ini. Mereka cuma bisa bilang Indonesia berada pada silang, posisi strategis dan lain sebagainya, tetapi implementasinya nyaris mendekati nol.
Karena kemiskinan tersebut, sangat wajar apabila strategi pertahanan Indonesia sangat bertumpu pada perang gerilya di darat. Asumsi dasar dari strategi pertahanan Indonesia adalah mental orang kalah perang, sudah hopeless lebih dahulu. Itulah kenyataan yang ada di lapangan dan sekaligus ada di otak mayoritas para perencana pertahanan.
Pada sisi lain, kebijakan luar negeri pemerintah memberikan penekanan khusus pada kawasan Asia Tenggara, wilayah di mana Indonesia berada. Kebijakan demikian memang tepat, namun disayangkan masih belum dalam suatu konsep dan implementasi yang matang. Sebagai contoh, bagaimana kaitan antara kebijakan luar negeri dengan kebijakan pertahanan, khususnya untuk kawasan ini?
Terlalu naif kalau mengatakan bahwa kaitan keduanya cukup bagus, dengan mengambil contoh kerjasama pertahanan yang telah terjalin. Seperti combined patrol dan combined exercise. Mengapa dikatakan terlalu naif?
Sebab dari aspek geopolitik, Indonesia tidak mempunyai bingkai kerjasama keamanan yang dirumuskan secara matang oleh semua pemangku kepentingan. Sulit untuk menjelaskan apakah pelibatan Indonesia dalam keamanan kawasan termasuk dalam kategori regional selective security, cooperative security atau apa? Sebaliknya, sangat mudah untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak melakukan selective engagement strategy untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Padahal dari aspek geopolitik Indonesia “dimudahkan” guna melaksanakan selective engagement strategy. Yang dibutuhkan tinggal guts dan kecerdasan Indonesia memainkan kartu truf yang dipunyainya. Kartu truf yang dimaksud adalah aspek geopolitik. Selective engagement strategy merupakan bagian dari strategi pertahanan.
Sekarang akan ada ASEAN Security Community, yang di dalamnya antara lain “menuntut” kerjasama Angkatan Laut. Secara teori, suatu security community akan berujung pula pada force planning negara-negara yang terlibat, termasuk pula naval force planning. Sebagai contoh, di antara Angkatan Laut negara-negara yang tergabung dalam suatu security community, akan diterapkan konsep balance fleet.
Misalnya negara A force planning-nya akan ditekankan pada kemampuan AKS, negara B force planning-nya akan difokuskan pada AKPA, negara C force planning-nya dipusatkan pada peperangan udara, negara D force planning-nya pada peperangan asimetris.
Kondisi nyata di Asia Tenggara tidak demikian, sebab ASC itu pada tingkatan tertentu bersifat semu. Contohnya gampang, lihat berapa negara ASC yang masih punyai masalah maritim dengan negara ASC lainnya. Lalu bagaimana mau bekerjasama dengan “tulus” dalam suatu community bila ancamannya adalah negara ASC itu sendiri. ASC tidak mempunyai common threats maupun common challenges.
Kembali ke masalah strategi pertahanan, kalau Indonesia tidak mempunyai agenda selective engagement strategy, lalu bagaimana force planning Angkatan Laut? Sebab berbeda dengan AU dan AD, Angkatan Laut mengemban peran diplomasi. Peran diplomasi akan memiliki keterkaitan langsung dengan selective engagement strategy.
Selective engagement strategy akan menentukan pula force planning Angkatan Laut.
Untuk menyusun strategi (pertahanan dan militer), kita harus mengacu pada kepentingan nasional. Dalam upaya penjabaran kepentingan nasional, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah geopolitik. Menyangkut geopolitik, banyak pihak di Indonesia yang sangat miskin pemahamannya tentang hal yang satu ini. Mereka cuma bisa bilang Indonesia berada pada silang, posisi strategis dan lain sebagainya, tetapi implementasinya nyaris mendekati nol.
Karena kemiskinan tersebut, sangat wajar apabila strategi pertahanan Indonesia sangat bertumpu pada perang gerilya di darat. Asumsi dasar dari strategi pertahanan Indonesia adalah mental orang kalah perang, sudah hopeless lebih dahulu. Itulah kenyataan yang ada di lapangan dan sekaligus ada di otak mayoritas para perencana pertahanan.
Pada sisi lain, kebijakan luar negeri pemerintah memberikan penekanan khusus pada kawasan Asia Tenggara, wilayah di mana Indonesia berada. Kebijakan demikian memang tepat, namun disayangkan masih belum dalam suatu konsep dan implementasi yang matang. Sebagai contoh, bagaimana kaitan antara kebijakan luar negeri dengan kebijakan pertahanan, khususnya untuk kawasan ini?
Terlalu naif kalau mengatakan bahwa kaitan keduanya cukup bagus, dengan mengambil contoh kerjasama pertahanan yang telah terjalin. Seperti combined patrol dan combined exercise. Mengapa dikatakan terlalu naif?
Sebab dari aspek geopolitik, Indonesia tidak mempunyai bingkai kerjasama keamanan yang dirumuskan secara matang oleh semua pemangku kepentingan. Sulit untuk menjelaskan apakah pelibatan Indonesia dalam keamanan kawasan termasuk dalam kategori regional selective security, cooperative security atau apa? Sebaliknya, sangat mudah untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak melakukan selective engagement strategy untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Padahal dari aspek geopolitik Indonesia “dimudahkan” guna melaksanakan selective engagement strategy. Yang dibutuhkan tinggal guts dan kecerdasan Indonesia memainkan kartu truf yang dipunyainya. Kartu truf yang dimaksud adalah aspek geopolitik. Selective engagement strategy merupakan bagian dari strategi pertahanan.
Sekarang akan ada ASEAN Security Community, yang di dalamnya antara lain “menuntut” kerjasama Angkatan Laut. Secara teori, suatu security community akan berujung pula pada force planning negara-negara yang terlibat, termasuk pula naval force planning. Sebagai contoh, di antara Angkatan Laut negara-negara yang tergabung dalam suatu security community, akan diterapkan konsep balance fleet.
Misalnya negara A force planning-nya akan ditekankan pada kemampuan AKS, negara B force planning-nya akan difokuskan pada AKPA, negara C force planning-nya dipusatkan pada peperangan udara, negara D force planning-nya pada peperangan asimetris.
Kondisi nyata di Asia Tenggara tidak demikian, sebab ASC itu pada tingkatan tertentu bersifat semu. Contohnya gampang, lihat berapa negara ASC yang masih punyai masalah maritim dengan negara ASC lainnya. Lalu bagaimana mau bekerjasama dengan “tulus” dalam suatu community bila ancamannya adalah negara ASC itu sendiri. ASC tidak mempunyai common threats maupun common challenges.
Kembali ke masalah strategi pertahanan, kalau Indonesia tidak mempunyai agenda selective engagement strategy, lalu bagaimana force planning Angkatan Laut? Sebab berbeda dengan AU dan AD, Angkatan Laut mengemban peran diplomasi. Peran diplomasi akan memiliki keterkaitan langsung dengan selective engagement strategy.
Selective engagement strategy akan menentukan pula force planning Angkatan Laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar