All hands,
5 Desember sejak dahulu diperingati sebagai Hari Armada RI, meskipun sempat dijadikan sebagai Hari Lahir Angkatan Laut. Namun kini 5 Desember kembali ditetapkan sebagai Hari Armada RI mengacu pada sejarah pembentukan armada negeri ini. Saat membahas tentang Hari Armada RI, merupakan hal yang tidak terhindarkan untuk mengulas tentang eksistensi dan kondisi kapal perang sebagai tulang punggung utama keberadaan armada suatu negara.
Kini tantangan yang dihadapi oleh Armada RI di antaranya menyangkut soal modernisasi kekuatan. Rencana modernisasi kekuatan melalui pengadaan sejumlah sistem senjata baru, baik kapal atas air, kapal selam maupun pesawat udara dalam 5 tahun terakhir nyaris jalan di tempat.
Alasan yang dikemukakan oleh pemegang kekuatan politik sederhana dan normatif, yaitu keterbatasan anggaran. Akan tetapi di balik itu tersembunyi masalah utamanya, yakni ketidakberpihakan pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Laut. Itulah masalah utama yang sudah kita ketahui bersama.
Kalau ada niat dan keberpihakan politik terhadap Angkatan Laut Indonesia, sebenarnya ada beberapa cara untuk memodernisasi kekuatan laut negeri ini tanpa menyedot anggaran nasional secara massif. Satu di antaranya adalah modernisasi kekuatan lewat operasi perdamaian PBB.
Caranya sederhana, yaitu Indonesia menyatakan siap untuk secara berkelanjutan mendukung operasi perdamaian PBB, khususnya pada bagian MTF. Untuk bisa berpartisipasi dalam MTF, kapal perang dan perangkat pendukungnya harus memenuhi standar PBB. Dari situlah terbuka peluang untuk modernisasi kekuatan laut, baik lewat melengkapi kapal perang yang sudah ada maupun pengadaan baru. Kalau ada pihak asing yang mempertanyakan urgensi modernisasi kapal perang Indonesia, jawaban yang paling mudah diterima dan masuk akal adalah untuk menjaga perairan Indonesia dan sekaligus terus berpartisipasi dalam operasi perdamaian.
Baik kegiatan melengkapi kapal perang yang sudah ada agar sesuai dengan standar PBB maupun pengadaan kapal perang baru memang membutuhkan biaya. Namun harus diingat bahwa biaya yang dikeluarkan setidaknya akan memperoleh pengembalian secara tidak langsung ketika kapal perang tersebut berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB. Seperti diketahui, ada reimburstment dari PBB bagi kontingen negara yang beroperasi di bawah bendera PBB apabila major item-nya memenuhi standar PBB.
Dengan kata lain, investasi bagi modernisasi kapal perang Angkatan Laut secara tidak langsung akan mendapatkan “pembayaran”. Memang dapat dipastikan bahwa nilai reimbustment-nya tidak seharga satu unit kapal perang baru, namun setidaknya ada sebagian dari investasi tersebut yang kembali ke kas negara.
Selama ini program modernisasi Angkatan Laut bagi para penentu anggaran dipandang sebagai investasi yang hilang begitu saja dari sisi rupiah. Dalam arti outcome dari investasi itu bukan berupa rupiah yang bisa dikuantifikasi. Dengan menempuh program modernisasi untuk kepentingan operasi perdamaian, setidaknya sebagian dari investasi tersebut kembali ke kas negara dalam bentuk rupiah atau mata uang lainnya.Sekarang tergantung pada para penentu kebijakan di negeri ini, apakah cara ini mau ditempuh atau tidak? Yang pasti ada negara lain di Eropa yang sudah menempuh cara serupa dan outcome yang mereka dapatkan cukup berimbang, baik dari sisi politik, militer maupun finansial.
5 Desember sejak dahulu diperingati sebagai Hari Armada RI, meskipun sempat dijadikan sebagai Hari Lahir Angkatan Laut. Namun kini 5 Desember kembali ditetapkan sebagai Hari Armada RI mengacu pada sejarah pembentukan armada negeri ini. Saat membahas tentang Hari Armada RI, merupakan hal yang tidak terhindarkan untuk mengulas tentang eksistensi dan kondisi kapal perang sebagai tulang punggung utama keberadaan armada suatu negara.
Kini tantangan yang dihadapi oleh Armada RI di antaranya menyangkut soal modernisasi kekuatan. Rencana modernisasi kekuatan melalui pengadaan sejumlah sistem senjata baru, baik kapal atas air, kapal selam maupun pesawat udara dalam 5 tahun terakhir nyaris jalan di tempat.
Alasan yang dikemukakan oleh pemegang kekuatan politik sederhana dan normatif, yaitu keterbatasan anggaran. Akan tetapi di balik itu tersembunyi masalah utamanya, yakni ketidakberpihakan pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Laut. Itulah masalah utama yang sudah kita ketahui bersama.
Kalau ada niat dan keberpihakan politik terhadap Angkatan Laut Indonesia, sebenarnya ada beberapa cara untuk memodernisasi kekuatan laut negeri ini tanpa menyedot anggaran nasional secara massif. Satu di antaranya adalah modernisasi kekuatan lewat operasi perdamaian PBB.
Caranya sederhana, yaitu Indonesia menyatakan siap untuk secara berkelanjutan mendukung operasi perdamaian PBB, khususnya pada bagian MTF. Untuk bisa berpartisipasi dalam MTF, kapal perang dan perangkat pendukungnya harus memenuhi standar PBB. Dari situlah terbuka peluang untuk modernisasi kekuatan laut, baik lewat melengkapi kapal perang yang sudah ada maupun pengadaan baru. Kalau ada pihak asing yang mempertanyakan urgensi modernisasi kapal perang Indonesia, jawaban yang paling mudah diterima dan masuk akal adalah untuk menjaga perairan Indonesia dan sekaligus terus berpartisipasi dalam operasi perdamaian.
Baik kegiatan melengkapi kapal perang yang sudah ada agar sesuai dengan standar PBB maupun pengadaan kapal perang baru memang membutuhkan biaya. Namun harus diingat bahwa biaya yang dikeluarkan setidaknya akan memperoleh pengembalian secara tidak langsung ketika kapal perang tersebut berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB. Seperti diketahui, ada reimburstment dari PBB bagi kontingen negara yang beroperasi di bawah bendera PBB apabila major item-nya memenuhi standar PBB.
Dengan kata lain, investasi bagi modernisasi kapal perang Angkatan Laut secara tidak langsung akan mendapatkan “pembayaran”. Memang dapat dipastikan bahwa nilai reimbustment-nya tidak seharga satu unit kapal perang baru, namun setidaknya ada sebagian dari investasi tersebut yang kembali ke kas negara.
Selama ini program modernisasi Angkatan Laut bagi para penentu anggaran dipandang sebagai investasi yang hilang begitu saja dari sisi rupiah. Dalam arti outcome dari investasi itu bukan berupa rupiah yang bisa dikuantifikasi. Dengan menempuh program modernisasi untuk kepentingan operasi perdamaian, setidaknya sebagian dari investasi tersebut kembali ke kas negara dalam bentuk rupiah atau mata uang lainnya.Sekarang tergantung pada para penentu kebijakan di negeri ini, apakah cara ini mau ditempuh atau tidak? Yang pasti ada negara lain di Eropa yang sudah menempuh cara serupa dan outcome yang mereka dapatkan cukup berimbang, baik dari sisi politik, militer maupun finansial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar