All hands,
Ketika terjadi tembak menembak antara kapal perang Korea Selatan versus Korea Utara pada 10 November 2009 di Laut Kuning, salah satu pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia adalah menyangkut soal aturan pelibatan alias rules of engagement (ROE). ROE yang sekarang dianut oleh Angkatan Laut Republik Korea adalah langsung merespon hostile intent dan hostile act lawan tanpa harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengambil kebijakan politik di Seoul. Tidak heran apabila kerugian operasional lebih banyak diderita oleh Angkatan Laut Republik Demokratik Korea daripada lawannya, sebab Angkatan Laut Republik Korea telah dilengkapi dengan aturan pelibatan yang “sesungguhnya”.
Indonesia harus mengambil pelajaran dari sana, khususnya menyangkut aturan pelibatan di wilayah tertentu seperti di Laut Sulawesi perairan Kalimantan Timur. Walaupun secara politik hubungan Indonesia-Malaysia tidak dalam kondisi gencatan senjata (artinya perang masih berlangsung) seperti halnya Korea Selatan-Korea Utara, namun tidak ada alasan untuk mempertahankan aturan pelibatan yang sebenarnya tidak tepat dikategorikan sebagai aturan pelibatan. Sebab aturan pelibatan di mana pun, khususnya pada kapal perang, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada komandan kapal atau komandan gugus tugas untuk mengambil tindakan yang perlu pada saat yang genting atau membutuhkan respon cepat sesuai kondisi aktual di lapangan.
Aturan pelibatan yang masih mencantumkan komandan kapal perang atau komandan gugus tugas untuk berkonsultasi politik dengan pemimpin nasional jelas tidak memenuhi kebutuhan nyata di laut, sebab ada ruang dan waktu yang harus terbuang demi sebuah konsultasi. Apalagi dapat dipastikan bahwa konsultasi politik itu berjenjang secara hirarkis, sehingga bisa diterka berapa lama waktu yang habis hanya untuk kegiatan itu.
Harus kembali diingat bahwa kapal perang adalah extended territory suatu negara, sehingga komandan kapal perang sesungguhnya adalah wakil dari pemimpin nasional. Dengan demikian, kepadanya diberikan sejumlah kewenangan untuk bertindak apabila kapal perangnya terancam oleh hostile intent dan hostile act dari pihak lain. Ancaman terhadap kapal perang sama artinya dengan ancaman terhadap kedaulatan negara pemilik kapal perang tersebut.
Ketika terjadi tembak menembak antara kapal perang Korea Selatan versus Korea Utara pada 10 November 2009 di Laut Kuning, salah satu pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia adalah menyangkut soal aturan pelibatan alias rules of engagement (ROE). ROE yang sekarang dianut oleh Angkatan Laut Republik Korea adalah langsung merespon hostile intent dan hostile act lawan tanpa harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengambil kebijakan politik di Seoul. Tidak heran apabila kerugian operasional lebih banyak diderita oleh Angkatan Laut Republik Demokratik Korea daripada lawannya, sebab Angkatan Laut Republik Korea telah dilengkapi dengan aturan pelibatan yang “sesungguhnya”.
Indonesia harus mengambil pelajaran dari sana, khususnya menyangkut aturan pelibatan di wilayah tertentu seperti di Laut Sulawesi perairan Kalimantan Timur. Walaupun secara politik hubungan Indonesia-Malaysia tidak dalam kondisi gencatan senjata (artinya perang masih berlangsung) seperti halnya Korea Selatan-Korea Utara, namun tidak ada alasan untuk mempertahankan aturan pelibatan yang sebenarnya tidak tepat dikategorikan sebagai aturan pelibatan. Sebab aturan pelibatan di mana pun, khususnya pada kapal perang, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada komandan kapal atau komandan gugus tugas untuk mengambil tindakan yang perlu pada saat yang genting atau membutuhkan respon cepat sesuai kondisi aktual di lapangan.
Aturan pelibatan yang masih mencantumkan komandan kapal perang atau komandan gugus tugas untuk berkonsultasi politik dengan pemimpin nasional jelas tidak memenuhi kebutuhan nyata di laut, sebab ada ruang dan waktu yang harus terbuang demi sebuah konsultasi. Apalagi dapat dipastikan bahwa konsultasi politik itu berjenjang secara hirarkis, sehingga bisa diterka berapa lama waktu yang habis hanya untuk kegiatan itu.
Harus kembali diingat bahwa kapal perang adalah extended territory suatu negara, sehingga komandan kapal perang sesungguhnya adalah wakil dari pemimpin nasional. Dengan demikian, kepadanya diberikan sejumlah kewenangan untuk bertindak apabila kapal perangnya terancam oleh hostile intent dan hostile act dari pihak lain. Ancaman terhadap kapal perang sama artinya dengan ancaman terhadap kedaulatan negara pemilik kapal perang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar