All hands,
Pada 27-29 Januari 2010, Royal Australian Navy melalui Seapower Centre akan mengadakan Seapower Conference 2010. Dalam konferensi bertema Combined and Joint Operations From The Sea, topik yang akan dibahas adalah operasi amfibi. Tentu bagi kita bangsa Indonesia yang berbatasan langsung dengan Australia, menjadi pertanyaan mengapa temanya dipilih soal tersebut?
Jawabannya tidak akan sulit untuk ditemukan bila kita memahami kebijakan pertahanan Australia. Negeri yang dilahirkan oleh para narapidana itu menjadi kawasan di sebelah utara sebagai wilayah kepentingannya melalui istilah direct approach. Sebab mustahil ancaman dan tantangan terhadap negeri di mana kaum Aborigin tersingkir di tanah leluhur mereka sendiri muncul dari wilayah selatan yang berupa kawasan kutub yang penghuninya lebih banyak binatang daripada manusia. Untuk mengendalikan direct approach, kebijakan pertahanan Canberra mirip dengan induknya di Washington, yakni berperang sejauh mungkin di luar wilayahnya.
Oleh karena itu, sangat jelas ada korelasi antara pengadaan kapal perusak berkemampuan peperangan udara kelas Hobart, kapal LHD kelas Canberra dan rencana pembangunan 12 kapal selam baru. Semua kekuatan itu akan diproyeksikan ke wilayah direct approach Australia yang berada di kawasan utara. Proyeksi kekuatan bukan sekedar untuk kepentingan operasi HADR dan merespon langsung serangan terhadap Australia, tetapi meliputi pula pengendalian perairan di sebelah utara dan juga menciptakan stabilitas apabila ada pergolakan politik dan komunal di wilayah utara Australia.
Karena Australia tidak mempunyai pasukan Marinir, maka yang akan difungsikan sebagai pasukan pendarat adalah Angkatan Darat. Seperti dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan Australia, kekuatan darat negeri itu akan diproyeksikan pada wilayah pantai dari perairan direct approach untuk menjamin keamanan navigasi kapal perang Angkatan Lautnya.
Dengan kata lain, Indonesia jangan naif memandang pembangunan kemampuan operasi amfibi Australia semata-mata untuk HADR seperti yang ditunjukkan di Aceh pada 2004 dan Padang pada 2009. Indonesia jangan pernah melupakan kasus Timor-Timur 1999, di mana Australia melaksanakan proyeksi kekuatan atas nama stabilitas kawasan. Kasus serupa bisa pula terjadi di Papua dan atau Maluku atau wilayah lainnya di sekitar ALKI II dan III. Indonesia jangan pula terlalu naif bahwa negeri turunan para narapidana itu akan memegang teguh Perjanjian Lombok, sebab AMS pun mereka injak-injak pada 1999 atas nama stabilitas kawasan.
Kembali kepada tema dalam Seapower Conference 2010, tema itu dirancang bukan tanpa preseden dan maksud tertentu. Tema itu berada dalam bingkai kepentingan nasional Australia. Pertanyaannya, apakah bingkai kepentingan nasional Australia sejalan dengan bingkai kepentingan nasional Indonesia?
Pada 27-29 Januari 2010, Royal Australian Navy melalui Seapower Centre akan mengadakan Seapower Conference 2010. Dalam konferensi bertema Combined and Joint Operations From The Sea, topik yang akan dibahas adalah operasi amfibi. Tentu bagi kita bangsa Indonesia yang berbatasan langsung dengan Australia, menjadi pertanyaan mengapa temanya dipilih soal tersebut?
Jawabannya tidak akan sulit untuk ditemukan bila kita memahami kebijakan pertahanan Australia. Negeri yang dilahirkan oleh para narapidana itu menjadi kawasan di sebelah utara sebagai wilayah kepentingannya melalui istilah direct approach. Sebab mustahil ancaman dan tantangan terhadap negeri di mana kaum Aborigin tersingkir di tanah leluhur mereka sendiri muncul dari wilayah selatan yang berupa kawasan kutub yang penghuninya lebih banyak binatang daripada manusia. Untuk mengendalikan direct approach, kebijakan pertahanan Canberra mirip dengan induknya di Washington, yakni berperang sejauh mungkin di luar wilayahnya.
Oleh karena itu, sangat jelas ada korelasi antara pengadaan kapal perusak berkemampuan peperangan udara kelas Hobart, kapal LHD kelas Canberra dan rencana pembangunan 12 kapal selam baru. Semua kekuatan itu akan diproyeksikan ke wilayah direct approach Australia yang berada di kawasan utara. Proyeksi kekuatan bukan sekedar untuk kepentingan operasi HADR dan merespon langsung serangan terhadap Australia, tetapi meliputi pula pengendalian perairan di sebelah utara dan juga menciptakan stabilitas apabila ada pergolakan politik dan komunal di wilayah utara Australia.
Karena Australia tidak mempunyai pasukan Marinir, maka yang akan difungsikan sebagai pasukan pendarat adalah Angkatan Darat. Seperti dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan Australia, kekuatan darat negeri itu akan diproyeksikan pada wilayah pantai dari perairan direct approach untuk menjamin keamanan navigasi kapal perang Angkatan Lautnya.
Dengan kata lain, Indonesia jangan naif memandang pembangunan kemampuan operasi amfibi Australia semata-mata untuk HADR seperti yang ditunjukkan di Aceh pada 2004 dan Padang pada 2009. Indonesia jangan pernah melupakan kasus Timor-Timur 1999, di mana Australia melaksanakan proyeksi kekuatan atas nama stabilitas kawasan. Kasus serupa bisa pula terjadi di Papua dan atau Maluku atau wilayah lainnya di sekitar ALKI II dan III. Indonesia jangan pula terlalu naif bahwa negeri turunan para narapidana itu akan memegang teguh Perjanjian Lombok, sebab AMS pun mereka injak-injak pada 1999 atas nama stabilitas kawasan.
Kembali kepada tema dalam Seapower Conference 2010, tema itu dirancang bukan tanpa preseden dan maksud tertentu. Tema itu berada dalam bingkai kepentingan nasional Australia. Pertanyaannya, apakah bingkai kepentingan nasional Australia sejalan dengan bingkai kepentingan nasional Indonesia?
2 komentar:
betul sekali, indonesia harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi dengan memperkuat TNI dan alutsistanya
ya bener... Indonesia hrs hati2 dg austraslia, apalgi pengadaan alutsista nya begitu besar.
yah mudah2an Ina dg mengembangkan produksi dalam negri khususnya ALUTSISTAnya menjadi diperhitungkan ol negara lain, ga cm malaysia
Posting Komentar