All hands,
Mimpi besar berjudul standby force harus dipikirkan kembali dengan matang. Salah satu alasannya sederhana, yaitu apakah kekuatan itu akan digunakan untuk lingkup dunia internasional atau sebatas kawasan Asia Tenggara? Mengapa kawasan Asia Tenggara dijadikan perhatian khusus? Jawabannya tidak lain dan tak bukan karena Indonesia hidup di kawasan ini dan terikat dengan cetak biru APSC yang di antaranya mengatur tentang pemeliharaan perdamaian kawasan.
Dengan kata lain, apakah Indonesia ingin mengutamakan penggunaan Bab VI-Bab VII ataukah lebih fokus kepada Bab VIII Piagam? Bab VIII berisi pesan kepada kekuatan setiap kawasan untuk menata perdamaian di wilayahnya masing-masing. ASEAN sedang merintis ke arah tersebut, meskipun pada 2003-2004 konsep yang disodorkan oleh diplomat Indonesia yang konon katanya hebat ditolak mentah-mentah oleh Singapura dan Malaysia.
Terdapat indikasi bahwa mimpi besar berjudul standby force yang digadang-gadang oleh pihak tertentu lebih mengutamakan Bab VI. Soal Bab VII Indonesia dipastikan tidak akan berani, karena selain kebijakan luar negerinya yang sudah tidak relevan dengan kondisi jaman, juga tidak akan pernah mau mengirimkan kekuatan militernya keluar negeri untuk kemudian pulang dalam peti-peti jenazah. Padahal di sisi lain, nyaris semua operasi perdamaian PBB masa kini sudah masuk ke Bab VII. Cuma Indonesia saja yang masih bersikeras ingin bertahan di Bab VI.
Lalu bagaimana dengan Bab VIII? Kalau kita berpikir dalam konteks kepentingan nasional, kepentingan nasional Indonesia terbesar terletak di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, mestinya mimpi besar berjudul standby force diarahkan untuk memenuhi Bab VIII. Bukan Bab VI atau Bab VII yang jauh di luar sana dan tidak berpengaruh langsung terhadap stabilitas keamanan Indonesia.
Mimpi besar berjudul standby force harus dipikirkan kembali dengan matang. Salah satu alasannya sederhana, yaitu apakah kekuatan itu akan digunakan untuk lingkup dunia internasional atau sebatas kawasan Asia Tenggara? Mengapa kawasan Asia Tenggara dijadikan perhatian khusus? Jawabannya tidak lain dan tak bukan karena Indonesia hidup di kawasan ini dan terikat dengan cetak biru APSC yang di antaranya mengatur tentang pemeliharaan perdamaian kawasan.
Dengan kata lain, apakah Indonesia ingin mengutamakan penggunaan Bab VI-Bab VII ataukah lebih fokus kepada Bab VIII Piagam? Bab VIII berisi pesan kepada kekuatan setiap kawasan untuk menata perdamaian di wilayahnya masing-masing. ASEAN sedang merintis ke arah tersebut, meskipun pada 2003-2004 konsep yang disodorkan oleh diplomat Indonesia yang konon katanya hebat ditolak mentah-mentah oleh Singapura dan Malaysia.
Terdapat indikasi bahwa mimpi besar berjudul standby force yang digadang-gadang oleh pihak tertentu lebih mengutamakan Bab VI. Soal Bab VII Indonesia dipastikan tidak akan berani, karena selain kebijakan luar negerinya yang sudah tidak relevan dengan kondisi jaman, juga tidak akan pernah mau mengirimkan kekuatan militernya keluar negeri untuk kemudian pulang dalam peti-peti jenazah. Padahal di sisi lain, nyaris semua operasi perdamaian PBB masa kini sudah masuk ke Bab VII. Cuma Indonesia saja yang masih bersikeras ingin bertahan di Bab VI.
Lalu bagaimana dengan Bab VIII? Kalau kita berpikir dalam konteks kepentingan nasional, kepentingan nasional Indonesia terbesar terletak di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, mestinya mimpi besar berjudul standby force diarahkan untuk memenuhi Bab VIII. Bukan Bab VI atau Bab VII yang jauh di luar sana dan tidak berpengaruh langsung terhadap stabilitas keamanan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar