All hands,
Hingga saat ini, tujuan dari penggunaan senjata dalam perang masih menimbulkan perdebatan. Apakah tujuan penggunaan itu pada countervalue targets ataukah counterforce targets? Penggunaan senjata sangat terkait dengan center of gravity, di mana ilmu strategi mengajarkan bahwa untuk menghancurkan dan atau melumpuhkan lawan harus dilaksanakan melalui penghancuran dan atau pelumpuhan pada center of gravity. Apabila center of gravity lawan hancur, maka lawan diharapkan tidak melanjutkan niatnya untuk berperang.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa center of gravity ada yang bersifat fisik, ada pula yang bersifat non fisik. Yang dikategorikan bersifat fisik semisal istana negara, pangkalan militer, pusat telekomunikasi dan infrastruktur vital lainnya. Sedang kategori non fisik yaitu kekuatan moral yang biasanya disebut the will.
Perbedaan antara countervalue targets dengan counterforce targets berimplikasi pula pada aspek politik. Yakni apakah perang bertujuan untuk menghancurkan suatu bangsa ataukah sebatas meraih bargaining position yang lebih unggul pada ajang negosiasi? Masalah seperti ini sifatnya klasik, karena meskipun teori Clausewitz menyatakan bahwa perang yang ideal adalah menghancurkan segitiga pemerintah, rakyat dan militer, akan tetapi di alam nyata hal itu belum pernah terjadi. Misalnya, walaupun Amerika Serikat mengerahkan semua sumber daya pertahanannya untuk menginvasi Irak pada 19 Maret 2003, namun bangsa dan wilayah Irak tetap utuh dan eksis. Yang runtuh cuma pemerintahan Saddam Hussein dan militer Irak.
Countervalue targets adalah sasaran-sasaran yang terkait dengan the will untuk melanjutkan perang. Seperti istana negara, sarana listrik, telekomunikasi, pabrik, pemukiman dan simbol-simbol eksistensi suatu negara bangsa lainnya. Adapun counterforce targets yaitu sasaran-sasaran militer, semisal pangkalan Angkatan Laut dan udara, gudang munisi, pusat telekomunikasi dan lainnya. Dengan kata lain, counterforce targets hubungannya dengan means untuk melanjutkan perang.
Dengan demikian, dalam perang dengan suatu negara lain harus ditentukan apakah sasaran yang harus dihancurkan oleh penggunaan beragam jenis senjata adalah the will ataukah means lawan? Tidak peduli apakah itu perang terbuka ataukah perang terbatas, penentuan ini harus jelas dari awal agar tidak membingungkan bagi para Laksamana, Jenderal dan Marsekal.
Siapa yang harus memutuskan masalah ini? Jawabannya tak lain adalah pemimpin negara!!! Jangan sampai pemimpin negara sendiri tidak bisa mengambil keputusan, karena implikasinya politik dan operasionalnya akan sangat besar. Kepentingan nasional berpotensi untuk menduduki posisi neraca merugi.
Pertanyaan soal tujuan penggunaan senjata dalam perang pantas pula diajukan di Indonesia. Apabila ada konflik terbatas dengan negara di sekitar Indonesia dan atau negara yang menggunakan perairan Indonesia, apakah tujuan dari penggunaan senjata oleh kekuatan militer Indonesia? Apakah untuk menghancurkan the will lawan ataukah sebatas means lawan?
Hingga saat ini, tujuan dari penggunaan senjata dalam perang masih menimbulkan perdebatan. Apakah tujuan penggunaan itu pada countervalue targets ataukah counterforce targets? Penggunaan senjata sangat terkait dengan center of gravity, di mana ilmu strategi mengajarkan bahwa untuk menghancurkan dan atau melumpuhkan lawan harus dilaksanakan melalui penghancuran dan atau pelumpuhan pada center of gravity. Apabila center of gravity lawan hancur, maka lawan diharapkan tidak melanjutkan niatnya untuk berperang.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa center of gravity ada yang bersifat fisik, ada pula yang bersifat non fisik. Yang dikategorikan bersifat fisik semisal istana negara, pangkalan militer, pusat telekomunikasi dan infrastruktur vital lainnya. Sedang kategori non fisik yaitu kekuatan moral yang biasanya disebut the will.
Perbedaan antara countervalue targets dengan counterforce targets berimplikasi pula pada aspek politik. Yakni apakah perang bertujuan untuk menghancurkan suatu bangsa ataukah sebatas meraih bargaining position yang lebih unggul pada ajang negosiasi? Masalah seperti ini sifatnya klasik, karena meskipun teori Clausewitz menyatakan bahwa perang yang ideal adalah menghancurkan segitiga pemerintah, rakyat dan militer, akan tetapi di alam nyata hal itu belum pernah terjadi. Misalnya, walaupun Amerika Serikat mengerahkan semua sumber daya pertahanannya untuk menginvasi Irak pada 19 Maret 2003, namun bangsa dan wilayah Irak tetap utuh dan eksis. Yang runtuh cuma pemerintahan Saddam Hussein dan militer Irak.
Countervalue targets adalah sasaran-sasaran yang terkait dengan the will untuk melanjutkan perang. Seperti istana negara, sarana listrik, telekomunikasi, pabrik, pemukiman dan simbol-simbol eksistensi suatu negara bangsa lainnya. Adapun counterforce targets yaitu sasaran-sasaran militer, semisal pangkalan Angkatan Laut dan udara, gudang munisi, pusat telekomunikasi dan lainnya. Dengan kata lain, counterforce targets hubungannya dengan means untuk melanjutkan perang.
Dengan demikian, dalam perang dengan suatu negara lain harus ditentukan apakah sasaran yang harus dihancurkan oleh penggunaan beragam jenis senjata adalah the will ataukah means lawan? Tidak peduli apakah itu perang terbuka ataukah perang terbatas, penentuan ini harus jelas dari awal agar tidak membingungkan bagi para Laksamana, Jenderal dan Marsekal.
Siapa yang harus memutuskan masalah ini? Jawabannya tak lain adalah pemimpin negara!!! Jangan sampai pemimpin negara sendiri tidak bisa mengambil keputusan, karena implikasinya politik dan operasionalnya akan sangat besar. Kepentingan nasional berpotensi untuk menduduki posisi neraca merugi.
Pertanyaan soal tujuan penggunaan senjata dalam perang pantas pula diajukan di Indonesia. Apabila ada konflik terbatas dengan negara di sekitar Indonesia dan atau negara yang menggunakan perairan Indonesia, apakah tujuan dari penggunaan senjata oleh kekuatan militer Indonesia? Apakah untuk menghancurkan the will lawan ataukah sebatas means lawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar