All hands,
Strategi maritim terdiri atas tiga unsur fundamental, yaitu pengendalian laut, sea denial dan proyeksi kekuatan. Dikaitkan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut, sistem senjata yang melengkapi susunan tempur Angkatan harus mampu melaksanakan operasi-operasi yang tercakup dalam ketiga unsur itu. Salah satunya adalah proyeksi kekuatan, yang mana satu di antara bentuk proyeksi kekuatan berupa from the sea to shore.
Operasi amfibi merupakan satu pola proyeksi kekuatan from the sea. Operasi amfibi yang telah berlangsung ratusan tahun sekarang telah mengalami perubahan dalam bentuk doktrin. Doktrin operasi amfibi masa kini sebagian di antaranya tidak lagi mementingkan pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya operasi tersebut menekankan pada proyeksi kekuatan dari kapal perang langsung menuju sasaran di darat.
Doktrin yang diperkenalkan oleh U.S. Navy ini dikenal sebagai STOM. Memperhatikan sejarah U.S. Navy pasca Perang Vietnam, Angkatan Laut Amerika Serikat dan USMC sudah cukup lama tidak pernah melaksanakan operasi amfibi melalui pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya, STOM kini mendominasi penulisan sejarah operasi amfibi mereka.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau sekarang eksistensi kapal LST dalam susunan tempur U.S. Navy sudah punah. Fungsi LST kini digantikan oleh kapal LPD, LHD, LSD dan LHA yang mampu memuat berbagai jenis sistem senjata, termasuk helikopter. Akuisisi kapal-kapal amfibi jenis tersebut tidak dapat dilepaskan dari perubahan doktrin amfibi yang dianut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Doktrin operasi amfibi yang dianut masih menekankan vitalnya pembentukan tumpuan pantai. Untuk mendukung doktrin tersebut, dihadirkanlah kapal LST yang mampu melakukan beaching. Sedangkan LPD, LHD, LSD dan LHA memang dirancang untuk tidak mampu beaching, sebab doktrin yang melatarbelakanginya berbeda.
Dengan berjalannya waktu, perlahan kapal jenis LPD pun sekarang telah memperkuat kekuatan laut Indonesia. Sesuai dengan fungsi asasinya, LPD digunakan untuk melaksanakan proyeksi kekuatan melalui operasi amfibi. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, kapal jenis ini tidak dapat melaksanakan beaching sehingga hanya dapat melakukan debarkasi basah. Di sisi lain, sistem senjata ini juga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menggelar GKK Lintas Heli, karena terdapat heli deck yang mampu menampung helikopter dengan jumlah lebih dari dua buah.
Dari sini tergambar bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan daya pukul operasi amfibi, meskipun doktrinnya masih mengutamakan pada pembentukan tumpuan pantai. Peluang tersebut adalah mengeksploitasi GKK Lintas Heli dalam operasi amfibi dari balik cakrawala. Sebab kecepatan heli menuju sasaran jauh lebih tinggi daripada sekoci pendaratan seperti LCU.
Selain itu, LPD dengan daya muat yang jauh lebih besar daripada LST berarti juga dapat menambah kekuatan pasukan yang terlibat dalam operasi pendaratan. Termasuk kekuatan tank dan panser amfibi yang dapat dimuat lebih banyak daripada di LST. Dengan demikian, LST tetap dapat disinergikan dengan LPD.
Ke depan, perlu dipikirkan lebih matang isu ini sebab makin hari makin sedikit galangan kapal di dunia yang membuat LST. Dengan kata lain, LST terus mengalami pengurangan populasi. Sementara pada waktu yang sama, populasi LPD dan sejenisnya terus meningkat di dunia. Artinya, tidak menutup kemungkinan suatu saat penggunaan LST akan berkurang sangat drastis.
Singkatnya, menjadi pertanyaan apakah dalam 20-30 mendatang LST masih akan memainkan peran signifikan? Bila tidak, lalu bagaimana dengan doktrin operasi amfibi yang dianut oleh Indonesia? Apabila harus dilakukan revisi, sejauh mana revisi itu akan dilakukan? Ataukah harus mengadopsi doktrin baru seperti yang kini dianut oleh Angkatan Laut negara-negara maju?
Semua pertanyaan itu mempunyai keterkaitan erat dengan aspek perencanaan kekuatan. Mengingat perencanaan kekuatan bersifat jangka menengah dan jangka panjang, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya nampaknya harus sudah dapat dijawab dalam 2-4 tahun ke depan? Sebab dalam masa-masa itu, perencanaan kekuatan yang disusun diproyeksikan untuk 10-20 tahun berikutnya.
Strategi maritim terdiri atas tiga unsur fundamental, yaitu pengendalian laut, sea denial dan proyeksi kekuatan. Dikaitkan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut, sistem senjata yang melengkapi susunan tempur Angkatan harus mampu melaksanakan operasi-operasi yang tercakup dalam ketiga unsur itu. Salah satunya adalah proyeksi kekuatan, yang mana satu di antara bentuk proyeksi kekuatan berupa from the sea to shore.
Operasi amfibi merupakan satu pola proyeksi kekuatan from the sea. Operasi amfibi yang telah berlangsung ratusan tahun sekarang telah mengalami perubahan dalam bentuk doktrin. Doktrin operasi amfibi masa kini sebagian di antaranya tidak lagi mementingkan pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya operasi tersebut menekankan pada proyeksi kekuatan dari kapal perang langsung menuju sasaran di darat.
Doktrin yang diperkenalkan oleh U.S. Navy ini dikenal sebagai STOM. Memperhatikan sejarah U.S. Navy pasca Perang Vietnam, Angkatan Laut Amerika Serikat dan USMC sudah cukup lama tidak pernah melaksanakan operasi amfibi melalui pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya, STOM kini mendominasi penulisan sejarah operasi amfibi mereka.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau sekarang eksistensi kapal LST dalam susunan tempur U.S. Navy sudah punah. Fungsi LST kini digantikan oleh kapal LPD, LHD, LSD dan LHA yang mampu memuat berbagai jenis sistem senjata, termasuk helikopter. Akuisisi kapal-kapal amfibi jenis tersebut tidak dapat dilepaskan dari perubahan doktrin amfibi yang dianut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Doktrin operasi amfibi yang dianut masih menekankan vitalnya pembentukan tumpuan pantai. Untuk mendukung doktrin tersebut, dihadirkanlah kapal LST yang mampu melakukan beaching. Sedangkan LPD, LHD, LSD dan LHA memang dirancang untuk tidak mampu beaching, sebab doktrin yang melatarbelakanginya berbeda.
Dengan berjalannya waktu, perlahan kapal jenis LPD pun sekarang telah memperkuat kekuatan laut Indonesia. Sesuai dengan fungsi asasinya, LPD digunakan untuk melaksanakan proyeksi kekuatan melalui operasi amfibi. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, kapal jenis ini tidak dapat melaksanakan beaching sehingga hanya dapat melakukan debarkasi basah. Di sisi lain, sistem senjata ini juga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menggelar GKK Lintas Heli, karena terdapat heli deck yang mampu menampung helikopter dengan jumlah lebih dari dua buah.
Dari sini tergambar bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan daya pukul operasi amfibi, meskipun doktrinnya masih mengutamakan pada pembentukan tumpuan pantai. Peluang tersebut adalah mengeksploitasi GKK Lintas Heli dalam operasi amfibi dari balik cakrawala. Sebab kecepatan heli menuju sasaran jauh lebih tinggi daripada sekoci pendaratan seperti LCU.
Selain itu, LPD dengan daya muat yang jauh lebih besar daripada LST berarti juga dapat menambah kekuatan pasukan yang terlibat dalam operasi pendaratan. Termasuk kekuatan tank dan panser amfibi yang dapat dimuat lebih banyak daripada di LST. Dengan demikian, LST tetap dapat disinergikan dengan LPD.
Ke depan, perlu dipikirkan lebih matang isu ini sebab makin hari makin sedikit galangan kapal di dunia yang membuat LST. Dengan kata lain, LST terus mengalami pengurangan populasi. Sementara pada waktu yang sama, populasi LPD dan sejenisnya terus meningkat di dunia. Artinya, tidak menutup kemungkinan suatu saat penggunaan LST akan berkurang sangat drastis.
Singkatnya, menjadi pertanyaan apakah dalam 20-30 mendatang LST masih akan memainkan peran signifikan? Bila tidak, lalu bagaimana dengan doktrin operasi amfibi yang dianut oleh Indonesia? Apabila harus dilakukan revisi, sejauh mana revisi itu akan dilakukan? Ataukah harus mengadopsi doktrin baru seperti yang kini dianut oleh Angkatan Laut negara-negara maju?
Semua pertanyaan itu mempunyai keterkaitan erat dengan aspek perencanaan kekuatan. Mengingat perencanaan kekuatan bersifat jangka menengah dan jangka panjang, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya nampaknya harus sudah dapat dijawab dalam 2-4 tahun ke depan? Sebab dalam masa-masa itu, perencanaan kekuatan yang disusun diproyeksikan untuk 10-20 tahun berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar