All hands,
Kemampuan dan kapasitas industri pertahanan Indonesia untuk mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negeri ini masih diragukan. Kasus KRI Banjarmasin-592 merupakan contoh termutakhir dari keraguan itu. Tentu saja menjadi pertanyaan, mengapa diragukan?
Kasus KRI Banjarmasin-592 terjadi karena industri pertahanan pasca reformasi tidak lagi mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Alih-alih mendapat penguatan kapital, teknologi dan sumber daya manusia, industri pertahanan sekarang disuruh untuk mencari untung sebanyak-banyaknya tanpa penguatan pada ketiga bidang yang telah disebutkan.
Sulit bagi industri pertahanan nasional seperti PT PAL untuk bersaing dengan galangan asing apabila masalah kapital, teknologi dan sumber daya manusia tidak dibenahi. Kesulitan modal yang dialami industri perkapalan yang sejarahnya dirintis oleh Angkatan Laut Indonesia tersebut berkontribusi pada tidak sesuainya penyerahan kapal sesuai dengan kontrak. Sebab perusahaan ini tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pembuatan kapal perang pada dana kas internal sebagaimana layaknya industri serupa lainnya.
Penguasaan teknologi kapal perang khususnya dalam pembuatan platform juga belum paripurna. Bisa membuat platform kapal perang sekelas FPB-57 bukan berarti secara otomatis bisa pula membuat platform untuk jenis kapal perang lainnya. Dalam kasus KRI Banjarmasin-592, ketergantungan teknologi rancang bangun kapal pada galangan Korea Selatan cukup tinggi. Situasi itu berpengaruh pada ketepatan penyerahan kapal perang sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Sumber daya manusia pada industri pertahanan nasional masih harus ditingkatkan, khususnya untuk perancangan dan pembuatan kapal perang. Sebab perancangan dan pembuatannya jelas berbeda dengan kapal niaga. Sangat jelas terlihat dalam kasus KRI Banjarmasin-592 bahwa sumber daya manusia PT PAL masih harus belajar banyak soal perancangan jenis kapal perang yang satu ini.
Apa yang terjadi selama proses rancang bangun KRI Banjarmasin-592 menunjukkan bahwa kebijakan transfer of technology dalam pengadaan alutsista ditinjau dari aspek teknis masih bagaikan langit dan bumi. Ada domain-domain tertentu dalam industri pertahanan nasional yang di luar kewenangan pihak-pihak penentu pengadaan alutsista. Belum lagi apabila menyentuh ranah politik.
Kemampuan dan kapasitas industri pertahanan Indonesia untuk mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negeri ini masih diragukan. Kasus KRI Banjarmasin-592 merupakan contoh termutakhir dari keraguan itu. Tentu saja menjadi pertanyaan, mengapa diragukan?
Kasus KRI Banjarmasin-592 terjadi karena industri pertahanan pasca reformasi tidak lagi mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Alih-alih mendapat penguatan kapital, teknologi dan sumber daya manusia, industri pertahanan sekarang disuruh untuk mencari untung sebanyak-banyaknya tanpa penguatan pada ketiga bidang yang telah disebutkan.
Sulit bagi industri pertahanan nasional seperti PT PAL untuk bersaing dengan galangan asing apabila masalah kapital, teknologi dan sumber daya manusia tidak dibenahi. Kesulitan modal yang dialami industri perkapalan yang sejarahnya dirintis oleh Angkatan Laut Indonesia tersebut berkontribusi pada tidak sesuainya penyerahan kapal sesuai dengan kontrak. Sebab perusahaan ini tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pembuatan kapal perang pada dana kas internal sebagaimana layaknya industri serupa lainnya.
Penguasaan teknologi kapal perang khususnya dalam pembuatan platform juga belum paripurna. Bisa membuat platform kapal perang sekelas FPB-57 bukan berarti secara otomatis bisa pula membuat platform untuk jenis kapal perang lainnya. Dalam kasus KRI Banjarmasin-592, ketergantungan teknologi rancang bangun kapal pada galangan Korea Selatan cukup tinggi. Situasi itu berpengaruh pada ketepatan penyerahan kapal perang sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Sumber daya manusia pada industri pertahanan nasional masih harus ditingkatkan, khususnya untuk perancangan dan pembuatan kapal perang. Sebab perancangan dan pembuatannya jelas berbeda dengan kapal niaga. Sangat jelas terlihat dalam kasus KRI Banjarmasin-592 bahwa sumber daya manusia PT PAL masih harus belajar banyak soal perancangan jenis kapal perang yang satu ini.
Apa yang terjadi selama proses rancang bangun KRI Banjarmasin-592 menunjukkan bahwa kebijakan transfer of technology dalam pengadaan alutsista ditinjau dari aspek teknis masih bagaikan langit dan bumi. Ada domain-domain tertentu dalam industri pertahanan nasional yang di luar kewenangan pihak-pihak penentu pengadaan alutsista. Belum lagi apabila menyentuh ranah politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar