All hands,
Beberapa waktu Angkatan Laut negeri ini disibukkan dengan urusan pengungsi asal Srilanka di wilayah Banten. Dalam penanganan tersebut, Angkatan Laut ditunjukkan oleh pemerintah untuk menjadi leading sector penangan tersebut, membawahi beberapa instansi lain yang selama ini merasa lebih berhak dan lebih superior di laut dalam menangai masalah keamanan maritim. Penunjukkan itu menandakan bahwa bagaimana pun, habitat laut adalah domain Angkatan Laut dan tidak boleh ada pihak manapun di republik ini yang merasa lebih berhak dan lebih superior di laut daripada Angkatan Laut.
Kasus pengungsi ini diawali oleh information sharing dari Australian Northcom kepada beberapa instansi terkait di Indonesia soal kehadiran kapal pengungsi yang menuju Negeri Kangguru. Kemampuan deteksi Northcom tidak lepas dari AMIS yang mereka terapkan yang mengandalkan sejumlah perangkat pengumpulan informasi intelijen, baik berbasis di daratan maupun di luar angkasa. Tidak aneh bila mereka mampu mendeteksi jauh hingga ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan info dari Northcom itulah kemudian ditindaklanjuti oleh Angkatan Laut kita. Penangkapan kapal pengungsi itu dilakukan oleh sejumlah kapal perang Angkatan Laut, bukan seperti klaim instansi darat tertentu yang terus mencoba menerapkan KUHAP di laut. Klaim tersebut tidak berdasarkan fakta, sebab realitas di lapangan tidak demikian.
Terkait dengan kasus pengungsi Srilanka, menjadi pertanyaan apakah memang ada pembiaran dari otoritas Negeri Tukang Klaim untuk melepas mereka keluar dari wilayahnya dan kemudian melemparkan masalah ini kepada Indonesia? Sebab jaringan mafia di balik kasus tersebut adalah manusia-manusia yang memegang paspor terbitan Negeri Tukang Klaim. Harap dipahami bahwa negeri wilayah pantai Negeri Tukang Klaim tidak ada apa-apanya dibandingkan panjang pantai Indonesia, sehingga pengawasan terhadap keluar masuknya manusia lewat pantai jauh lebih mudah.
Selama ini sudah menjadi modus bahwa arus pengungsi dari negara-negara di Asia Barat Daya dan Asia Selatan selalu menggunakan wilayah Negeri Tukang Klaim sebagai tempat transit. Dari situ rasanya tidak berlebihan untuk menaruh kecurigaan bahwa kasus yang terus berulang ini sebagian di antaranya karena pembiaran dari Negeri Tukang Klaim itu, sehingga yang menjadi repot dan susah adalah Indonesia.
Beberapa waktu Angkatan Laut negeri ini disibukkan dengan urusan pengungsi asal Srilanka di wilayah Banten. Dalam penanganan tersebut, Angkatan Laut ditunjukkan oleh pemerintah untuk menjadi leading sector penangan tersebut, membawahi beberapa instansi lain yang selama ini merasa lebih berhak dan lebih superior di laut dalam menangai masalah keamanan maritim. Penunjukkan itu menandakan bahwa bagaimana pun, habitat laut adalah domain Angkatan Laut dan tidak boleh ada pihak manapun di republik ini yang merasa lebih berhak dan lebih superior di laut daripada Angkatan Laut.
Kasus pengungsi ini diawali oleh information sharing dari Australian Northcom kepada beberapa instansi terkait di Indonesia soal kehadiran kapal pengungsi yang menuju Negeri Kangguru. Kemampuan deteksi Northcom tidak lepas dari AMIS yang mereka terapkan yang mengandalkan sejumlah perangkat pengumpulan informasi intelijen, baik berbasis di daratan maupun di luar angkasa. Tidak aneh bila mereka mampu mendeteksi jauh hingga ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan info dari Northcom itulah kemudian ditindaklanjuti oleh Angkatan Laut kita. Penangkapan kapal pengungsi itu dilakukan oleh sejumlah kapal perang Angkatan Laut, bukan seperti klaim instansi darat tertentu yang terus mencoba menerapkan KUHAP di laut. Klaim tersebut tidak berdasarkan fakta, sebab realitas di lapangan tidak demikian.
Terkait dengan kasus pengungsi Srilanka, menjadi pertanyaan apakah memang ada pembiaran dari otoritas Negeri Tukang Klaim untuk melepas mereka keluar dari wilayahnya dan kemudian melemparkan masalah ini kepada Indonesia? Sebab jaringan mafia di balik kasus tersebut adalah manusia-manusia yang memegang paspor terbitan Negeri Tukang Klaim. Harap dipahami bahwa negeri wilayah pantai Negeri Tukang Klaim tidak ada apa-apanya dibandingkan panjang pantai Indonesia, sehingga pengawasan terhadap keluar masuknya manusia lewat pantai jauh lebih mudah.
Selama ini sudah menjadi modus bahwa arus pengungsi dari negara-negara di Asia Barat Daya dan Asia Selatan selalu menggunakan wilayah Negeri Tukang Klaim sebagai tempat transit. Dari situ rasanya tidak berlebihan untuk menaruh kecurigaan bahwa kasus yang terus berulang ini sebagian di antaranya karena pembiaran dari Negeri Tukang Klaim itu, sehingga yang menjadi repot dan susah adalah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar