All hands,
Apakah keuntungan yang telah diperoleh Indonesia dengan status negara kepulauan? Fakta menunjukkan bahwa status yang diperoleh dengan perjuangan panjang itu oleh generasi pendahulu kini cenderung disia-siakan oleh (sebagian) generasi sekarang. Generasi sekarang memandang laut sebagai beban, bukan sebagai aset. Buktinya gampang, tengok saja komitmen pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Lautnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan juga di Asia Tenggara, sudah sepantasnya bila Indonesia mempunyai kekuatan laut yang terkuat dan termodern di kawasan ini. Tapi apa yang terjadi, Indonesia kini cenderung sebagai pecundang di wilayah Asia Tenggara.
Begitu pula dengan armada perkapalan niaga. Armada perkapalan niaga Indonesia mengalami kemunduran dari era sebelumnya. Jangankan berjaya di kawasan Asia Tenggara, berjaya di negeri sendiri pun tidak.
Ketidakberjayaan itu karena adanya kerjasama yang erat dan saling menguntungkan antara pihak-pihak di negeri ini yang anti maritim dengan pihak asing seperti negeri kecil penampung koruptor di sebelah selatan Negeri Tukang Klaim. Bukan rahasia lagi bila negeri kecil itu terus berupaya membonsai upaya-upaya memajukan armada niaga Indonesia, termasuk menghambat pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage.
Pembonsaian terjadi pula pada masalah perikanan. Pelakunya pun merupakan paduan antara putra bangsa yang anti maritim dengan pihak asing yang berkepentingan mengeruk kekayaan laut Indonesia. Kalau selama ini masalah pencurian ikan seakan tidak pernah selesai, bahkan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor ikan kembung.
Dari selintas fakta tersebut, pertanyaan kini yaitu apakah status negara kepulauan yang disandang Indonesia sebagai nikmat atau laknat? Nampaknya status itu sebagai nikmat bagi pihak asing, tetapi laknat bagi bangsa Indonesia. Sebab bangsa ini tidak berminat mengeluarkan semua sumber daya nasional yang tersedia untuk mengurus lautnya.
Apakah keuntungan yang telah diperoleh Indonesia dengan status negara kepulauan? Fakta menunjukkan bahwa status yang diperoleh dengan perjuangan panjang itu oleh generasi pendahulu kini cenderung disia-siakan oleh (sebagian) generasi sekarang. Generasi sekarang memandang laut sebagai beban, bukan sebagai aset. Buktinya gampang, tengok saja komitmen pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Lautnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan juga di Asia Tenggara, sudah sepantasnya bila Indonesia mempunyai kekuatan laut yang terkuat dan termodern di kawasan ini. Tapi apa yang terjadi, Indonesia kini cenderung sebagai pecundang di wilayah Asia Tenggara.
Begitu pula dengan armada perkapalan niaga. Armada perkapalan niaga Indonesia mengalami kemunduran dari era sebelumnya. Jangankan berjaya di kawasan Asia Tenggara, berjaya di negeri sendiri pun tidak.
Ketidakberjayaan itu karena adanya kerjasama yang erat dan saling menguntungkan antara pihak-pihak di negeri ini yang anti maritim dengan pihak asing seperti negeri kecil penampung koruptor di sebelah selatan Negeri Tukang Klaim. Bukan rahasia lagi bila negeri kecil itu terus berupaya membonsai upaya-upaya memajukan armada niaga Indonesia, termasuk menghambat pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage.
Pembonsaian terjadi pula pada masalah perikanan. Pelakunya pun merupakan paduan antara putra bangsa yang anti maritim dengan pihak asing yang berkepentingan mengeruk kekayaan laut Indonesia. Kalau selama ini masalah pencurian ikan seakan tidak pernah selesai, bahkan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor ikan kembung.
Dari selintas fakta tersebut, pertanyaan kini yaitu apakah status negara kepulauan yang disandang Indonesia sebagai nikmat atau laknat? Nampaknya status itu sebagai nikmat bagi pihak asing, tetapi laknat bagi bangsa Indonesia. Sebab bangsa ini tidak berminat mengeluarkan semua sumber daya nasional yang tersedia untuk mengurus lautnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar