All hands,
Dalam menggelar operasi gabungan, pembagian peran antar Angkatan adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Secara garis besar, peran tersebut ada dua yakni peran utama dan pendukung. Ada Angkatan yang in charge sebagai pemeran utama, sisanya berfungsi sebagai pemeran pendukung. Kerelaan dan ketulusan menerima peran masing-masing akan menentukan outcome dari teamwork dalam operasi tersebut.
Pembagian peran dalam operasi gabungan didasarkan pada titik berat operasi atau kampanye yang dilaksanakan. Sebagai contoh, untuk menciptakan pengendalian laut di wilayah operasi, menjadi mutlak posisi Angkatan Laut sebagai pemeran utama dengan Angkatan Udara sebagai pemeran pendukung, sedangkan Angkatan Darat tidak dapat peran apa-apa.
Kenapa Angkatan Laut? Sebab masalah pengendalian laut adalah birthright Angkatan Laut. Selain itu, sasaran yang harus dihancurkan dan atau dinetralisasi dalam pengendalian laut tidak cuma berada di atas air, tetapi terletak pula di bawah air. Berikutnya, kapal perang dapat hovering di wilayah perairan operasi dalam jangka waktu yang lama tanpa khawatir kehabisan dukungan logistik.
Peran seperti itu tidak bisa digantikan oleh Angkatan Udara, meskipun kekuatan udara mempunyai potensi kemampuan untuk menghancurkan sasaran di atas air. Harus disadari bahwa menciptakan pengendalian laut bukan sekedar menghancurkan kapal atas air lawan, tetapi lebih kompleks dari itu. Dengan kompleksitas tersebut, tidak berlebihan bila hanya Angkatan Laut yang bisa melaksanakan pengendalian laut.
Sebaliknya, dalam operasi di littoral Angkatan Laut tidak selamanya memainkan peran sebagai pemeran utama. Pada saat operasi amfibi, tentu saja Angkatan Laut menempati posisi pemeran utama, tetapi tidak pada operasi darat lanjutan. Di tahap tersebut, Angkatan Laut berfungsi sebagai pemeran pendukung bagi Marinir (dan Angkatan Darat) melalui fungsi BTK alias naval gunfire support.
Sudah menjadi rahasia umum banyak di banyak negara, seringkali ada friksi alias gesekan dalam pembagian peran itu. Sebab sulit untuk dihindari bahwa pasti ada Angkatan yang tidak puas ketika harus menempati posisi sebagai pendukung. Ketidakpuasan itu antara lain didasarkan pada alasan seperti sistem senjata mereka lebih mematikan, lebih fleksibel dan lebih responsif dalam menghadapi ancaman yang muncul daripada sistem senjata pemeran utama.
Di Amerika Serikat, kekuatan udara negeri itu harus menyesuaikan strateginya karena sekarang fungsinya lebih banyak sebagai pemeran pendukung dalam kampanye militer yang digelar di Irak dan Afghanistan. Sebab fokus operasi di kedua negara itu bukan lagi soal merebut keunggulan udara, tetapi operasi stabilisasi di daratan dengan USMC dan U.S. Army sebagai pemeran utamanya. Penyesuaian strategi tersebut bukan suatu hal yang mudah bagi USAF yang selama ini menikmati posisinya sebagai kekuatan udara terkuat di dunia, terlebih lagi pada para penerbang tempur.
Dari gambaran tersebut, meskipun operasi gabungan sudah menjadi arus utama dalam militer di dunia, tetapi friksi soal pembagian peran masih menyimpan residu. Masih saja ada matra militer yang tidak puas dalam pembagian peran tersebut, khususnya ketika harus menduduki posisi sebagai aktor pendukung. Hal itu terjadi baik di negara yang sudah mapan soal operasi gabungan seperti Amerika Serikat maupun negara yang masih mencari bentuk dalam operasi gabungan semisal Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, masalah pembagian peran dalam operasi gabungan masih harus dituntaskan lagi. Selama ini masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Misalnya ambisi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin, sebab kekuatan darat negeri ini berpendapat bahwa jenis operasi itu hanya soal pendaratan di pantai sasaran. Pendapat yang terlalu menyederhanakan persoalan itu jelas keliru, sebab tahapan opsratmin sebelum sampai pada fase pendaratan di pantai sasaran sangat panjang.
Tahapan itu secara garis besar mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran. Untuk perencanaan saja, suka atau tidak suka peran Angkatan Laut akan sangat dominan. Sebab pelaksana operasi ini adalah Angkatan Laut, yang mana Angkatan Laut bukan saja harus menyiapkan kapal angkutnya, tetapi juga menyiapkan kapal tabir. Belum lagi berkoordinasi dengan Angkatan Udara untuk melindungi konvoi dari ancaman serangan udara selama pelayaran menuju pantai sasaran.
Belum lagi urusan embarkasi pasukan beserta senjatanya. Masalah embarkasi tidak dapat dipandang sebelah mata, sebab embarkasi bukan semata soal memasukkan pasukan dan sistem senjatanya ke dalam kapal angkut. Tetapi harus dihitung pula aspek keselamatan kapal seperti keseimbangan kapal.
Pada tahap pelaksanaan, perlindungan konvoi selama pelayaran hanya bisa diberikan oleh Angkatan Laut dan didukung oleh Angkatan Udara. Begitu pula saat menjelang pendaratan, yang mana ancaman terbesar datang dari pantai dan juga udara. Kekuatan laut dan udara harus membersihkan pantai sasaran sebelum memastikan bahwa pendaratan aman untuk dilaksanakan.
Dari sini bisa terlihat bahwa secara rasional tidak ada celah bagi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin. Sebab operasi ini sangat berdimensi maritim, khususnya Angkatan Laut. Opsratmin is Navy’s birthright.
Jangan sampai opsratmin nasibnya seperti opslinud, yang mana Angkatan Udara hanya berfungsi sebagai kekuatan pendukung. Padahal kontribusi Angkatan Udara 95 persen dalam operasi ini. Sebagai contoh, Angkatan Udara harus menyediakan pesawat tempur untuk mengawal pesawat angkut selama dalam penerbangan menuju titik sasaran penerjunan. Angkatan Darat tidak bisa apa-apa bisa pesawat angkut ditembak jatuh oleh lawan, karena memang domain operasi Angkatan Darat adalah di darat.
Pesan dari sini adalah hendaknya segera diselesaikan masalah pembagian peran dalam operasi gabungan di Indonesia. Penyelesaian itu penting agar dalam tahapan perencanaan operasi gabungan tidak terjadi lagi adu argumen soal siapa memerankan apa dalam setiap jenis operasi yang akan digelar seperti yang selalu rutin terulang selama ini. Sebab dalam operasi gabungan, tujuan utamanya adalah mengamankan kepentingan nasional, bukan mengamankan nama baik masing-masing Angkatan.
Dalam menggelar operasi gabungan, pembagian peran antar Angkatan adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Secara garis besar, peran tersebut ada dua yakni peran utama dan pendukung. Ada Angkatan yang in charge sebagai pemeran utama, sisanya berfungsi sebagai pemeran pendukung. Kerelaan dan ketulusan menerima peran masing-masing akan menentukan outcome dari teamwork dalam operasi tersebut.
Pembagian peran dalam operasi gabungan didasarkan pada titik berat operasi atau kampanye yang dilaksanakan. Sebagai contoh, untuk menciptakan pengendalian laut di wilayah operasi, menjadi mutlak posisi Angkatan Laut sebagai pemeran utama dengan Angkatan Udara sebagai pemeran pendukung, sedangkan Angkatan Darat tidak dapat peran apa-apa.
Kenapa Angkatan Laut? Sebab masalah pengendalian laut adalah birthright Angkatan Laut. Selain itu, sasaran yang harus dihancurkan dan atau dinetralisasi dalam pengendalian laut tidak cuma berada di atas air, tetapi terletak pula di bawah air. Berikutnya, kapal perang dapat hovering di wilayah perairan operasi dalam jangka waktu yang lama tanpa khawatir kehabisan dukungan logistik.
Peran seperti itu tidak bisa digantikan oleh Angkatan Udara, meskipun kekuatan udara mempunyai potensi kemampuan untuk menghancurkan sasaran di atas air. Harus disadari bahwa menciptakan pengendalian laut bukan sekedar menghancurkan kapal atas air lawan, tetapi lebih kompleks dari itu. Dengan kompleksitas tersebut, tidak berlebihan bila hanya Angkatan Laut yang bisa melaksanakan pengendalian laut.
Sebaliknya, dalam operasi di littoral Angkatan Laut tidak selamanya memainkan peran sebagai pemeran utama. Pada saat operasi amfibi, tentu saja Angkatan Laut menempati posisi pemeran utama, tetapi tidak pada operasi darat lanjutan. Di tahap tersebut, Angkatan Laut berfungsi sebagai pemeran pendukung bagi Marinir (dan Angkatan Darat) melalui fungsi BTK alias naval gunfire support.
Sudah menjadi rahasia umum banyak di banyak negara, seringkali ada friksi alias gesekan dalam pembagian peran itu. Sebab sulit untuk dihindari bahwa pasti ada Angkatan yang tidak puas ketika harus menempati posisi sebagai pendukung. Ketidakpuasan itu antara lain didasarkan pada alasan seperti sistem senjata mereka lebih mematikan, lebih fleksibel dan lebih responsif dalam menghadapi ancaman yang muncul daripada sistem senjata pemeran utama.
Di Amerika Serikat, kekuatan udara negeri itu harus menyesuaikan strateginya karena sekarang fungsinya lebih banyak sebagai pemeran pendukung dalam kampanye militer yang digelar di Irak dan Afghanistan. Sebab fokus operasi di kedua negara itu bukan lagi soal merebut keunggulan udara, tetapi operasi stabilisasi di daratan dengan USMC dan U.S. Army sebagai pemeran utamanya. Penyesuaian strategi tersebut bukan suatu hal yang mudah bagi USAF yang selama ini menikmati posisinya sebagai kekuatan udara terkuat di dunia, terlebih lagi pada para penerbang tempur.
Dari gambaran tersebut, meskipun operasi gabungan sudah menjadi arus utama dalam militer di dunia, tetapi friksi soal pembagian peran masih menyimpan residu. Masih saja ada matra militer yang tidak puas dalam pembagian peran tersebut, khususnya ketika harus menduduki posisi sebagai aktor pendukung. Hal itu terjadi baik di negara yang sudah mapan soal operasi gabungan seperti Amerika Serikat maupun negara yang masih mencari bentuk dalam operasi gabungan semisal Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, masalah pembagian peran dalam operasi gabungan masih harus dituntaskan lagi. Selama ini masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Misalnya ambisi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin, sebab kekuatan darat negeri ini berpendapat bahwa jenis operasi itu hanya soal pendaratan di pantai sasaran. Pendapat yang terlalu menyederhanakan persoalan itu jelas keliru, sebab tahapan opsratmin sebelum sampai pada fase pendaratan di pantai sasaran sangat panjang.
Tahapan itu secara garis besar mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran. Untuk perencanaan saja, suka atau tidak suka peran Angkatan Laut akan sangat dominan. Sebab pelaksana operasi ini adalah Angkatan Laut, yang mana Angkatan Laut bukan saja harus menyiapkan kapal angkutnya, tetapi juga menyiapkan kapal tabir. Belum lagi berkoordinasi dengan Angkatan Udara untuk melindungi konvoi dari ancaman serangan udara selama pelayaran menuju pantai sasaran.
Belum lagi urusan embarkasi pasukan beserta senjatanya. Masalah embarkasi tidak dapat dipandang sebelah mata, sebab embarkasi bukan semata soal memasukkan pasukan dan sistem senjatanya ke dalam kapal angkut. Tetapi harus dihitung pula aspek keselamatan kapal seperti keseimbangan kapal.
Pada tahap pelaksanaan, perlindungan konvoi selama pelayaran hanya bisa diberikan oleh Angkatan Laut dan didukung oleh Angkatan Udara. Begitu pula saat menjelang pendaratan, yang mana ancaman terbesar datang dari pantai dan juga udara. Kekuatan laut dan udara harus membersihkan pantai sasaran sebelum memastikan bahwa pendaratan aman untuk dilaksanakan.
Dari sini bisa terlihat bahwa secara rasional tidak ada celah bagi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin. Sebab operasi ini sangat berdimensi maritim, khususnya Angkatan Laut. Opsratmin is Navy’s birthright.
Jangan sampai opsratmin nasibnya seperti opslinud, yang mana Angkatan Udara hanya berfungsi sebagai kekuatan pendukung. Padahal kontribusi Angkatan Udara 95 persen dalam operasi ini. Sebagai contoh, Angkatan Udara harus menyediakan pesawat tempur untuk mengawal pesawat angkut selama dalam penerbangan menuju titik sasaran penerjunan. Angkatan Darat tidak bisa apa-apa bisa pesawat angkut ditembak jatuh oleh lawan, karena memang domain operasi Angkatan Darat adalah di darat.
Pesan dari sini adalah hendaknya segera diselesaikan masalah pembagian peran dalam operasi gabungan di Indonesia. Penyelesaian itu penting agar dalam tahapan perencanaan operasi gabungan tidak terjadi lagi adu argumen soal siapa memerankan apa dalam setiap jenis operasi yang akan digelar seperti yang selalu rutin terulang selama ini. Sebab dalam operasi gabungan, tujuan utamanya adalah mengamankan kepentingan nasional, bukan mengamankan nama baik masing-masing Angkatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar