All hands,
Selama ini banyak pihak di Indonesia, termasuk kalangan yang digolongkan sebagai selebritas pertahanan yang oleh sebagian pihak pendapatnya selalu dijadikan acuan kebenaran, tidak paham soal pengadaan. Pihak-pihak ini seolah-olah berpendapat bahwa pengadaan adalah suatu hal yang berdiri sendiri, sehingga mereka dengan sangat percaya diri langsung mengaitkannya dengan ketersediaan anggaran. Substansinya, pengadaan terkait langsung dengan anggaran.
Pola pikir demikian, termasuk yang dialami oleh para selebritas pertahanan menunjukkan bahwa mereka tidak paham dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak paham bahwa pengadaan adalah salah satu bagian terbawah dalam sebuah kerangka besar yang disebut sebagai perencanaan kekuatan alias force planning. Perencanaan kekuatan adalah sebuah proses panjang, rumit dan dipengaruhi oleh beragam variabel.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, kebanyakan kalangan yang paham betul dengan perencanaan kekuatan di Indonesia adalah mereka yang sehari-harinya berkutat di lingkungan pertahanan dan militer. Namun tidak berarti semua pihak yang berkutat di lingkungan itu paham dengan perencanaan kekuatan. Mayoritas yang paham dengan perencanaan kekuatan biasanya pernah berada di lingkungan perencanaan (kekuatan).
Ketika kita membahas soal pengadaan, harus ditarik dulu ke bagian yang lebih tinggi yaitu strategi pertahanan. Strategi pertahanan yang dianut akan menentukan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan. Sebagai contoh apabila strategi pertahanan menganut pola forward presence, maka dibutuhkan kapal perang yang mampu beroperasi di sea state 6. Itu baru pada kemampuan platform kapal perang, belum terhitung lagi sistem senjata yang dibutuhkan.
Dari opsreq kemudian baru ditentukan sistem senjata apa di pasaran yang mampu memenuhi opsreq yang telah ditetapkan. Ketika persoalan teknis ini sudah bisa dijawab, baru kemudian melangkah pada penyiapan anggaran. Dengan kata lain, anggaran harus memenuhi kebutuhan sistem senjata. Bukan sebaliknya yakni kebutuhan sistem senjata mengikuti ketersediaan anggaran.
Di samping aspek teknis yang telah dijelaskan, dalam proses pengadaan hendaknya tidak dilupakan pula mengenai aspek politik dan teknologi. Soal ini menyangkut pertanyaan sederhana, siapa sekutu dan kawan kita? Masalah sekutu dan kawan terkait dengan isu teknologi.
Selama industri pertahanan dalam negeri masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam perencanaan kekuatan, mengandalkan pada sistem senjata buatan luar negeri adalah satu-satunya pilihan yang logis. Di situlah pentingnya sekutu dan kawan yang mempunyai teknologi yang kita butuhkan. Ketika membahas soal ini dalam konteks Indonesia, relevansi kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang sangat dibangga-banggakan oleh sebagian pihak di Indonesia menjadi dipertanyakan.
Selama ini banyak pihak di Indonesia, termasuk kalangan yang digolongkan sebagai selebritas pertahanan yang oleh sebagian pihak pendapatnya selalu dijadikan acuan kebenaran, tidak paham soal pengadaan. Pihak-pihak ini seolah-olah berpendapat bahwa pengadaan adalah suatu hal yang berdiri sendiri, sehingga mereka dengan sangat percaya diri langsung mengaitkannya dengan ketersediaan anggaran. Substansinya, pengadaan terkait langsung dengan anggaran.
Pola pikir demikian, termasuk yang dialami oleh para selebritas pertahanan menunjukkan bahwa mereka tidak paham dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak paham bahwa pengadaan adalah salah satu bagian terbawah dalam sebuah kerangka besar yang disebut sebagai perencanaan kekuatan alias force planning. Perencanaan kekuatan adalah sebuah proses panjang, rumit dan dipengaruhi oleh beragam variabel.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, kebanyakan kalangan yang paham betul dengan perencanaan kekuatan di Indonesia adalah mereka yang sehari-harinya berkutat di lingkungan pertahanan dan militer. Namun tidak berarti semua pihak yang berkutat di lingkungan itu paham dengan perencanaan kekuatan. Mayoritas yang paham dengan perencanaan kekuatan biasanya pernah berada di lingkungan perencanaan (kekuatan).
Ketika kita membahas soal pengadaan, harus ditarik dulu ke bagian yang lebih tinggi yaitu strategi pertahanan. Strategi pertahanan yang dianut akan menentukan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan. Sebagai contoh apabila strategi pertahanan menganut pola forward presence, maka dibutuhkan kapal perang yang mampu beroperasi di sea state 6. Itu baru pada kemampuan platform kapal perang, belum terhitung lagi sistem senjata yang dibutuhkan.
Dari opsreq kemudian baru ditentukan sistem senjata apa di pasaran yang mampu memenuhi opsreq yang telah ditetapkan. Ketika persoalan teknis ini sudah bisa dijawab, baru kemudian melangkah pada penyiapan anggaran. Dengan kata lain, anggaran harus memenuhi kebutuhan sistem senjata. Bukan sebaliknya yakni kebutuhan sistem senjata mengikuti ketersediaan anggaran.
Di samping aspek teknis yang telah dijelaskan, dalam proses pengadaan hendaknya tidak dilupakan pula mengenai aspek politik dan teknologi. Soal ini menyangkut pertanyaan sederhana, siapa sekutu dan kawan kita? Masalah sekutu dan kawan terkait dengan isu teknologi.
Selama industri pertahanan dalam negeri masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam perencanaan kekuatan, mengandalkan pada sistem senjata buatan luar negeri adalah satu-satunya pilihan yang logis. Di situlah pentingnya sekutu dan kawan yang mempunyai teknologi yang kita butuhkan. Ketika membahas soal ini dalam konteks Indonesia, relevansi kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang sangat dibangga-banggakan oleh sebagian pihak di Indonesia menjadi dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar