All hands,
Salah satu penekanan pemerintah dari RPJM 2010-2014 adalah peningkatan partisipasi militer negeri ini dalam operasi perdamaian dunia, khususnya yang berada di bawah bendera PBB. Dikaitkan dengan Undang-undang No.34 Tahun 2004, meman salah satu tugas pokok militer Indonesia adalah operasi perdamaian. Cuma menjadi pertanyaan, apakah sebegitu pentingkah operasi ini sehingga harus dimasukkan sebagai prioritas dalam RPJM 2010-2014.
Tidak sulit untuk menebak bahwa penempatan prioritas tersebut terkait urusan pencitraan Indonesia. Kini kebijakan luar negeri Indonesia memang menempatkan pencitraan sebagai yang utama, lepas dari siapa yang menjadi korban dari pencitraan tersebut. Yang utama adalah citra baik Indonesia di mata dunia internasional.
Sebagai contoh nyata adalah masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 dianggap sebagai prestasi diplomatik Indonesia yang luar biasa. Prestasi tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat negeri ini nantinya, sebab kesepakatan dalam KTT G-20 di Pittsburgh November 2009 di antaranya adalah penghapusan subsidi BBM bagi negara-negara anggota. Hebat sekali bukan, rakyat Indonesia diminta menanggung beban “keberhasilan” diplomasi Indonesia yang katanya hebat di panggung internasional.
Kembali ke soal operasi perdamaian, perlu dikaji kembali menempatkan operasi itu sebagai salah satu satu prioritas pemerintah. Kenapa demikian? Meskipun operasi tersebut merupakan tugas pokok TNI, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan modal semangat juang saja. PBB mempunyai standar yang tinggi bagi negara anggota yang ingin menyumbangkan kekuatan militernya bagi operasi perdamaian. Semangat juang saja tidak akan pernah memenuhi standar tinggi tersebut.
Untuk bisa memenuhi standar yang tinggi tersebut, syarat utamanya adalah modernisasi kekuatan militer negeri ini. Modernisasi harus mencakup semua Angkatan, bukan matra tertentu saja yang selama ini lebih banyak berperan dalam operasi perdamaian. Mustahil bermimpi mau meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian tetapi tidak ada keinginan politik memodernisasi militer negeri ini.
Sebagai contoh, pemerintah harus rela mengeluarkan uang untuk melengkapi korvet kelas Sigma milik Angkatan Laut Indonesia untuk memenuhi standar PBB/internasional. Kalau dulu KRI DPN-365 sudah memenuhi persyaratan tersebut, tiga kapal lainnya juga harus segera dilengkapi. Dengan demikian, Angkatan Laut diuntungkan karena kapal itu bisa dilengkapi lebih cepat daripada jadwal seharusnya.
Aspirasi politik pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian harus didahului oleh modernisasi kekuatan militer Indonesia. Tanpa itu, kekuatan yang dikirim kebanyakan hanya akan bermodalkan semangat saja. Dan peran Angkatan Laut dalam operasi perdamaian masih akan tetap di pinggiran, sebab mustahil Angkatan Laut dapat berpartisipasi dalam bentuk Satuan Tugas Maritim tanpa sistem senjata yang memenuhi standar.
Salah satu penekanan pemerintah dari RPJM 2010-2014 adalah peningkatan partisipasi militer negeri ini dalam operasi perdamaian dunia, khususnya yang berada di bawah bendera PBB. Dikaitkan dengan Undang-undang No.34 Tahun 2004, meman salah satu tugas pokok militer Indonesia adalah operasi perdamaian. Cuma menjadi pertanyaan, apakah sebegitu pentingkah operasi ini sehingga harus dimasukkan sebagai prioritas dalam RPJM 2010-2014.
Tidak sulit untuk menebak bahwa penempatan prioritas tersebut terkait urusan pencitraan Indonesia. Kini kebijakan luar negeri Indonesia memang menempatkan pencitraan sebagai yang utama, lepas dari siapa yang menjadi korban dari pencitraan tersebut. Yang utama adalah citra baik Indonesia di mata dunia internasional.
Sebagai contoh nyata adalah masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 dianggap sebagai prestasi diplomatik Indonesia yang luar biasa. Prestasi tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat negeri ini nantinya, sebab kesepakatan dalam KTT G-20 di Pittsburgh November 2009 di antaranya adalah penghapusan subsidi BBM bagi negara-negara anggota. Hebat sekali bukan, rakyat Indonesia diminta menanggung beban “keberhasilan” diplomasi Indonesia yang katanya hebat di panggung internasional.
Kembali ke soal operasi perdamaian, perlu dikaji kembali menempatkan operasi itu sebagai salah satu satu prioritas pemerintah. Kenapa demikian? Meskipun operasi tersebut merupakan tugas pokok TNI, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan modal semangat juang saja. PBB mempunyai standar yang tinggi bagi negara anggota yang ingin menyumbangkan kekuatan militernya bagi operasi perdamaian. Semangat juang saja tidak akan pernah memenuhi standar tinggi tersebut.
Untuk bisa memenuhi standar yang tinggi tersebut, syarat utamanya adalah modernisasi kekuatan militer negeri ini. Modernisasi harus mencakup semua Angkatan, bukan matra tertentu saja yang selama ini lebih banyak berperan dalam operasi perdamaian. Mustahil bermimpi mau meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian tetapi tidak ada keinginan politik memodernisasi militer negeri ini.
Sebagai contoh, pemerintah harus rela mengeluarkan uang untuk melengkapi korvet kelas Sigma milik Angkatan Laut Indonesia untuk memenuhi standar PBB/internasional. Kalau dulu KRI DPN-365 sudah memenuhi persyaratan tersebut, tiga kapal lainnya juga harus segera dilengkapi. Dengan demikian, Angkatan Laut diuntungkan karena kapal itu bisa dilengkapi lebih cepat daripada jadwal seharusnya.
Aspirasi politik pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian harus didahului oleh modernisasi kekuatan militer Indonesia. Tanpa itu, kekuatan yang dikirim kebanyakan hanya akan bermodalkan semangat saja. Dan peran Angkatan Laut dalam operasi perdamaian masih akan tetap di pinggiran, sebab mustahil Angkatan Laut dapat berpartisipasi dalam bentuk Satuan Tugas Maritim tanpa sistem senjata yang memenuhi standar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar