All hands,
Masalah klasik dalam menentukan kebijakan pertahanan di setiap negara adalah budget reality. Seperti dinyatakan dalam teori force planning, sumber daya senantiasa terbatas dan anggaran adalah salah satu bagian dari sumber daya yang terbatas tersebut. Bertolak dari situasi demikian, setiap negara seringkali dihadapkan pada budget reality ketika ingin mengeksekusi strategi pertahanan yang dianut.
Pertanyaan standar dan sekaligus klasik yaitu apakah strategi pertahanan dirancang berdasarkan budget reality atau tidak? Pertanyaan ini bukan saja dihadapi oleh para perencana pertahanan di negara-negara berkembang, tetapi dihadapi pula oleh para perencana pertahanan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya relatif, tergantung siapa yang akan menjawabnya.
Bagi para individu yang tugasnya berkutat pada masalah alokasi anggaran negara untuk semua sektor dan tidak mau tahu serta pusing soal pertahanan, jawaban mereka bisa ditebak. Yakni strategi pertahanan harus menyesuaikan pada budget reality. Akan tetapi bagi para perencana pertahanan, jawaban demikian sama artinya dengan mengkompromikan kepentingan nasional. Sebab kelompok ini berpandangan bahwa penyusunan strategi tidak boleh didikte oleh keterbatasan anggaran, sebab strategi tidak bekerja di alam vakum.
Dalam konteks Indonesia, isu strategi pertahanan versus budget reality masih terus menjadi masalah nyata setiap tahunnya. Pada satu sisi, strategi pertahanan Indonesia belum disusun dengan benar sesuai dengan beragam kondisi fisik dan non fisik, dinamis dan statis yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional. Di sisi lain, budget reality masih belum berpihak pada kepentingan pertahanan yang disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah sendiri.
Strategi pertahanan Indonesia masih belum terangkai dalam suatu konstruksi yang benar, sehingga berimbas pada kebutuhan anggaran. Hingga sekarang, kebutuhan anggaran bagi kepentingan pertahanan belum dapat dihitung secara nyata berapa besarannya. Sebab strategi pertahanan bangunannya masih compang camping, yang mana satu strategi dipaksakan “kawin” dengan strategi lain yang sebenarnya tidak akan pernah cocok. Akibat dari hasil “kawin paksa” itu adalah munculnya “cacat genetik” pada konstruksi pertahanan Indonesia.
Dengan konstruksi pertahanan yang “cacat genetik”, kemudian dihadapkan pada budget reality, menimbulkan kondisi sulitnya menghitung kebutuhan ril anggaran pertahanan negeri ini. Dihadapkan pada budget reality, diperlukan skala prioritas pembangunan kekuatan pertahanan. Pertanyaannya, siapa yang memperoleh skala prioritas tersebut?
Setelah menentukan aktor mana yang menjadi skala prioritas, lalu di wilayah pelibatan mana aktor tersebut akan berkelahi dengan lawan?
Dua pertanyaan ini belum bisa dijawab atau dirumuskan oleh para perencana pertahanan di negeri ini. Apabila betul Angkatan Laut mendapat skala prioritas, tentu Renstra 2005-2009 untuk Angkatan Laut seharusnya sudah terealisasi minimal 80 persen. Ketika tahun 2009 tinggal menghitung bulan untuk tutup buku, realisasinya tidak sampai 40 persen bahkan kurang dari 30 persen.
Dengan demikian, strategi pertahanan pada satu sisi dan budget reality pada sisi lainnya adalah dua masalah yang sampai kini belum mampu untuk diselesaikan. Penyelesaian salah satu di antara keduanya akan berimbas pada yang lainnya. Apabila diselesaikan sesuai dengan cara-cara yang benar, imbasnya akan positif bagi kepentingan pertahanan Indonesia. Apabila tidak diselesaikan dengan cara-cara yang benarnya, pertahanan negeri ini akan semakin mundur dan terpuruk.
Masalah klasik dalam menentukan kebijakan pertahanan di setiap negara adalah budget reality. Seperti dinyatakan dalam teori force planning, sumber daya senantiasa terbatas dan anggaran adalah salah satu bagian dari sumber daya yang terbatas tersebut. Bertolak dari situasi demikian, setiap negara seringkali dihadapkan pada budget reality ketika ingin mengeksekusi strategi pertahanan yang dianut.
Pertanyaan standar dan sekaligus klasik yaitu apakah strategi pertahanan dirancang berdasarkan budget reality atau tidak? Pertanyaan ini bukan saja dihadapi oleh para perencana pertahanan di negara-negara berkembang, tetapi dihadapi pula oleh para perencana pertahanan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya relatif, tergantung siapa yang akan menjawabnya.
Bagi para individu yang tugasnya berkutat pada masalah alokasi anggaran negara untuk semua sektor dan tidak mau tahu serta pusing soal pertahanan, jawaban mereka bisa ditebak. Yakni strategi pertahanan harus menyesuaikan pada budget reality. Akan tetapi bagi para perencana pertahanan, jawaban demikian sama artinya dengan mengkompromikan kepentingan nasional. Sebab kelompok ini berpandangan bahwa penyusunan strategi tidak boleh didikte oleh keterbatasan anggaran, sebab strategi tidak bekerja di alam vakum.
Dalam konteks Indonesia, isu strategi pertahanan versus budget reality masih terus menjadi masalah nyata setiap tahunnya. Pada satu sisi, strategi pertahanan Indonesia belum disusun dengan benar sesuai dengan beragam kondisi fisik dan non fisik, dinamis dan statis yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional. Di sisi lain, budget reality masih belum berpihak pada kepentingan pertahanan yang disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah sendiri.
Strategi pertahanan Indonesia masih belum terangkai dalam suatu konstruksi yang benar, sehingga berimbas pada kebutuhan anggaran. Hingga sekarang, kebutuhan anggaran bagi kepentingan pertahanan belum dapat dihitung secara nyata berapa besarannya. Sebab strategi pertahanan bangunannya masih compang camping, yang mana satu strategi dipaksakan “kawin” dengan strategi lain yang sebenarnya tidak akan pernah cocok. Akibat dari hasil “kawin paksa” itu adalah munculnya “cacat genetik” pada konstruksi pertahanan Indonesia.
Dengan konstruksi pertahanan yang “cacat genetik”, kemudian dihadapkan pada budget reality, menimbulkan kondisi sulitnya menghitung kebutuhan ril anggaran pertahanan negeri ini. Dihadapkan pada budget reality, diperlukan skala prioritas pembangunan kekuatan pertahanan. Pertanyaannya, siapa yang memperoleh skala prioritas tersebut?
Setelah menentukan aktor mana yang menjadi skala prioritas, lalu di wilayah pelibatan mana aktor tersebut akan berkelahi dengan lawan?
Dua pertanyaan ini belum bisa dijawab atau dirumuskan oleh para perencana pertahanan di negeri ini. Apabila betul Angkatan Laut mendapat skala prioritas, tentu Renstra 2005-2009 untuk Angkatan Laut seharusnya sudah terealisasi minimal 80 persen. Ketika tahun 2009 tinggal menghitung bulan untuk tutup buku, realisasinya tidak sampai 40 persen bahkan kurang dari 30 persen.
Dengan demikian, strategi pertahanan pada satu sisi dan budget reality pada sisi lainnya adalah dua masalah yang sampai kini belum mampu untuk diselesaikan. Penyelesaian salah satu di antara keduanya akan berimbas pada yang lainnya. Apabila diselesaikan sesuai dengan cara-cara yang benar, imbasnya akan positif bagi kepentingan pertahanan Indonesia. Apabila tidak diselesaikan dengan cara-cara yang benarnya, pertahanan negeri ini akan semakin mundur dan terpuruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar