All hands,
Pada 13-14 Oktober 2009, sebuah lembaga kajian maritim milik pemerintah Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim mengadakan lokakarya tahunan yang mengundang beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Tema bahasan tahun ini mencakup masalah CBM dan naval arms race alias perlombaan senjata Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara. Menjadi menarik mengapa lembaga itu memilih judul tersebut.
Pesan sponsor sudah pasti merupakan jawaban paling jitu mengapa tema itu dipilih. Sponsornya tentu sudah dapat ditebak dengan pasti. Dari situ kemudian memunculkan pertanyaan baru, mengapa sang sponsor menentukan tema tersebut dalam kegiatan tahun ini?
Setelah diusut lebih jauh, ternyata hal itu tidak lepas dari kelakuan sang sponsor sendiri yang selama ini tidak pernah menghormati CBM. Alih-alih menghormati CBM, sang sponsor malah berupaya memprovokasi konflik di kawasan Asia Tenggara. Memprovokasi konflik sama artinya dengan berupaya memprovokasi timbulnya instabilitas di kawasan ini.
Soal contoh provokasi sangat jelas, lihat saja kelakuan kapal perang Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi selama ini terhadap Indonesia. Hanya pihak yang tidak dikaruniai akal sehat saja yang menilai kelakuan itu bukan tindakan untuk menimbulkan instabilitas keamanan kawasan.
Lalu artinya apa? Negeri Tukang Klaim seolah-olah ingin menunjukkan kepada kawasan dan dunia bahwa mereka sangat hirau dengan isu CBM. Padahal kenyataan di lapangan justru negeri itu yang tidak menghormati CBM. Itu benar-benar tipu daya ala Melayu yang buat sebagian bangsa Indonesia sudah paham betul maksudnya.
Itu baru tipu daya pertama. Tipu daya kedua soal naval arms race yang diangkat jadi isu lokakarya. Pertanyaannya adalah apakah benar ada naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Kalau ada, siapa pemicu utamanya?
Memang betul bahwa saat ini ada kecenderungan ke arah naval arms race di kawasan ini. Kecenderungan beberapa negara memperkuat Angkatan Lautnya yang sebagian sudah tidak proporsional dengan kebutuhan nyata merupakan indikasi adanya naval arms race di Asia Tenggara. Masalah tidak proporsional bisa dikaitkan dengan area of responsibility suatu Angkatan Laut.
Akan tetapi salah besar bila telunjuk langsung diarahkan kepada Singapura sebagai pemicunya. Negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia ini bukan pemicu utama. Memang pada satu sisi pembangunan kekuatan laut negeri yang hingga detik ini sangat takut dengan kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tersebut sangat dapat dikategorikan melebihi kebutuhan nyata. Akan tetapi penting untuk dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh negeri itu sebenarnya dipicu oleh provokasi Negeri Tukang Klaim.
Tidak sulit untuk mencari bukti soal ini. Satu di antaranya adalah ancaman Negeri Tukang Klaim terhadap negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia untuk memutus beberapa suplai vital dari daratan semenanjung. Selain ancaman, Negeri Tukang Klaim memprovokasi lewat pembangunan kekuatan militernya, termasuk Angkatan Laut, yang secara samar ataupun tidak sebenarnya ditujukan kepada negeri kecil yang memisahkan diri dari federasi pada Agustus 1965. Provokasi itu ternyata ampuh untuk memicu negara sasaran guna bertindak mengamankan kepentingan nasionalnya.
Penting untuk diketahui bahwa pembangunan kekuatan laut negeri yang takut terhadap kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tidak secara khusus diarahkan kepada Indonesia. Tetapi justru lebih diarahkan kepada mantan negeri induknya di masa lalu.
Kalau kini Indonesia tengah bersiap untuk memperkuat kembali Angkatan Lautnya, hal itu bukan semata-mata disebabkan soal waktu modernisasi kekuatan yang memang sudah tiba saatnya. Tetapi juga memperhitungkan pembangunan kekuatan Negeri Tukang Klaim, sebab negeri yang tidak tahu berterima kasih atas jasa tenaga kerja Indonesia membangun negerinya itu memang masih mempunyai sejumlah masalah politik keamanan yang mengganjal dengan Indonesia.
Berangkat dari situasi tersebut, siapa yang sebenarnya pemicu naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Lagi-lagi dari situ tergambar tipu daya ala Melayu yang dimainkan di panggung kawasan dan dunia.
Pada 13-14 Oktober 2009, sebuah lembaga kajian maritim milik pemerintah Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim mengadakan lokakarya tahunan yang mengundang beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Tema bahasan tahun ini mencakup masalah CBM dan naval arms race alias perlombaan senjata Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara. Menjadi menarik mengapa lembaga itu memilih judul tersebut.
Pesan sponsor sudah pasti merupakan jawaban paling jitu mengapa tema itu dipilih. Sponsornya tentu sudah dapat ditebak dengan pasti. Dari situ kemudian memunculkan pertanyaan baru, mengapa sang sponsor menentukan tema tersebut dalam kegiatan tahun ini?
Setelah diusut lebih jauh, ternyata hal itu tidak lepas dari kelakuan sang sponsor sendiri yang selama ini tidak pernah menghormati CBM. Alih-alih menghormati CBM, sang sponsor malah berupaya memprovokasi konflik di kawasan Asia Tenggara. Memprovokasi konflik sama artinya dengan berupaya memprovokasi timbulnya instabilitas di kawasan ini.
Soal contoh provokasi sangat jelas, lihat saja kelakuan kapal perang Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi selama ini terhadap Indonesia. Hanya pihak yang tidak dikaruniai akal sehat saja yang menilai kelakuan itu bukan tindakan untuk menimbulkan instabilitas keamanan kawasan.
Lalu artinya apa? Negeri Tukang Klaim seolah-olah ingin menunjukkan kepada kawasan dan dunia bahwa mereka sangat hirau dengan isu CBM. Padahal kenyataan di lapangan justru negeri itu yang tidak menghormati CBM. Itu benar-benar tipu daya ala Melayu yang buat sebagian bangsa Indonesia sudah paham betul maksudnya.
Itu baru tipu daya pertama. Tipu daya kedua soal naval arms race yang diangkat jadi isu lokakarya. Pertanyaannya adalah apakah benar ada naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Kalau ada, siapa pemicu utamanya?
Memang betul bahwa saat ini ada kecenderungan ke arah naval arms race di kawasan ini. Kecenderungan beberapa negara memperkuat Angkatan Lautnya yang sebagian sudah tidak proporsional dengan kebutuhan nyata merupakan indikasi adanya naval arms race di Asia Tenggara. Masalah tidak proporsional bisa dikaitkan dengan area of responsibility suatu Angkatan Laut.
Akan tetapi salah besar bila telunjuk langsung diarahkan kepada Singapura sebagai pemicunya. Negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia ini bukan pemicu utama. Memang pada satu sisi pembangunan kekuatan laut negeri yang hingga detik ini sangat takut dengan kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tersebut sangat dapat dikategorikan melebihi kebutuhan nyata. Akan tetapi penting untuk dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh negeri itu sebenarnya dipicu oleh provokasi Negeri Tukang Klaim.
Tidak sulit untuk mencari bukti soal ini. Satu di antaranya adalah ancaman Negeri Tukang Klaim terhadap negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia untuk memutus beberapa suplai vital dari daratan semenanjung. Selain ancaman, Negeri Tukang Klaim memprovokasi lewat pembangunan kekuatan militernya, termasuk Angkatan Laut, yang secara samar ataupun tidak sebenarnya ditujukan kepada negeri kecil yang memisahkan diri dari federasi pada Agustus 1965. Provokasi itu ternyata ampuh untuk memicu negara sasaran guna bertindak mengamankan kepentingan nasionalnya.
Penting untuk diketahui bahwa pembangunan kekuatan laut negeri yang takut terhadap kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tidak secara khusus diarahkan kepada Indonesia. Tetapi justru lebih diarahkan kepada mantan negeri induknya di masa lalu.
Kalau kini Indonesia tengah bersiap untuk memperkuat kembali Angkatan Lautnya, hal itu bukan semata-mata disebabkan soal waktu modernisasi kekuatan yang memang sudah tiba saatnya. Tetapi juga memperhitungkan pembangunan kekuatan Negeri Tukang Klaim, sebab negeri yang tidak tahu berterima kasih atas jasa tenaga kerja Indonesia membangun negerinya itu memang masih mempunyai sejumlah masalah politik keamanan yang mengganjal dengan Indonesia.
Berangkat dari situasi tersebut, siapa yang sebenarnya pemicu naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Lagi-lagi dari situ tergambar tipu daya ala Melayu yang dimainkan di panggung kawasan dan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar