All hands,
Meskipun Indonesia sampai saat ini terikat Perjanjian Lombok dengan Australia, akan tetapi situasi demikian hendaknya tidak membuat negeri ini terlena. Mengacu pada kebijakan pertahanan Australia dan juga preseden sejarah, Indonesia secara nyata menghadapi potensi ancaman dari selatan. Bukankah kebijakan pertahanan Australia menempatkan Indonesia sebagai perimeter terdepannya. Lihat saja soal pengungsi dari Asia Barat dan Asia Selatan yang berlayar menuju negeri itu dan bagaimana kerasnya pemerintahan di Canberra menekan Jakarta terkait isu tersebut.
Sehingga apabila ada instabilitas di wilayah Indonesia, khususnya pada kawasan-kawasan perairan yang dikategorikan sebagai jalur pendekat, tidak diragukan bahwa negeri itu akan melaksanakan proyeksi kekuatan untuk mengamankan kepentingan strategisnya. Itulah alasan mengapa kini negeri yang didirikan oleh para narapidana itu sekarang mengembangkan kapal perusak AWD kelas Hobart dan LHD kelas Canberra.
Tak aneh pula bila dalam Seapower Conference 2010 temanya adalah soal proyeksi kekuatan, yakni Combined and Joint Operations From The Sea. Dalam kegiatan itu, salah satu pembicaranya adalah eks Jenderal Peter Cosgrove yang akan berbicara soal pengalaman dia memimpin proyeksi kekuatan Australia ke Timor Timur.
Pertanyaannya, apakah kebijakan pertahanan Indonesia melihat potensi ancaman dari selatan? Kalau memang melihat, apakah ada langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan di Indonesia bagian selatan, khususnya mulai dari Selat Lombok sampai ke Selat Torres? Apakah kebijakan minimum essential force menengok ke sana?
Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan ini tidak sulit bagi kita yang menggeluti persoalan terkait pembangunan kekuatan dari hari ke hari.
Meskipun Indonesia sampai saat ini terikat Perjanjian Lombok dengan Australia, akan tetapi situasi demikian hendaknya tidak membuat negeri ini terlena. Mengacu pada kebijakan pertahanan Australia dan juga preseden sejarah, Indonesia secara nyata menghadapi potensi ancaman dari selatan. Bukankah kebijakan pertahanan Australia menempatkan Indonesia sebagai perimeter terdepannya. Lihat saja soal pengungsi dari Asia Barat dan Asia Selatan yang berlayar menuju negeri itu dan bagaimana kerasnya pemerintahan di Canberra menekan Jakarta terkait isu tersebut.
Sehingga apabila ada instabilitas di wilayah Indonesia, khususnya pada kawasan-kawasan perairan yang dikategorikan sebagai jalur pendekat, tidak diragukan bahwa negeri itu akan melaksanakan proyeksi kekuatan untuk mengamankan kepentingan strategisnya. Itulah alasan mengapa kini negeri yang didirikan oleh para narapidana itu sekarang mengembangkan kapal perusak AWD kelas Hobart dan LHD kelas Canberra.
Tak aneh pula bila dalam Seapower Conference 2010 temanya adalah soal proyeksi kekuatan, yakni Combined and Joint Operations From The Sea. Dalam kegiatan itu, salah satu pembicaranya adalah eks Jenderal Peter Cosgrove yang akan berbicara soal pengalaman dia memimpin proyeksi kekuatan Australia ke Timor Timur.
Pertanyaannya, apakah kebijakan pertahanan Indonesia melihat potensi ancaman dari selatan? Kalau memang melihat, apakah ada langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan di Indonesia bagian selatan, khususnya mulai dari Selat Lombok sampai ke Selat Torres? Apakah kebijakan minimum essential force menengok ke sana?
Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan ini tidak sulit bagi kita yang menggeluti persoalan terkait pembangunan kekuatan dari hari ke hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar